Episode 8

2338 Kata
Keira menutup kotak perhiasan yang berselimutkan beludru merah dengan hati-hati. Di dalam kotak itu ada sepasang anting-anting mutiara Tahiti grade A+ yang sudah diincarnya sejak lama. Ia menabung selama tiga bulan penuh untuk bisa memiliki mutiara laut yang berwarna hitam berkilauan ini. Mutiara ini ia beli sebagai hadiah ulang tahun untuk ibunya. Beberapa bulan lalu, ibunya memang sangat menginginkan mutiara berwarna hitam seperti yang dikenakan oleh teman arisannya, Bu Nyoto. Saat itu ibunya mengatakan kalau ia menginginkannya karena warnanya yang unik. Ibunya memang sudah memiliki kalung mutiara sebelumnya. Hanya saja warnanya putih. Keira mencatat keinginan ibunya itu dalam hati dan berjanji bahwa ia akan membelikannya apabila ia mempunyai rezeki berlebih. Akhirnya ia bisa juga mewujudkan keinginan ibunya dengan memberikannya sebagai kado ulang tahun. Kerja kerasnya membuahkan hasil. Keira mengikatkan pita kemasan yang cantik untuk memperindah bingkisannya. Ibunya pasti akan senang sekali. Dan kalau ia beruntung, siapa tahu ibunya akan memeluknya sambil mengucapkan kata terima kasih. Ibunya itu adalah type seorang ibu yang tegas dan sangat jarang menunjukkan perasaannya. Melihatnya sekedar tersenyum saja susah. Makanya ia akan merasa sangat beruntung apabila mendapatkan seulas senyuman tipis ibunya. Bonus pelukan kalau mood ibunya sedang membaik. Semoga saja nanti ibunya bahagia. Untuk melengkapi kebahagiaan ibunya, ia juga membelikan cake black forest yang sudah di pasangi lilin warna warni agar hari ulang tahun ibunya menjadi semakin meriah. Keira melirik jam dinding berbentuk hati di kamarnya. Pukul enam sore. Sebaiknya ia bersiap-siap berangkat sekarang. Ia takut kalau nanti terjebak macet. Ibunya menyuruhnya datang pada pukul tujuh malam dengan tambahan kata-kata, jangan sampai telat. Ada acara makan malam kecil-kecilan katanya. Keira senang sekali saat ibunya mengundangnya. Bukan karena acara makan-makannya. Tapi karena ia kangen berkumpul dengan kedua orang tuanya. Jarang-jarang mereka mengundangnya seperti ini. Ia jadi merasa spesial karena kehadirannya pasti akan ditunggu-tunggu. Dengan hati-hati ia menyelipkan kado untuk ibunya ke dalam tas. Mengecek dompet dan ponselnya sekali lagi, baru 'lah ia keluar dari kamar. Ia nyaris bertabrakan dengan Panji di ambang pintu. Sepertinya Panji ingin masuk ke dalam kamar di saat ia ingin keluar. "Mau ke mana?" Dua patah kata. "Ketempat ibu," balasan yang setara bukan? "Ada keperluan apa?" Tiga patah kata. "Ibu ulang tahun," kalimat singkat dibalas kalimat singkat. Hasilnya? Hambar. "Ayo, saya antar. Tumben. Signalnya lagi bagus ini. "Ada hal yang ingin saya bicarakan dengan kedua orang tua kamu." Nah kan? Sesuai dengan dugaannya. Pasti ada udang dibalik tauco cabe ijo. Tapi ia senang. Ia berasumsi bahwa Panji ingin membahas mengenai masalah perceraian mereka dengan kedua orang tuanya. Bagus. Semakin cepat dibicarakan, semakin cepat eksekusi akan dilakukan bukan? Ini adalah saat yang ia tunggu-tunggu. Ibunya waktu itu mengatakan kalau ia akan menerima dirinya kembali, hanya jikalau Panji memulangkannya. Itu artinya ibunya tidak akan punya alasan lagi untuk menolak keinginannya. "Ayo kalau begitu. Sebentar, saya mengabari Robin dulu. Kasihan nanti dia capek bolak balik untuk hal yang sia-sia." Seperti biasa, omongannya hanya dianggap angin lalu. Keira mengetik beberapa patah kata. Belum juga chatnya di read, Robin sudah meneleponnya. Ibu nggak jadi pergi? "Jadi, Rob. Saya di antar sama Mas Panji." Ohhh. Keira nyengir mendengar suara sengau Robin saat mengucapkan kata oh. Pasti Robin merasa aneh juga. Antara percaya tidak percaya juga. Lihatlah. Bahkan seorang supir saja menyangsikan ketulusan suaminya. Baiklah kalau begitu. Apabila Pak Panji berubah pikiran atau tidak bisa mengantarkan Ibu pulang, hubungi saya. Hati-hati di jalan ya, Bu? "Baik, Robin. Kamu tidak usah khawatir." "Dia itu supir kamu, atau suami kamu? Perhatian sekali." Wah, bapak ini merasa tersaingi rupanya. "Sopir rasa suami. Soalnya suami saya nggak ada rasanya. Mungkin suami saya itu tidak bisa moved on dan terus terpuruk pada rasa yang dulu pernah ada." Sahut Keira kalem. "Kamu sendiri juga tidak bisa melupakan masa lalu bukan? Mau bukti? Kamu bahkan terus bertahan mencintai saya padahal perlakuan saya pada kamu tidak ada bagus-bagusnya. Ayo, bantah saya kalau bisa." Kalimat jumawa Panji menggelitik pendengarannya. Keira mengurungkan langkahnya. Untuk pertama kalinya ia ingin memberitahukan tentang semua perasaannya pada Panji secara jujur. Ia tidak mau lagi menyimpan unek-unek yang membuat sakit dirinya sendiri. Ia sekarang akan melepas semuanya. Dan hal pertama ingin ia lepaskan adalah perasaannya pada Panji. "Saya tidak memungkiri kalau dulu saya pernah amat sangat mencintai kamu, Mas. Saking cintanya saya rela terus disakiti dan tetap bertahan dengan harapan, suatu saat Mas pasti akan mencintai saya juga. Cinta saya pada Mas telah membuat saya buta. Saya sampai tidak bisa membedakan yang mana bahagia, dan yang mana luka. Karena apa? Karena nyatanya saya tetap cinta meski tak merasakan bahagia." Keira menghentikan kalimatnya. Mengambil napas. Memberi jeda. Jikalau kebanyakan orang akan mencari tempat yang indah dan romantis untuk mengungkapkan perasaan cinta, ia malah sebaliknya. Ia mengungkapkan pengakuan cinta di depan pintu kamarnya sendiri. Sambil berdiri lagi. Anti mainstream sekali bukan? "Tapi sekarang saya sadar, Mas. Bahwa untuk bisa mencintai seseorang, kita  harus mencintai diri sendiri terlebih dahulu. Nah, selama proses itu, saya baru menyadari satu hal. Mas ini sebenarnya tidak pantas untuk saya cintai. Saya sudah memutuskan untuk tidak mau lagi memperpanjang luka, hanya demi kebahagiaan yang sesekali ada. Paham, Mas?" "Akhirnya kamu menyerah juga 'kan? Bagus. Jadi sekarang saya tidak akan sungkan-sungkan lagi untuk mengambil tindakan. Ayo kita berangkat, Keira. Mari kita akhiri ketidakbahagiaan kita ini." Panji terlihat sangat gembira saat mendengar pernyataan terbukanya. Senyum puas  tersungging di bibirnya. "Sebentar Mas, saya mau mengambil kue ulang tahun ibu di kulkas dulu." Keira membalikkan tubuhnya. Bermaksud berjalan ke arah dapur. "Kamu tunggu di mobil saja. Biar saya saja yang mengambilnya." Panji memberikan kunci mobil padanya. "Terima kasih, Mas." "Sama-sama, Ra." Panji menepuk sekilas bahunya sebelum kelebat tubuhnya menghilang di ujung lorong. Keira menyunggingkan senyum tipis. Untuk pertama kalinya, Panji tersenyum tulus padanya. Dan untuk pertama kalinya juga ia membalas senyum Panji dengan sama tulusnya. Ia kini sudah ikhlas untuk melepaskan semuanya. Tanpa dendam dan tanpa kesedihan. Panji sudah menetapkan kemana hatinya berlabuh. Ia harus menerima kenyataan dan tidak lagi meratapi keadaan. Ia akan mulai membangun hidupnya sendiri. Tidak punya suami toh bukan berarti ia akan mati. ================================== Kedatangannya bersama dengan Panji disambut dengan tatapan tidak percaya ibunya. Ibunya terlihat bahagia dan terus tersenyum lebar. Ayahnya  menasehati ibunya agar jangan terus-terusan tersenyum lebar seperti itu. Ia takut kalau wajah ibunya nanti jadi terbelah dua. Ia dan Panji beberapa kali bertukar tatapan. Ia tahu Panji juga merasa bingung harus memulai dari mana untuk membicarakan tentang niat mereka. Melihat kebahagiaan yang memancar di wajah ibunya, rasanya kejam sekali kalau mereka harus membuatnya kecewa. Tetapi mau bagaimana lagi, cepat atau lambat semua akan terjadi. "Ayo, tiup dulu lilinnya, Bu? Setelah itu baru Ibu berdoa. Semoga saja semua harapan-harapan terpendam Ibu terkabul semuanya. Aamiin." Keira meletakkan kue ulang tahun ibunya di tengah-tengah meja. "Ayah, Mas Panji, sini dong. Kita nyanyikan lagu selamat ulang tahun saat Ibu meniup lilinnya." Panji dengan segera beringsut dari sofa dan berdiri di sampingnya. Ayahnya mengalihkan pandangannya dari televisi dan bangkit juga dari sofa. Berdiri kaku disamping ibunya. Ibunya meniup lilin dengan diiringi lagu selamat ulang tahun dari mereka semua. Keira bernyanyi dan bertepuk tangan paling keras. Selain ibunya, ia adalah orang yang paling berbahagia di sini. Bagaimana tidak? Untuk pertama kalinya ibunya memeluk dan menciumnya penuh cinta. Jika biasanya ia hanya menjadi yang kedua setelah Keisha, kali ini ia menjadi yang satu-satunya. Semoga saja untuk hari-hari ke depannya ibunya akan terus bersikap seperti ini. Astaga, doanya salah! Dengan pinta yang seperti ini dalam doanya, itu sama saja artinya dengan ia ingin adik kembarnya itu tidak pernah pulang lagi, bukan? "Selamat ulang tahun, Bu." Suasana seketika hening. Sebuah suara lirih di depan pintu menghentikan kegembiraan ibunya. Waktu seakan berhenti. Di sana, di ambang pintu yang separuh terbuka, Keshia berdiri dengan berurai air mata. Kelebat tubuh ibunya tak tertahankan. Ibunya menjerit histeris sambil memeluk erat tubuh Keshia juga dalam hujan air mata. "Akhirnya kamu pulang juga tho Nduk? Ternyata doa Ibu secepat ini dikabulkan. Kamu tahu tidak, Nduk, ibu tadi berdoa semoga kamu cepat pulang, Nduk. Ibu kangen, Nduk. Ibu kangen!" Keira terpaku di tempat. Akhirnya adik kembarnya pulang juga. Ia melirik ke samping. Panji tidak terlihat kaget. Ia hanya memandang penuh rasa cinta pada adik kembarnya. Kini ia tahu siapa wanita yang dipeluk erat oleh suaminya di story Soraya waktu itu. Ia juga sudah memahami tindak tanduk suaminya yang selalu tampak bahagia selama beberapa bulan terakhir ini. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah adik kembarnya sendiri. "Kenapa kamu baru pulang sekarang? Apa kamu tidak tahu betapa ibumu cemas siang malam karena mengkhawatirkan kamu? Kalau kamu memang mau menghilang, ngapain sekarang kamu pulang? Permainan di luar sana sudah membosankan ya?" Gelegar suara ayahnya membuat semua orang bungkam. Ayahnya ini memang jarang bersuara. Biasanya ia tenggelam dalam pekerjaan maupun urusan politiknya. Melihatnya meluapkan perasaan seperti ini, tentu saja membuat semua orang heran. Mendengar ungkapan kemarahan ayahnya, Keshia melepaskan diri dari pelukan ibunya dan bersimpuh di hadapan ayahnya. "Sasa minta maaf, Yah. Sasa tahu kalau Sasa salah. Tapi Sasa melakukan semua ini demi Rara," dengan air mata yang seakan tidak bisa berhenti mengalir, Keisha kini memandanginya. Drama apa lagi yang sedang dimainkan adik kembarnya ini? "Demi, Rara? Apa maksud kamu, Nduk? Ibu tidak mengerti?" Ibunya kebingungan. Keisha memandangi ibunya sebentar sebelum memandangi Keira sedikit lebih lama. Dalam posisi masih dalam keadaan bersujud, ia mulai bermain drama. "Ra, gue minta maaf. Gue sama sekali nggak tahu kalo lo itu udah lama suka sama Mas Panji. Dari lo masih SMP," wajah Keira berubah. Ia sama sekali menyangka kalau Keisha mengetahui soal rahasia hatinya. Tapi, dari mana ia tahu? Toh selama ini ia selalu mengunci rapat-rapat mulutnya. "Seminggu menjelang hari pernikahan gue, gue secara nggak sengaja membaca buku harian lo. Dari situ gue merasa sangat bersalah. Selama ini rupanya gue udah menari-nari di atas kesedihan lo. Gue minta maaf ya, Ra? Gue nggak tahu kalo lo itu udah naksir Mas Panji selama itu." Tangis Keshia semakin kencang. Ia menutup  wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Air matanya terlihat mengalir dari sela-sela jemari tangannya. "Akhirnya gue memutuskan untuk kabur saja. Gue pikir, dengan kaburnya gue, pasti lo yang akan menggantikan posisi gue. Gue ingin lo bahagia, Ra. Gue ikhlas memberikan Mas Panji buat lo. Gue emang sayang sama Mas Panji, tapi gue lebih sayang sama lo, Ra." Sungguh sempurna. Sempurna aktingnya maksudnya. Keshia dengan ikhlas memberikan Panji padanya? Apa mungkin? Sedangkan sebuah pensil warna warni yang ia inginkan saja, tidak mau ia berikan, apalagi ini seorang Panji? Alasannya terlalu dipaksakan. Apalagi katanya tadi? Sayang? Kalau sayang ia tidak akan terus memfitnahnya melakukan kesalahan sehingga ia kerap kali dihukum oleh ibunya. Sasa ini memang sungguh-sungguh seorang ratu drama. "Gue bahkan dengan sengaja menghilangkan diri gue selama hampir dua tahun ini. Gue ingin agar lo dan Mas Panji saling memupuk cinta. Gue pikir lama-lama Mas Panji akan melupakan gue dan mencintai lo. Tapi ternyata gue salah. Beberapa bulan lalu gue secara tidak sengaja bertemu dengan Mas Panji. Dan Mas Panji menceritakan tentang rumah tangga kalian yang sesungguhnya. Ternyata kalian berdua sama sekali tidak bahagia. Gue salah. Ternyata cinta memang tidak bisa dipaksa. Mas Panji tidak pernah menyentuh lo kan, Ra? Karena itu gue kembali. Gue pikir gue harus meluruskan semua ini. Gara-gara sikap sok pahlawan gue, kita semua tidak ada yang bahagia. Gue minta maaf ya, Rara, Mas Panji." Semua yang ada di dalam ruangan terdiam. Mereka syok dengan kenyataan rumitnya hubungan rumah tangganya dan Panji. Di dalam keheningan itulah Panji akhirnya bersuara. Sepertinya suaminya itu sudah tidak sabar ingin menyuarakan keinginannya. "Ayah dan Ibu sudah mengetahui keadaan rumah tangga saya yang sebenarnya bukan? Sekarang saya ingin mengatakan sesuatu untuk memperbaiki semua kesalahan ini. Saya mohon kita semua duduk dulu. Saya ingin menyelesaikan semua masalah ini dengan kepala yang dingin." Seperti robot, mereka semua duduk dengan kaku di sofa. Panji terlihat merogoh saku celananya. Mengeluarkan sapu tangan dan memberikannya pada Keisha. Sepertinya ia tidak tahan melihat air mata wanita pujaan hatinya. "Yah, Bu. Sekarang Ayah dan Ibu sudah mengetahui tentang keadaan rumah tangga kami yang sebenarnya bukan? Saya tidak mencintai Keira. Saya bahkan tidak pernah menyentuhnya." Keira tahu apa yang dikatakan oleh Panji itu memang benar adanya. Masalah ia hamil karenanya, itu memang terjadi di luar kesadarannya. Jadi Panji tidak merasa. Tetapi saat mendengar kehidupan rumah tangganya ditelanjangi seperti ini, jujur rasanya sakit sekali. Selain rasa malu, perih rasanya saat mendengar kata tidak mencintai berulang-ulang kali dari seseorang yang masih berstatus sebagai suaminya. Ia merasa seperti seonggok sampah. "Saya juga ingin mengakui satu hal. Saya sebenarnya ehm, sudah kembali menjalin hubungan dengan Keshia selama beberapa bulan belakangan ini. Selain itu, maksud dan tujuan saya ke sini tadi adalah ehm, ingin menceraikan Keira dan... dan menikahi Keshia secepatnya. Bagaimana menurut Ayah dan Ibu? Apakah Ayah dan Ibu menyetujui keinginan saya?" Keira memang sudah ikhlas lahir batin melepaskan Panji untuk siapapun itu. Tapi jujur dalam hatinya ia ingin mendengar ibunya membelanya. Membalut lukanya dan memperjuangkan harga dirinya. Ia ingin meyakinkan dirinya sendiri kalau ibunya mencintainya sebesar ibunya mencintai adik kembarnya. Ia dilema antara takut kecewa namun ia juga ingin tahu perasaan ibunya yang sebenarnya. Kalau ayahnya, biasanya ia netral saja. "Ibu memang pernah menentang perceraian kalian di waktu lalu." Dua minggu itu bukan di waktu lalu bukan, Bu? "Tapi itu Ibu lakukan karena Ibu mengira kalau rumah tangga kalian berdua baik-baik saja. Hanya belum hadirnya anak saja yang menjadi masalahnya. Tetapi setelah Ibu tahu tentang duduk persoalan yang sebenarnya, Ibu menyerahkan semua keputusan ini kepada Keira. Apa yang ia inginkan, Ibu akan setuju saja. Bagaimana pun yang menjalani kehidupan selanjutnya itu kan, Rara. Ibu tidak mau ikut campur. Bagaimana menurut kamu, Ra? Tapi menurut hemat Ibu, sebaiknya memang kalian berpisah saja. Hidup tanpa cinta itu sungguh menyiksa, Ra. Pertimbangkanlah kata-kata Ibu ini baik-baik." Ibunya tidak mencintainya! "Rara ikut kata Ibu saja seperti biasanya. Dulu Rara mau menikah dengan Mas Panji, itu semua karena kemauan Ibu. Dua minggu lalu saat Rara ingin bercerai dan Ibu tidak setuju, Rara juga menuruti keinginan Ibu. Kini, Ibu bilang apa tadi? Sebaiknya kami berpisah saja ya? Baiklah. Rara ikut saja. Oh ya, Bu. Berarti Rara tidak perlu lagi mencari siapa pelakor yang Ibu maksud kan? Soalnya tidak mungkin juga Ibu tega membejek-bejek Keisha?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN