Terhambat

1053 Kata
Mereka terus berjalan. Ipang dan Dollar sudah membawa makanan dan minuman yang tersisa. Aul juga membawa P3K. Mereka semua, berjalan di lorong Jakarta Underground dengan hati yang berusaha dikuatkan. Masing-masing dari mereka, berusaha menajamkan mata dan telinganya. Bukan tidak mungkin, ada mahluk mengerikan yang mereka takutkan tiba-tiba menyerang. "Kenapa penjara ini besar sekali?" tanya Joni, pelan. Besi sebenarnya tak ingin menjawab pertanyaan itu. Ia lebih suka perjalanannya diisi dengan keheningan saja. Banyak bicara akan mengalihkan fokus dan bisa saja, mengundang sosok yang tak diinginkan datang. Sosok yang akan sangat membuat semuanya kacau. "Bukan besar. Penjara ini memang didesain bekelok-kelok dan berputar-putar. Kalau orang yang baru ke sini, pasti dia akan terjebak dan mungkin terus-menerus kembali ke tempat yang sama. Jadi, dia tak akan benar-benar sampai." Besi pada akhirnya menjawab juga. Memang, Aul dan Joni kadang bertingkah seperti bocah kecil yang bertanya segala sesuatu yang baru diketahui. Tidak akan pernah berhenti bertanya, sampai benar-benar terjelaskan. "Begitu, ya. Canggih sekali." "Sudah kubilang, kan. Ini bukan tempat sembarangan." "Joni, Aul, kalian juga pasti paham kenapa tempat ini didesain seperti ini. Ya, karena menampung kita, dan tentunya demi mensukseskan rencana percobaan yang dilakukan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab," ucap Ipang. "Benar. Supaya kita tidak mudah kabur." Dollar menambahkan. "Mengerikan," ucap Joni. Mereka terus berjalan dan menyadari bahwa ada yang salah. "Tunggu, bukannya kita sudah lewat sel ini, tadi?" tanya Dollar. Besi terdiam dan mengamati sekitar. Melihat kiri-kanan. Apakah ia sudah lupa jalan keluar dari penjara? "Apa kau mulai lupa rutenya? Jalannya?" tanya Dollar lagi. Besi menggeleng. "Aku tidak tahu. Tapi, aku yakin, aku sudah di jalan yang benar. Sebentar." Besi terdiam. Mereka semua berhenti berjalan dan Aul, serta Joni, tak bisa mengalihkan pandangan dari sel-sel yang tak terkunci. Mereka membayangkan jumlah orang yang sudah terinfeksi dan mungkin berubah jadi mahluk menyeramkan seperti yang sudah mereka hadapi sebelumnya. Besi kembali berjalan dan semua mengikutinya. "Aku mungkin lupa sedikit, tapi akan kupastikan jalan yang akan aku tunjukkan memang benar." Setelah berkata dengan mantap, Besi akhirnya membawa mereka kepada jalan yang tak berputar lagi. Akan tetapi, setelah beberapa menit berjalan, ada masalah lain. Joni. Pemuda itu kesulitan melangkah dan berjalan. Ipang dan Dollar yang berada di belakang Joni dan Aul, sebenarnya sudah tahu kalau Joni kesulitan melangkah dengan kakinya yang terluka itu. Setelah beberapa saat berjalan lagi, Aul tidak tahan melihat Joni yang kesakitan. "Berhenti," ucap Aul. Semua orang heran. "Kenapa?" tanya Besi. "Joni sepertinya harus istirahat." Joni menggeleng. "Tidak-tidak. Aku bisa. Aku masih kuat. Ayo, terus berjalan saja, jangan cemaskan aku. Tidak apa-apa." Besi melihat kondisi Joni. Pemuda itu banjir keringat. Mungkin karena menahan rasa sakit. "Kau harus berhenti dulu." Joni menggeleng lagi. "Tapi, tidak ada waktu." "Kalau memaksakan diri, nanti kau bahkan bisa mati sebelum sampai." "Mati sekarang, atau mati nanti, apa bedanya. Lebih baik mati nanti, setelah berusaha. Daripada mati sekarang, bahkan sebelum benar-benar sampai ke tempat tujuan kita." Joni bersikeras dan itu membuat Besi tak punya pilihan lain, selain berusaha. "Kalau begitu, ya, sudah. Mau bagaimana lagi. Kau sendiri yang merasa sanggup. Jadi, mari lanjutkan." Joni mengangguk. Aul berusaha memapahnya, menuntunnya. Meskipun perjalanan mereka jadi agak melambat, tapi Joni tak mau berhenti. Setelah berjalan cukup jauh, Besi melihat ke belakang, demi memeriksa Joni, Aul, dan yang lainnya. Joni pucat pasi. Besi tak bisa jika harus terus melanjutkan. "Mari cari ruangan lain untuk istirahat. Kulihat, Joni sepertinya ...." Belum juga Besi melanjutkan kalimatnya sampai akhir, Joni sudah memotongnya. "Aku baik-baik saja. Aku bisa. Sudah kukatakan, kan. Kalau aku masih kuat. Jadi, ayo. Mari terus berjalan. Kita harus cepat sampai." Besi terus menatap Joni yang kelelahan. Napasnya pun sudah begitu berat. Tak lama, Joni pun pingsan. "Dia benar-benar banyak omong. Sudah, bawa dia. Kita cari ruangan yang mungkin bisa kita jadikan tempat untuk beristirahat." Aul dan Ipang memapah Joni. Mereka mencoba mencari satu ruangan yang mungkin dapat mereka gunakan untuk sekadar beristirahat. "Ini. Di sini saja," ucap Besi. Ia kemudian masuk ke satu ruangan dan memeriksanya perlahan. Melihat setiap sudut, demi memastikan tidak ada yang aneh. Dollar pun menyusul. "Aman, bukan?" tanyanya. Besi mengangguk. Aul dan Ipang segera membawa Joni dan membaringkannya di lantai. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Aul dengan nada yang sedikit putus asa. Ia takut Joni tidak akan selamat. "Dia hanya perlu istirahat. Dia itu kuat, buktinya, dia bisa berjalan sampai sejauh ini, meskipun setelah terluka seperti itu. Jadi, tenang saja, dia pasti akan segera membaik dan kita, bisa melanjutkan perjalanan," ucap Ipang. Mencoba menenangkan Aul. Aul mengangguk-angguk. Ia tak pernah melihat Joni kesakitan seperti itu. Dan hal tersebut membuatnya merasa sedih. Ah, menyebalkan! Di saat-saat seperti itu, selalu ada perasaan ingin menangis dan tentu saja, Aul merasa bukan waktu yang tepat, jika ia harus menangis di depan tahanan-tahanan itu. Karena itu akan membuatnya malu. Itu akan membuat harga dirinya sedikit terpinggirkan. Makanya, ia diam saja. Di dalam hatinya, Aul terus berdoa agar Joni dapat terus bertahan dan mereka dapat melanjutkan perjalanan dengan selamat. Mereka semua masuk ke sebuah ruangan. Ruangan yang lebih rapi dari ruangan sipir sebelumnya. Ruangan itu terlihat seperti sebuah ruangan yang dipakai untuk menyimpan barang-barang bekas. Besi melihat-lihat, mencari apa saja, barang atau sesuatu yang bisa dijadikan senjata. "Ini. Pakai ini. Potongan kayu ini. Untuk menyerang mereka. Kita harus waspada." Besi menyodorkan potongan kayu kepada Dollar. "Yang lain juga. Kalian harus punya sesuatu agar bisa menghajar mereka. Karena kita pun tidak tahu, bukan. Kapan mereka datang. Mereka datang tiba-tiba, tanpa bisa kita duga sebelumnya. Itulah mengapa, kita harus selalu siap." Aul mengangguk. Sambil beristirahat, pikiran Aul kembali melayang. Ia merindukan keluarganya. Di saat-saat seperti itu, pikiran melankolisnya selalu saja hadir. Ia memperhatikan sekitar, lalu memperhatikan dirinya sendiri. Suasana ini .... Suara rintik hujan, yang sejak beberapa waktu lalu tak terdengar, kini terdengar lagi. Ia mulai membayangkan yang tidak-tidak. Ia mulai memikirkan tentang bagaimana jadinya, jika penjara tersebut roboh dan menimpanya. Menimpa semua yang tersisa. Bagaimana jadinya, jika semua tahanan yang terinfeksi menyerang mereka semua dengan tiba-tiba, dengan brutal. Ia dan semua yang tersisa akan mati sebelum benar-benar menemukan jalan keluar. Pikiran-pikiran itu datang, selalu. Di saat Aul dan yang lainnya tengah diam. Di dalam keheningan. Aul menebak-nebak apa kiranya yang ada di dalam pikiran Besi. Apa kiranya yang ada di dalam pikiran Ipang, Dollar, atau bahkan Joni yang kini tengah berbaring tak berdaya. Ia bertanya-tanya dan berharap, semoga semuanya berjalan seperti yang ia harapkan, meskipun kecil kemungkinannya. Aul memejamkan mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN