Jadi Orang Biasa

1042 Kata
"Jadi, haruskah kita bersyukur karena pada akhirnya kita tutup mulut?" *** Suara ledakan itu cukup keras, tapi tak cukup untuk membuat semua orang ketakutan. Kecuali Joni dan Aul yang bergegas turun ke lantai satu dan pergi ke luar dari gedung ST Tower. "Kenapa? Kupikir itu bukan apa-apa," ucap Aul. "Mungkin. Tapi apa pun yang terjadi, kita harus keluar dari sini. Kita harus meminimalisir kecelakaan terhadap diri kita sendiri." Aul dan Joni memperhatikan gedung. Tapi sepertinya tak ada yang keluar lagi selain mereka berdua. "Mungkin tadi hanya prank?" tanya Aul lagi. Joni menggeleng, tidak tahu. "Sudahlah. Kita pergi saja. Kelihatannya kau tak terlalu suka dengan program ini." "Tentu. Kau harusnya sudah tahu sejak awal. Bukannya aku selalu bilang kalau tidak akan pernah suka tentang apa pun yang berkaitan dengan ST tower?" "Haha. Iya." Keduanya pun berjalan dan menjauh dari gedung tersebut. Mereka pergi ke salah satu kafe yang tak jauh dari sana. Baru beberapa langkah, keduanya terdiam melihat sosok yang tak asing, yang sedang duduk di salah satu sudut kafe tersebut. "Bukankah itu ...." "Besi?" Aul melanjutkan kalimat Joni. Joni mengangguk. "Tidak salah lagi. Ayo kita temui dia." Aul dan Joni pun segera mendekat ke tempat Besi duduk. Besi langsung tersenyum ketika mengetahui dua orang yang ia kenali itu datang ke mejanya. "Jadi, siapa dua orang ini? Sudah merasa lebih baik?" tanya Besi, seolah setelah keluar dari Jakarta Underground, keadaan masih sulit. "Kami oke-oke saja. Kami sudah kembali beraktivitas sebagai anak kuliahan," ucap Joni sedikit menampilkan senyum. "Tapi sepertinya, Aul tidak begitu," ucap Besi sambil melirik ke arah Aul yang wajahnya tak terlalu ceria. "Ah, aku ... aku juga oke. Hanya memang, aku masih tidak bisa melupakan kejadian itu." "Setiap dari kita, mungkin memang tidak akan bisa melupakan kejadian itu. Tapi, kita harus tetap hidup." "Kita harus tetap hidup? Apakah dengan hidup semuanya jadi terasa lebih baik? Apakah hidup lebih baik daripada mati? Apakah seharusnya kita mati saja di sana bersama Bang Joe dan semua tahanan lainnya?" Joni menepuk pundak Aul yang dengan kasar segera ditepisnya. "Tidak apa-apa, Jon. Semua yang Aul tanyakan adalah haknya. Apa pun itu, dia boleh bertanya apa saja, tapi baik aku atau Joni, atau siapa pun dari kita yang selamat, kita berhak untuk tidak menjawabnya juga. Bahkan mungkin, kita tidak perlu menjawabnya. Bukan begitu?" Tidak ada yang menjawab. Aul dan Joni hanya diam. Mereka tidak tahu harus mengatakan apa. "Sudah. Mari lupakan. Kita sudah di sini dan kita sudah memulai segala sesuatu yang baru. Aku akan pesankan minuman, tapi tunggu. Kenapa kalian ada di sini? Bukankah ini masih jam perkuliahan? Mungkin?" Joni mengangguk. "Ya, kami baru saja pergi ke ST Tower di dekat sini. Itu karena program dari kampus." "Lalu?" "Lalu ada suara ledakan. Dan kita kemari," ucap Joni lagi. "Sebenarnya, aku berencana untuk tetap di sana, tapi Joni menyeretku untuk lari." Besi tertawa. "Diseret? Bagus, Joni. Kita memang harus seperti itu sekarang. Mari kita hindari hal-hal yang membahayakan. Untuk saat ini dan mungkin seterusnya." "Oke sebentar," ucap Besi. Besi memesankan dua minuman untuk Aul dan Joni. Keduanya lalu menikmati minuman itu dan memilih sibuk dengan pikiran masing-masing. Mungkin memang lebih baik bagi mereka untuk tidak lagi membicarakan apa pun. Saat itu. *** "Oke. Sudah sore. Tidak terasa. Kita terlalu hening, ya. Tidak ada yang kita bicarakan lagi dan sepertinya kalian tidak ada yang mau bicara apa pun lagi. Jadi, mari berpisah di sini dan berkabarlah sesekali." Ketiganya keluar dari kafe, tapi masih terlibat pembicaraan di halaman kafe itu. Lalu, ucapan Besi barusan tampaknya membuat Aul dan Joni merasa terkagum-kagum. Mereka tak pernah mendengar Besi setenang itu dalam berkata-kata. "Kalian kenapa menatapku seperti itu?" tanya Besi setelah melihat reaksi Joni dan Aul yang menurutnya tidak biasa. Joni tertawa. "Aku senang, sepertinya kau terlihat lebih segar. Kau terlihat lebih bisa menikmati apa yang ada sekarang. Kau bahkan sepertinya tidak terlalu terusik dengan pembangunan ST Tower," ucap Joni. Aul pun menambahkan, "Ya, apa yang dikatakan oleh Joni itu benar. Kau terlihat lebih baik daripada kita berdua. Aku bahkan kesulitan untuk bisa menerima kenyataan bahwa ST Tower kembali dibangun. Aku ingin mengutuk kenyataan itu, tapi mau bagaimana lagi. Nyatanya bangunan itu akan tetap dibangun. Di seluruh sudut negeri." Besi mengangguk. "Ya, sepertinya begitu dan aku, aku akan jadi orang biasa saja." "Jadi orang biasa?" Joni bertanya. Ia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Besi. "Ya, aku sudah memutuskan. Aku tidak tahu kalau kalian. Aku pikir, aku akan jadi orang biasa saja. Aku akan jadi orang seperti kebanyakan orang lainnya. Orang-orang yang hidup dengan biasa-biasa saja. Mereka berjalan, makan, dan minum dengan tenang, meskipun makanan dan minuman mereka tak seberapa. Mereka juga memikirkan apa yang bagus untuk diri mereka sendiri." Aul dan Joni mengangguk-angguk. Jadi begitu, arti kata-kata orang biasa yang dimaksudkan oleh Besi. "Bagaimana dengan kalian?" tanya Besi. Aul menjawab, "Kami juga akan berusaha untuk jadi seperti itu." "Ya, kami tidak akan kembali mengulangi hal yang sama. Kecerobohan, perhitungan tidak matang dan malah memulai peristiwa besar dengan hal konyol. Aku malu mengatakan kepada dunia bahwa aku dan Aul terjebak di sebuah penjara bawah tanah yang berbahaya karena hendak meneliti untuk tugas kuliah." Besi tertawa. "Jadi, haruskah kita bersyukur karena pada akhirnya kita tutup mulut?" Tak ada jawaban. "Ah, aku menghancurkan suasana. Mari pulang. Ini sudah sore. Keluarga kalian menunggu." Aul dan Joni mengangguk. Besi kini terlihat seperti orang dewasa yang sangat memperhatikan anak-anak. Dan itu membuat Aul dan Joni merasa nyaman. "Kita harus bertemu lagi," ucap Aul pelan. Besi menepuk pundak Aul. "Oke. Jangan pikirkan hal-hal buruk. Kamu terlihat kurus dan perempuan akan sulit jatuh cinta nanti." "Heh, itu penghinaan fisik!" seru Joni, lalu ia mendapat sebuah pukulan yang tidak terlalu keras di punggungnya. "Dengarkan kalau orang dewasa bicara." "Iya-iya." Joni masih merasakan sakit di punggungnya. Ia berkata begitu tanpa memandang ke arah Besi lagi dan terus berjalan menjauh dari kafe. "Apa yang akan kita lakukan besok di kampus? Mungkin orang-orang akan membicarakan kita," ucap Aul agak cemas. Joni tersenyum. "Tenang saja, sobat! Mereka mungkin akan membicarakan kita atau mereka akan mengabaikan kita. Ada dua kemungkinan dan kita sudah tahu dua kemungkinan itu. Jadi, santai saja." Aul pun merasa lebih baik setelah Joni mengatakan itu. Ya, santai saja. Bukan ia sendiri yang lari. Joni juga. Dan memang, memiliki seseorang yang melakukan hal sama adalah hal yang cukup baik. Cukup bisa disyukuri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN