Seminggu telah berlalu dari pembicaraannya dengan Pandu. Tetapi Panji sama sekali belum mengambil sikap apa-apa. Sepertinya ia masih bimbang memberitahukan keinginannya pada kedua orang tuanya. Tetapi Keira tau kalau sebenarnya Panji tengah menerapkan strategi baru. Sekarang Panji telah mengurangi jadwal keluar malamnya. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengobrol dan membahas masalah pekerjaan dengan sang ayah. Panji sedang berupaya untuk mengambil hati ayahnya.
Pandu juga sudah dua minggu penuh ini ada rumah. Biasanya kakak iparnya itu tidak pernah tinggal lama setiap berkunjung ke Jakarta. Paling banter seminggu. Menurut ibu mertuanya, Pandu sedang mengurus kerjasama dengan pabrik pembuat teh instan di sini. Di zaman modern seperti ini membuat teh dengan cara diseduh atau pun dicelup terkadang membuat orang-orang yang memiliki mobilitas tinggi merasa repot. Karenanya mereka lebih memilih mengkonsumsi teh dalam kemasan instan. Baik itu berupa kemasan dalam botol, kaleng ataupun kotak. Oleh karena itulah Pandu ingin berinovasi dengan bekerjasama dengan pabrik-pabrik pembuat teh instan di ibukota. Setelah kerjasama mereka deal, kemungkinan besar Pandu akan bolak balik Jambi- Jakarta. Dan itu artinya, Pandu akan sering tinggal di rumah mereka.
Bukannya ia tidak senang kalau Pandu tinggal bersama mereka. Hanya saja ia merasa kalau Pandu itu terlalu melindungi Panji. Pandu terkesan mendukung apa pun yang diinginkan oleh Panji. Tidak heran kalau Panji tumbuh menjadi sosok yang egois, tidak peka dan ingin menang sendiri seperti ini. Bukannya menasehati adiknya, Pandu malah terkesan menutupi semua kesalahan-kesalahannya. Bukan sekali dua kali ia mendapati kalau Pandu mengambil alih kesalahan-kesalahan Panji. Keira bingung, Pandu itu sebenarnya seorang kakak yang terlalu baik atau kakak yang terlalu bodoh. Kesalahan sang adik bukannya diperbaiki, ini malah ditutup-tutupi. Keira jadi semakin malas untuk pulang ke rumah sekarang. Ia sudah mulai bosan berakting.
"Kamu tidak digaji hanya untuk duduk bengong memandangi tembok, Keira."
Astaghfirullahaladzim! Keira nyaris terlompat dari kursi karena kaget. Saking asyiknya melamun, ia sama sekali ia tidak menyadari kalau di depannya telah berdiri anak sang pemilik rumah sakit.
"Tugas seorang perawat di Nurse Station itu adalah untuk menulis laporan, mendokumentasi Asuhan Keperawatan, surat-menyurat dan lain-lain. Tapi kenapa kamu terus memandangi tembok yang bahkan tidak bisa balas memandangmu?"
"Saya--saya--"
"Jangan meminta maaf lagi. Kantong maaf saya sudah habis hari ini. Entah mengapa, setiap bertemu dengan saya, kerjamu hanya meminta maaf saja." u*****n Rasya membuat Keira bungkam. Bagaimana ia tidak bungkam. Satu-satunya kalimat yang ingin ia ucapkan, telah lebih dulu dimentahkan oleh Rasya. Ia tadi memang ingin meminta maaf padanya.
"Ahelah, jangan galak-galak nape, Bambank? Si Keira udah menciut kayak balon kempes gitu masih lo galakin juga." Karena sibuk beradu argumen, mereka tidak menyadari kehadiran orang lain. Dan orang lain itu adalah Nuri Permana Pramudya. Putri sulung Pak KomjenPol Elang Pramudya dan Tante Gading. Musuh bebuyutan ibunya.
"Ngapain lo ke sini, Ri? Sakit panu lo kumat?" sergah Rasya sembari bersedekap. Putri Tante Gading ini memang gokil seperti ibunya.
"Etdah, panu? Lo ngehina gue, Bambank. Bisul yang benernya. Hehehe. Gue pengen ke temu sama Guruh. Katanya dia mau ke sini nemuin lo," sahut Nuri seraya menghampiri Rasya. Matanya auto berbintang-bintang saat nama Guruh disebut. Cinta telah membuatnya lupa segala.
"Gue bener-bener heran dengan cara berpikir perempuan. Ada laki-laki baik yang mencintai dengan setulus hati, nggak dianggep. Sementara yang nggak peduli, malah dikejer-kejer. Ntar giliran disakitin, bilangnya semua laki-laki sama aja. Dodol emang."
Rasya mendengus kasar. Nuri ini radarnya memang sangat sensitif apabila berurusan dengan Guruh. Hanya saja, menurutnya Nuri salah strategi. Laki-laki itu rata-rata tidak suka dikejar. Semakin mereka dikejar, mereka akan semakin bosan. Tidak ada sensasinya lagi. Laki-laki itu lebih suka mengejar. Karena memang sudah dari sananya laki-laki itu suka berburu. Ketahuilah wahai para perempuan. Laki-laki cenderung lebih tertarik dengan perempuan yang hard to get dibandingkan dengan yang ngebet mengejar-ngejar mereka.
"Serah apa lo kata dah. Lo bisa ngomong begono karena lo belum pernah jatuh cinta. Coba kalo lo udah kena panah cupid, jangan-jangan lo bukan cuma ngejer-ngejer itu orang doang. Tapi sampe kemah di depan rumahnya entar. Gue tungguin sampe lo kemakan omongan lo sendiri, Bambank."
Nuri menjelingkan mata pada Rasya. Orang emang bisa ngemeng seenak jidat kalo belum kena selanya. Coba saja kalo sudah kejadian padanya. Pasti mingkem itu muncungnya.
"By the way, Guruhnya jam berapa ke sini?" tanya Nuri. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan gebetan.
"Jam tiga nanti," sahut Rasya singkat.
"Baguslah. Berarti sejam-an lagi," seru Nuri gembira. Pandangan Nuri kini tertuju pada seorang perawat cantik yang tengah berdiri berhadap-hadapan dengan Rasya di Nurse Station.
"Hallo, Ra. Apa kabar? Eh lo Keira kan?" Nuri mendekati sang perawat cantik. Memastikan bahwa ia tidak salah memanggil nama orang.
"Ya iyalah. Orang yang tipenya pasrah, nggeh-nggeh doang ya pasti Keira. Kalau kembarannya pasti nyolot, walaupun cuma kesenggol doang." Yang ditanya Keira tapi yang menjawab adalah Rasya. Cara menjawabnya songong lagi.
"Ti ati kalo ngomong, Mas Bro. Jangan ntar ketulah omongan sendiri. Gue doain kalo suatu hari nanti, lo bakalan ngesot-ngesot kesengsem sama ini orang yang lo katain nggeh-nggeh aja," cibir Nuri.
"Watch your mouth, Ri. Keira ini udah nikah. Jangan ngedoain yang nggak-nggak," decih Rasya. "Lagian gue bukan pebinor!" semburnya ketus.
"Orang kawin 'kan bisa cerai juga, Bambank. Jangan sok polos lo ah. Nggak asik." Nuri meleletkan lidahnya. Keira merasa sudah saatnya turun tangan. Kalau membiarkan Rasya dan Nuri ini saling berbalas pantun, bakalan lama. Mereka berdua ini sama-sama keras kepala dan tidak ada yang mau mengalah.
"Kabar saya baik kok, Mbak. Om Elang, Tante Gading dan Bang Garuda apa kabar?" Keira menyunggingkan senyum manisnya pada Nuri. Walaupun hubungan kedua ibu mereka kurang harmonis, tapi tidak seharusnya mereka jadi ikut bermusuhan juga bukan? Mereka toh tidak ada di masa itu.
"Mereka semua baik-baik aja, Ra. Eh lo seksian sekarang ya? Biasanya lo mah kurus banget. Ini udah montokan dikit. Hehehe. Atau jangan-jangan lo lagi isi ya?" Nuri memajukan tubuh mendekati meja Nurse Station. Tanpa aba-aba ia mengelus-elus perut Keira yang sekarang memang terlihat sedikit membukit. Keira refleks menjauh. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Nuri akan memegang perutnya.
"Nggak kok! Sa--saya nggak lagi ha--hamil," bantah Keira terbata-bata. Ia bergegas duduk di belakang meja Nurse Station, agar perutnya tidak terlalu terekspos. Jantungnya berdebar kencang dan telinganya berdenging. Demi Tuhan, ia ketakutan. Ia tidak ingin kalau masalah kehamilannya ini sampai diketahui orang banyak. Sementara suaminya sendiri malah belum tahu. Kehamilannya ini seperti dilema. Di satu sisi, ia bahagia. Karena untuk pertama kalinya, ia punya sesuatu yang memang miliknya sendiri. Dengan adanya anak ini, ia jadi lebih bersemangat dan mempunyai tujuan hidup, dengan atau tanpa Panji.
Tapi di sisi lain, ia takut. Ia takut kalau kedua mertuanya tidak akan mengizinkannya bercerai. Mereka berdua pasti akan menentang mati-matian perceraiannya dengan Panji, apabila mereka tau tentang kehadiran cucu mereka di rahimnya. Makanya saat ini, ia belum berani mengambil sikap apapun. Ia sedang menunggu aksi Panji. Rencananya, ia akan bungkam sampai Panji mengajukan gugatan perceraian, menjalani sidang, hingga mereka benar-benar resmi bercerai. Setelah itu, barulah ia akan membuka semuanya. Toh tidak ada hal yang ia takuti lagi. Ia telah bebas sebebas-bebasnya. Ia tinggal melanjutkan hidup dan meniti masa depan dengan malaikat kecilnya. Titik. Kalau kehamilannya diketahui selagi dini, sangat berbahaya. Semua rencananya bisa melenceng. Makanya ia dengan cepat menyangkalnya.
"Kalo lo nggak hamil, ya udah. Santai aja lagi, Ra. Ngapain juga lo sampai ketakutan begitu? Tapi kalo lo emang bener-bener hamil pun, ya nggak apa-apa juga kali. Lha kan lo emang punya laki? Ya wajarlah." Nuri nyengir. Sebenarnya ia heran. Kenapa si Keira ini ketakutan sampai segitunya saat disangka hamil? Dengan sikapnya yang nganeh-nganehi itu, 'kan jadi semakin memancing jiwa keponya untuk mengungkap kebenaran yang sesungguhnya. Ya, namanya juga anak polisi. Bawaannya kepengen membongkar kasus saja.
"Ya memang sih, Mbak. Tapi kan memang saya nggak ha--"
"Ikut saya sebentar. Ada yang ingin saya bicarakan," Rasya memotong ucapannya dan berlalu dari pandangannya begitu saja.
"Saya bilang, ikut saya. Ngapain kamu bengong di situ?" Ketusnya suara Rasya menyadarkan Keira dari ketermanguannya.
"Ahelah, lo kok galak bener sih, Sya? Keira kan bukan terdakwa. Lo malah main bentak-bentak aja," Nuri mendecakkan lidah.
"Bukan urusan lo. Udah lo duduk aja di sini sebentar. Gue ada urusan sama Keira. Ayo," Rasya mengedikkan kepala. Isyarat agar Keira mengikuti langkahnya. Dengan langkah tersaruk-saruk, Keira mengekori juga langkah kaki Rasya. Perasaannya tidak enak. Sepanjang lorong rumah sakit, pikirannya terus menebak-nebak apa yang ingin dibicarakan Rasya. Tidak lama kemudian, mereka telah tiba di ruangan Rasya. Rasya memutar handle pintu, dan mereka berdua pun masuk ke dalam ruangan.
"Duduk," Rasya mempersilahkannya duduk, setelah ia sendiri juga duduk. Kini mereka saling duduk berhadapan. "Sudah berapa bulan?"
Hening. Keira syok. Ia sama sekali tidak mengira kalau Rasya akan se to the point itu. Keira makin bingung. Harus dijawab bagaimana ini?
"Mengapa kamu tidak memberitahu Panji?" lanjut Rasya lagi. Hening. Keira belum bisa bersuara. Ia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Soalnya ia tahu sekali kalau Rasya ini pasti berada dipihak Panji. Ia takut salah berucap.
"Maaf, ini masalah pribadi. Dan semua ini sekali lagi, maaf, bukan urusan Bapak." Keira memilih jawaban netral.
"Ini akan menjadi urusan saya. Urusan kita tepatnya," Rasya mendekatkan tubuh padanya yang dibatasi oleh sebuah meja. "Panji kemarin telah menunjuk saya sebagai pengacaranya untuk mengurus masalah perceraian kalian. Dari sikap kamu tadi, saya menyimpulkan kalau Panji sama sekali tidak tahu soal kehamilanmu ini. Karena ia sama sekali tidak membahas soal masalah pengasuhan anak."
Keira tetap bungkam. Benar kan tebakannya? Rasya ini pasti pembela nomor satunya Panji. Selain masalah pekerjaan, mereka kan memang berteman baik.
"Mengapa?" Rasya bertanya untuk kedua kalinya.
Keira menarik napas panjang sebelum menjawab.
"Tidak ada bedanya bukan? Mau ia tahu atau tidak tahu soal anak ini, kami toh tetap akan bercerai. Jadi sekali lagi saya tegaskan, tidak ada bedanya?"
"Ada. Banyak sekali malahan. Dengan adanya nyawa lain yang sedang bertumbuh kembang di dalam rahim kamu ini, maka draft-draft yang kemarin saya susun, gugur. Kamu rugi kalau tidak mengatakan soal kandunganmu ini."
"Saya tidak peduli."
"Tapi saya peduli! Eh, maksud saya, saya peduli terhadap kesejahteraan anak kalian nanti ke depannya. Setidaknya masa depannya harus terjamin," Rasya kini menatapnya lekat-lekat. "Akan lebih terjamin lagi kalau seandainya kedua orang tuanya tidak bercerai."
Keira mengepalkan kedua tangannya. Setelah ibunya, Pandu, kini Rasya pun secara tersirat menginginkan agar ia tetap mempertahankan pernikahan tidak sehatnya. Mereka semua tidak tahu saja, neraka seperti apa yang setiap hari harus ia hadapi selama hampir dua tahun ini. Kepedihan seperti apa yang harus ia telan sendiri. Selalu sendiri. Ia sama sekali tidak punya tempat untuk berbagi beban. Orang tua? Malah dimaki yang ada. Saudara? Seandainya pun Keshia ada, paling dia akan bilang, so what gitu lho?
Panji itu sama sekali tidak pernah memepedulikannya. Mau ia hidup atau mati, tidak ada pengaruh baginya. Semakin ia mengingat-ingat nasib kurang beruntungnya, semakin membuatnya ngenes saja.
"Pertengkaran dalam rumah tangga itu biasa. Namanya juga dua pribadi berbeda yang berdiam di satu rumah. Logikanya, pasti sesekali akan timbul gesekan juga. Kalau timbul permasalahan, ya dihadapi. Di komunikasikan dua arah. Bukannya membatin sendiri. Akibatnya, ya begini. Masing-masing mencari pembenaran sendiri dan cerai menjadi harga mati."
Komunikasi dua arah katanya? Bagaimana ia mau berkomunikasi kalau suaminya itu mendadak bisu dan tuli bila di dekatnya? Dia itu seperti hantu di mata suaminya. Ada tetapi tidak ada.
"Betul sekali yang Bapak katakan tadi. Tapi masalahnya, nasehat bijak Bapak itu baru bisa diterapkan pada rumah tangga yang normal. Yang mana di dalamnya dihuni oleh sepasang suami istri yang pada dasarnya saling mencintai, hanya saja sedang berselisih. Bukan yang satu terus menyakiti dan yang satunya lagi berusaha menahan diri," keluh Keira lirih dengan suara bergetar. Emosinya mulai terkait kembali. Semenjak hamil, ia memang sangat melankolis. Air matanya sering tidak terbendung. Hormonnya sedang tidak stabil.
"Satu menyakiti, satu menahan diri? Tapi kenapa perut kamu bisa isi heh? Coba kamu jelaskan secara logis. Saya tekankan sekali lagi, secara logis ya? Bukan ala drama."
"Baik." Keira memukul meja. Cukup sudah! Ia sudah capek mengalah dan terus saja dijadikan objek pelengkap penderita. Kali ini ia akan mengungkapkan semua kebenarannya. Toh, apapun yang terjadi ia tetap akan bercerai juga. Mulai hari ini, ia sudah tidak mau menjaga perasaan siapapun lagi. Sekali-sekali ia ingin menjadi manusia egois.
"Tentu saja bisa kalau saya diperkosa! Secara logika, apabila sel s****a bertemu dengan sel telur yang telah siap dibuahi, jadinya ya hamil. Sel telur itu tidak bisa bertanya pada sel s****a, apakah ia datang dengan cinta, atau dengan paksa. Bapak pernah belajar ilmu biologi 'kan?" Keira berdiri diikuti dengan Rasya. Kini mereka berdiri saling berhadapan. Bertatapan. Luka yang menganga di matanya, tidak lagi ia coba sembunyikan.
"Kalian orang-orang yang ada di luar, yang hanya memandang segala sesuatu dari kejauhan, sama sekali tidak berhak menghakimi saya!" Keira menunjuk-nunjuk d**a Rasya dengan geram. Emosinya meledak tidak terkendali. Kemarahannya, kekecewaannya, kesakitannya yang selama ini ia pendam, saling berlomba dan berdesakan ingin keluar.
"Kalian semua tidak pernah tahu, suami macam apa yang harus saya hadapi setiap hari, selama hampir dua tahun ini. Bapak bilang soal komunikasi dua arah?" Keira menaikkan nada suaranya. Ia bahkan tidak sadar kalau saat ini ia telah memukul-mukul d**a Rasya. Ia membutuhkan pelampiasan kekecewaan.
"Bagaimana saya bisa berkomunikasi kalau yang bersangkutan bahkan tidak pernah berbicara pada saya? Jadi saya harus berkomunikasi dengan siapa? Jam dinding?" teriak Keira histeris. Suaranya kini sudah bercampur dengan isak tangis. Dadanya sakit sekali ya, Allah. Sakit sekali.
"Jangan pikir air matamu bisa secara ajaib bisa mengubah apapun yang kamu benci." Rasya menangkap kedua pergelangan tangan Keira yang tak henti-henti memukulinya. Membawa kepala mungil penuh air mata itu ke dadanya. Memeluknya erat dalam dekapan menenangkan.
"Tenangkan dirimu. Sejatinya semua cobaan yang datang dalam hidup, akan membuatmu menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Lebih kuat lagi. Ingatlah, akan selalu ada harapan di dalam keadaan segelap apapun. Bahkan Einstein mengatakan bahwa, gelap itu sesungguhnya tidak ada. Gelap itu cuma suatu keadaan di mana sedikitnya cahaya atau ketidakadaan cahaya. Karena apa? Karena cahaya itu bisa dihitung, tapi gelap, tidak. Jadi, sejatuh apapun kamu, sehancur apapun kamu, sepelik apapun masalah yg kamu hadapi, di sana akan selalu ada setitik cahaya. Always remember, in the middle on difficulty, lies opportunity. Oke Keira? Sudahlah jangan menangis lagi. Tidak semua orang, pantas kamu tangisi." Rasya menepuk-nepuk lembut punggung Keira. Mencoba menenangkannya. Ketika Keira merasa ada satu tekanan di ubun-ubunnya, Keira kaget. Sepertinya Rasya mencium puncak kepalanya. Rasya? Sepertinya ia lebih kaget lagi.