Episode 9

2273 Kata
"Kamu jangan kurang ajar sama orang tua ya, Ra? Apa maksud kamu menyindir-nyindir Ibu seperti itu?" Ibunya memelototinya. Selama ini ia memang selalu diam setiap kali dipersalahkan. Melihatnya melawan seperti ini, pasti membuat ibunya kesal. "Waktu itu 'kan Ibu sama sekali tidak tahu kondisi rumah tangga kamu. Ibu pikir, ada campur tangan orang ketiga dalam rumah tangga kalian. Makanya Ibu ingin agar kita mencari solusi bersama. Tapi ternyata masalahnya bukan di orang lain bukan? Tapi di antara kalian sendiri." Keira tersenyum di antara kabut yang menggelayuti matanya. Ia sedih. Ia sedih bukan karena akan bercerai dari Panji. Ia sudah siap lahir batin untuk itu. Tapi ia sedih karena ibunya begitu kentara membedakan kasih sayangnya. Dari mereka kecil, selalu saja seperti ini. Kerap dijadikan kambing hitam. Hanya karena ia tidak pandai berurai air mata seperti Keisha, maka ia lah yang selalu disalahkan apabila mereka berdua berselisih. "Kamu apakan adikmu sampai menangis seperti itu, Ra?" "Jadi kakak kok ya nggak mau ngalah sama adiknya?" "Awas ya, kalau Ibu melihat adikmu menangis lagi?" Kilasan-kilasan masa lalu berkelebat dalam benaknya. Setiap kali Keisha menangis, ibunya pasti menyalahkannya. Padahal yang salah ya Keisha sendiri. Kalau Keisha menginginkan mainannya, maka ia pun wajib memberikannya pada adik kembarnya. Menurut ibunya, seorang kakak itu harus mengalah pada adiknya yang lebih kecil. Padahal selisih usia mereka itu hanya tujuh menit! Tujuh menit yang harus dibayar dengan tanggung jawab sebesar itu di punggungnya. Bayangkan! "Lagian adik kamu juga sudah berbaik hati mencoba memberikan kebahagiaan buat kamu. Adikmu itu menyayangi kamu, Ra. Sedari kecil Keisha terus saja kamu curangi. Tapi Keisha tetap menyayangi kamu bukan?" Kata-kata ibunya sontak membuat Keira meringis. Mencurangi Keisha? Yang benar saja. Tidak dicurangi saja sudah mengucap syukur alhamdullilah. Bagaimana mungkin ia bisa mencurangi orang selicik adik kembarnya ini. Sesungguhnya Keisha dulu selalu memfitnahnya, hingga ibunya kerap salah paham padanya. Tapi setiap kali ia menjelaskan duduk permasalahannya, ibunya selalu lebih mempercayai cerita versi Keisha. Karena apa? Karena Keisha memang piawai mengeluarkan air mata sewaktu-waktu apabila di perlukan. Ia kerap bertingkah sebagai korban yang teraniaya. Makanya ibunya acap kali jatuh kasihan melihatnya. "Kamu ingat saat kamu memecahkan vas bunga, di mall sewaktu kalian SMP dulu? Keisha 'kan yang kamu tuduh? Saat kamu mencuri uang arisan Ibu? Keisha juga 'kan yang menggantinya? Ia sampai bekerja serabutan demi bisa mengganti uang yang kamu curi itu. Adikmu berkorban banyak untuk kamu! Jadi jangan berani-beraninya menyindir-nyindir adikmu lagi. Mengerti kamu, Ra?" Keira lagi-lagi tersenyum manis. Padahal hatinya sudah hancur lebur tidak berbentuk lagi. Keisha selalu saja berhasil membuatnya dibenci oleh ibunya sendiri. Vas yang pecah di mall, memang jelas-jelas Keisha sendiri lah yang secara tidak sengaja menyenggolnya. Tetapi pada ibunya ia mengatakan kalau ia lah yang merusaknya. Masalah uang arisan ibunya yang dicuri? Keisha juga lah pelakunya. Ia mencuri karena ingin mentraktir teman-teman sekelasnya pada hari ulang tahun mereka berdua. Waktu itu mereka berulang tahun, dan teman-teman sekelasnya minta ditraktir. Keisha yang gengsinya tinggi, akhirnya mencuri uang arisan ibunya demi gengsi. Pada saat ketahuan, Keisha menuduhnya dan mengatakan semua kebalikannya. Demi meyakinkan ibunya akan kebaikan hatinya, Keisha bekerja paruh waktu di toko kue. Ia berusaha mengganti sebagian uang yang ia habiskan. Ia juga meminta ibunya untuk tidak menyalahkannya lagi. Kasian Rara katanya. Adiknya memang sudah bermental kriminal sejak remaja. Mengerikan! "Terlepas dari apapun masalah rumah tangga Keira, menurut Ibu, kehadiran Keisha sebelum Keira dan Mas Panji bercerai itu sebutannya apa?" Ibunya terdiam. Tetapi Keisha terlihat panas. Tangannya terus menerus mengepal saat mendengar kalimat-kalimat tajamnya. Sepertinya akting menjadi orang baik-baik itu sangat menguras energinya. "Eh Ra, pelakor itu adalah sebutan untuk orang yang merebut milik orang lain. Gue ngerebut apaan dari lo emangnya? Mas Panji? Helow, Mas Panji itu udah jadi pacar gue sejak zaman dahulu kala lagi. Kalo situ kalah saing, jangan ngeles dong. Biasa aja keleus!" Benar'kan dugaannya? Keisha tidak tahan terlalu lama berakting menjadi orang baik. "Semenjak Panji dan Keira mengucap ijab kabul dan sah. Maka siapa pun yang berada di sekeliling mereka berdua adalah orang ketiga. Ayah tidak mengerti apa itu pelakor. Karena di zaman ayah dulu tidak ada istilah seperti itu. Yang ada hanyalah orang ketiga, WIL atau PIL." Ayahnya yang sedari tadi memainkan ponsel, bersuara. Inilah ayahnya. Sikapnya selalu tidak diduga-duga. Kadang acuh. Kadang sinis. Yang seringnya, tidak peduli. Ayahnya tidak pernah mencampuri urusan mereka semua. Ayahnya membatasi diri. Ayahnya juga tidak pernah berusaha dekat dengan mereka semua. Hal positif yang ayahnya punya adalah, ayahnya jujur dalam menilai semua hal. Ayahnya selalu mempunyai perspektif sendiri. Ia menempatkan dirinya sebagai orang luar. Sehingga pandangannya menjadi objektif. Tidak subjektif seperti ibunya. "Jadi Ayah mau mengatakan kalau Keisha itu orang ketiga atau WIL begitu ya, Yah?" "Tepat sekali," sahut ayahnya  ketus. "Mendengar puisi pembelaan kamu tadi, seperti itulah kira-kira gambaran yang Ayah dapatkan." "Tapi Keisha bukan pelakor, Yah. Keisha juga keberatan disebut sebagai orang ketiga, WIL atau apalah." Keisha mengamuk. Sifat aslinya akhirnya keluar juga. "Jadi kamu tidak terima semua sebutan-sebutan itu, Keisha?" Adik kembarnya menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak sama sekali, Yah!" "Baiklah. Kalau begitu, istilahnya akan Ayah ganti saja dengan yang lebih cocok, yaitu Perumgator. Adik kembarnya mengerutkan keningnya. " Apa itu Perumgator, Yah?" "Perusak Rumah Tangga Orang Lain." Wajah Keisha memerah. Ia tidak menyahuti lagi kata-kata  ayahnya. Tetapi ia memalingkan wajahnya pada sang ibu. Ada asa dalam tatapannya. Ia meminta pertolongan pada ibunya. "Sudah... sudah... jangan membahas hal yang tidak penting. Buang-buang napas saja. Mumpung kita semua ada di sini, sebaiknya kita membicarakan tentang masalah ke depannya saja." Ibunya memfokuskan pandangan padanya. Seperti biasanya, tatap matanya sudah terlebih dahulu berbicara. Mengintimidasi tanpa kata. "Keira, Ibu mau tanya. Apa kamu setuju  bercerai dari Panji?" "Setuju, Bu," sahut Keira tegas. Matanya menatap tepat manik mata ibunya. Membalas tatapan ibunya dengan sama tajamnya. "Baik. Kalau begitu, Ibu juga setuju." Hening. Berarti sekarang tinggal persetujuan dari ayahnya. Keisha melirik sang ibu dari sudut mata. Ibunya tampak menarik napas panjang beberapa kali, sebelum berbicara dengan ayahnya. "Menurut Mas bagaimana? Mas setuju?" tanya ibunya hati-hati. Suasana hati ayahnya memang tidak terduga. Makanya nada bicara ibunya pun memakai nada terendah. Berusaha mengambil hati ayahnya. "Yang mau bercerai itu siapa? Kamu atau Panji, Danti?" Wajah ibunya memerah. Sepertinya ibunya baru menyadari kalau ia terlihat terlalu bersemangat. Mendengar sahutan ketus ayahnya, Panji buru-buru berusaha mencairkan suasana. Ia terlihat nervous. Punggungnya kaku sementara kedua tangannya terjalin di pangkuan. Tungkai kakinya juga terus bergoyang-goyang tidak tenang. "Apakah A--Ayah setuju dengan keinginan kami?" lirihnya suara Panji menggambarkan kerisauan hatinya. Ia menundukkan wajah saat ayahnya menatapnya dalam-dalam. "Apa tujuan kamu dalam berumah tangga, Panji?" "Ingin membangun keluarga yang bahagia dunia akhirat, Yah. Dengan orang yang saya cintai, tentu saja." Panji menambahkan kata orang-orang yang saya cintai dengan tergagap-gagap. Sepertinya tatapan tajam ayahnya menciutkan nyalinya. "Pernikahan itu adalah sebuah perjuangan berkompromi dengan pasangan, hingga napas berhenti. Bukannya berhenti saat merasa sudah tidak cocok lagi. Sudah tidak bisa bersatu lagi. Kalau kamu merasa tidak bahagia dengan istri yang ini, apa kamu yakin akan bisa berbahagia dengan istri yang lain? Dengar Panji, selama kamu menikah dengan yang namanya manusia, semua akan sama saja. Bedanya ganti pasangan, ganti masalah. Begitulah seterusnya." "Bagaimana kita bisa bersikap kompromi terhadap seseorang yang tidak kita cintai? Bukankah itu namanya menyiksa diri seumur hidup?" sergah Panji. Ia sama sekali tidak setuju dengan pemikiran ayahnya. "Seseorang yang kita cintai? Baiklah. Kalau begitu, mari kita bahas lebih dalam lagi. Kenapa kamu mencintai, Keisha?" Ayahnya merogoh saku bajunya. Mencari kotak rokok. Setelah menemukan candunya, ayahnya menyalakan pemantik. Membakar sahabat baiknya, dan mulai menghisap pelan. "Karena dia cantik, baik, pengertian, setia dan banyak lagi hal lainnya. Intinya saya mencintai semua yang ada didirinya," tegas Panji. Matanya terus menatap wajah Keisha saat ia menyatakan perasaannya. Tatapannya dibalas Keisha dengan segenap cinta. Api asmara memercik-mercik panas di mata keduanya. "Bagaimana kalau suatu hari Keisha sudah tidak cantik, tidak baik, tidak pengertian dan tidak setia lagi? Apakah kamu tetap akan mencintainya?" Panji seketika bungkam. Bibirnya tidak berucap. Tetapi matanya menyatakan kalau ia menolak. "Itu namanya bukan cinta Panji. Tapi obsesi. Obsesi itu sifatnya dangkal dan cepat hilang efek kepuasannya. Kalau kesempuraannya hilang, maka hilanglah cinta kita. Tapi kalau kita cinta, perasaan kita akan tetap sama walaupun pasangan kita itu berubah menjadi tua, jelek, cerewet bahkan bersikap tidak baik pada kita sekali pun. Perasaan kita akan tetap sama. Karena apa? Karena kita cinta. Jadi perubahan apapun yang terjadi pada pasangan kita, tidak akan mengubah sedikit pun perasaan kita. Karena sejatinya cinta itu tidak menuntut apa-apa. Cinta itu saling melengkapi, bukan terima jadi." Selama ayahnya berbicara, Keira terus memperhatikan air muka ayah dan ibunya. Wajah keduanya sama-sama getir. Sepertinya ayahnya sedang menceritakan tentang pengalaman hidupnya sendiri. Jadi inilah jawabannya. Kedua orang tuanya itu tidak saling mencintai satu sama lain. Tetapi mereka tetap mempertahankan rumah tangga mereka hingga saat ini. Mereka berpikir ganti pasangan hanya ganti masalah selama yang mereka nikahi masih manusia. Masuk akal. "Intinya, saya hanya mau bilang. Kalau saya tidak menyetujui keinginan kamu untuk menikahi Keisha. Kalau masalah perceraian kamu dengan Keira, saya tidak masalah. Saya hanya tidak mau mendapat menantu yang itu-itu saja. Tidak bermutu lagi." Jawaban santai tapi menohok ayahnya membuat Panji terpukul. Ia terdiam. Menekuri lantai. Mungkin ia tidak menduga kalau ayahnya akan menolak permohonannya. Keisha memandangi ibunya. Kentara sekali kalau sebenarnya ia kecewa, tetapi tidak berani menentang keputusan ayahnya. Makanya ia menggantungkan harapan pada ibunya. "Mas tidak boleh egois. Mas menolak Panji hanya karena Mas tidak menyukainya. Seperti yang Mas bilang tadi, yang akan menjalani pernikahan 'kan Keisha, bukan Mas?" Ibunya beringsut dari kursi. Berdiri dan berkacak pinggang. "Mas tidak boleh egois, tapi kalian bertiga boleh. Begitu?" Ayahnya menunjuk ibunya, Keisha dan Panji dengan dagunya. Jika biasanya ayahnya akan mengalah dan diam saja jika kalah argumen dengan ibunya, kali ini berbeda. Ayahnya terlihat sama keras kepalanya. "Yang paling berhak atas diri Keisha dan Keira adalah saya, Mas. Bukan, Mas. Titik!" Wajah ibunya makin merah. Keira takut kalau tekanan darah tinggi ibunya akan naik lagi. Sepertinya perdebatan ini sebaiknya ditunda dulu. "Kamu mulai bicara soal hak di sini, Danti? Baiklah. Mas merasa memang sudah waktunya kita menyelesaikan semua benang kusut ini. Toh Keira dan Keisha sudah dewasa." Ayahnya berpaling pada Panji. "Kamu pulang dulu. Tapi Keira tetap di sini. Ada hal penting yang harus kami bahas." Panji tidak berani membantah. Walau wajahnya berlumur rasa kecewa, tetapi ia beranjak juga. Ia tahu waktunya sedang tidak tepat. Ia pun pamit dan berlalu dari ruang tamu. Keira deg deg an. Ia tahu pasti ada hal mengejutkan yang akan dibahas oleh ayahnya. Sebelum ayahnya mulai berbicara, ia mengelus perutnya beberapa kali dan menarik napas panjang. Sepertinya malam ini akan panjang. Ibunya kembali menghempaskan pinggul ke kursi. Duduk sesuai dengan instruksi ayahnya. Hanya saja ada yang berbeda di sini. Sorot mata ibunya membiaskan rasa panik. Sebelumnya ibunya tidak pernah memperlihatkan air muka seperti rusa yang terjebak pemburu seperti ini. "Apa maksud kamu mengatakan kalau kamu yang paling berhak atas hidup Keira dan Keisha? Jelaskan." Pertanyaan ayahnya tidak segera dijawab oleh ibunya. Ibunya hanya diam dengan tatapan yang kian gelisah. Memandang ke segala arah, kecuali pada wajah ayahnya. Ada apa ini? "Saya minta maaf, Mas. Saya keceplosan tadi. Saya--" "Keceplosan ingin mengatakan kalau kamu yang paling berhak karena kamu adalah ibu mereka, sementara Mas ini bukan siapa-siapa. Begitu maksud kamu, Danti?" Kedua mata ibunya melebar. Kali ini ibunya benar-benar ketakutan. "Bukan! Bukan begitu maksud saya. Siapa yang bilang kalau Mas bukan ayah dari Keira dan Keisha? Saya hanya--" "Mas juga tidak bilang kalau Mas ini bukan ayah Keira dan Keisha kan? Tapi barusan kamu yang bilang," wajah ibunya memutih. Begitu juga dengan wajahnya sendiri. Ia sudah bisa mengambil kesimpulan dari pembicaraan sepotong-sepotong kedua orang tuanya ini. Ayahnya ternyata bukan ayah kandungnya! Ayahnya tahu, tapi ayahnya mendiamkannya. Astaghfirullahaladzim! Ibunya mulai menangis. Sepertinya ibunya sudah tidak bisa mengelak lagi. Ayahnya telah memegang kartu As-nya. Ia dan Keisha saling memandang. Tatapan adik kembarnya juga terlihat tidak percaya. Mereka berdua terluka. Ternyata ibunya telah membohongi mereka semua. "Ketahuilah Danti. Mas sudah tahu kalau Keira dan Keisha ini bukan anak biologis Mas dari sejak mereka bayi merah. Mas langsung melakukan tes DNA begitu mereka lahir." Pandangan ayahnya menerawang. Ayahnya kini terlihat sepuluh tahun lebih tua. Sekarang ia tahu mengapa ayahnya selalu menarik diri dari mereka semua. Ayahnya tidak pernah mau dekat dengannya maupun dengan Keisha. Ayahnya begitu dingin dan tak tersentuh. Jelas saja. Rupanya mereka bukan darah dagingnya. Ibunya telah membohongi ayahnya! Wajar saja Mas menikmati sedikit imbalan setelah Mas berkorban banyak demi keluarga tercinta kamu ini. Kamu adalah orang yang paling tahu, apa saja yang telah Mas korbankan selama ini. Kalimat demi kalimat yang dilontarkan ayahnya beberapa waktu lalu, terngiang-ngiang di telinganya. Sekarang barulah ia mengerti maksudnya. "Saya... saya... minta maaf, Mas. Saya tidak punya pilihan lain waktu itu. Soalnya--" "Soalnya laki-laki itu sudah berkelurga bukan? Dan kamu tidak mungkin bisa mendapatkannya karena ia tidak punya rasa apapun terhadapmu. Selain sama-sama membuang sepi. Laki-laki itu juga tidak tahu kalau kamu menanggung benih hasil ONS kalian bukan?" Kata-kata menohok ayahnya membuat ibunya makin ketakutan. Ibunya benar-benar kaget saat ayahnya mengetahui semua rahasianya. Ya Allah, siapa ayah kandungnya? Siapa? Keira penasaran sekali. Keisha terlihat menggigiti kuku tangannya. Ciri khasnya kalau ia sedang ketakutan atau gelisah. "Dari mana Mas tahu soal laki-laki i--ini?" tanya ibunya tergagap. Ketidakpercayaan begitu nyata terbias di matanya. "Dari cara kamu memandangnya setiap kalian bertemu." "Siapa ayah kandung kami, Yah? Tolong sebutkan namanya?" pinta Keisha dengan bibir bergetar. Adik kembarnya itu terlihat begitu syok. Ia pasti tidak mengira kalau keluarga mereka ternyata penuh dengan rahasia. "Kalau masalah itu, tanyakan Ibumu. Bukan kapasitas Ayah untuk membuka sesuatu yang selama ini disimpan begitu rapat oleh Ibumu. Ayah menghormati privacynya." Kata-kata ayahnya selanjutnya tidak bisa dilanjutkan karena tubuh ibunya terkulai di sofa. Ibunya pingsan!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN