"Tapi, memangnya, kita punya pilihan lain?"
***
Perlahan, Joni membuka mata. Ia mengerjap, untuk kemudian, ia merasakan sakit yang cukup hebat di kakinya. Ah, luka sialan itu, umpatnya di dalam hati.
Joni berusaha bangun dan menyandarkan tubuhnya. Ia melihat sekeliling dan menyaksikan teman-temannya, Dollar, Ipang, Besi, dan Aul, tengah tertidur.
Pemuda itu cukup merasa nyaman dengan keadaan ruangan yang ia tempati, meskipun sebenarnya Joni juga paham. Hal itu tak menjamin bahwa tempat yang sedang mereka singgahi adalah tempat yang aman.
Joni menyadari bahwa dirinyalah yang paling lambat sekarang. Tiba-tiba saja, ia jadi memiliki pemikiran bahwa ialah yang jadi penghambat dalam perjalanan teman-temannya. Ya, kalau bukan karena dirinya yang terluka, mungkin saja keempat orang yang sedang bersama dirinya sudah melanjutkan perjalanan mereka.
Joni berusaha menyingkirkan pikiran buruk itu. Ia berusaha menguatkan hatinya. Ia hanya harus lebih kuat dan lebih bisa menahan rasa sakit di kakinya.
"Kakimu itu, mungkin harus diobati lebih baik lagi," ucap Besi tiba-tiba yang sempat membuat Joni terkejut.
"Ah, iya. Tapi, bagaimana caranya? Ini saja, kau yang tangani, itu sudah untung bagiku. Daripada dibiarkan, mungkin aku sudah mati sejak tadi."
"Caranya, ya, kita keluar dari sini. Cari rumah sakit."
Joni tertawa. "Ya, bukannya itu memang yang kita inginkan?"
"Ya. Tapi, kenapa kamu tertawa?"
Joni melirik ke arah Besi dengan tatapan sedikit mengejek. "Bukannya sejak awal, kau tidak mau membantu? Tapi lihatlah, sekarang, kamu jadi seseorang yang sangat ingin membantu. Terima kasih, Besi. Kau hebat. Sungguh. Aku tidak bohong."
Mendengar itu, Besi tak tahu harus menanggapi bagaimana. Rasanya, itu pertama kalinya ia mendengar kata terima kasih dari seseorang, dengan sungguh tulus, setelah sekian lama. Ya, kalau tidak salah. Sudah lama sekali.
"Aku tidak menyangka. Bahwa kalian, bahwa orang-orang baik sepertimu, seperti Ipang atau Dollar, harus dipenjara di sini."
"Tidak adil, bukan? Tapi menurut hukum, kita semua memang bersalah."
"Ya, kalian memang bersalah. Tapi, di penjara di sini, di bawah tanah, dengan penjagaan yang ketat, lalu dengan adanya uji coba aneh yang menjadikan tahanan sebagai eksperimennya, itu sangat tidak manusiawi."
Besi mengangguk. "Memang, tapi kau pasti pernah dengar, di belahan dunia lain, hal semacam ini ada. Percobaan kepada para tahanan atau orang gila, itu ada. Bahkan mungkin sangat banyak."
"Ya, aku pernah dengar. Tapi aku tidak menyangka, hal itu ada di kotaku."
Besi membenarkan posisi duduk. Sementara tiga lainnya, Ipang, Aul, dan Dollar masih memejamkan mata. Ipang sebenarnya tahu ada yang sedang mengobrol, tapi ia terlalu malas untuk membuka mata dan ikut bergabung. Ia memilih untuk tetap tertidur. Menikmati waktu-waktu yang tersisa.
"Bagaimana kota Jakarta sekarang? Sebelum kau jatuh ke sini? Apakah sudah sangat canggih? Pasti, ya. Apakah ada banyak terobosan yang dibuat?"
Pertanyaan Besi, lagi-lagi mengundang tawa Joni.
"Jangan pertanyaan hal semacam itu. Kau sekarang mungkin tahu kondisi yang sebenarnya. Jakarta akan tenggelam. Itulah kenyataannya dan sekarang, kita semua mengetahui itu."
"Oke. Tidak ada yang lebih penting, ya. Selain apa yang kita hadapi sekarang."
"Iya."
"Bagaimana? Apa kau sudah merasa kuat? Sudah lebih baik?" tanya Besi. Memastikan keadaan Joni.
"Sudah. Aku sudah merasa lebih baik. Masih terasa sakit, tapi aku yakin, aku bisa menahannya. Kita harus segera pergi dari sini dan memulai perjalanan lagi. Benar, bukan?"
Besi mengangguk. Ia pun mulai membangunkan Ipang dan Dollar. Joni membangunkan Aul.
***
Mereka kembali memulai perjalanan. Kali ini, Joni sudah merasa lebih baik, meskipun ia harus agak menyeret langkahnya. Namun, itu bukan masalah. Ia sudah bertekad dan yakin mampu menahan rasa sakitnya. Ia harus.
Hampir semuanya, sekarang, punya senjata masing-masing untuk berjaga-jaga. Formasi masih sama. Besi yang paling depan, sebagai seseorang yang menuntun jalan, karena ia yang paling tahu letak dan rute jalan keluar, Aul dan Joni berada di tengah, dan terakhir, ada Ipang dan Dollar. Sesekali, Ipang dan Dollar memeriksa belakang mereka, takut kalau ada yang tiba-tiba menyerang dari arah sana. Dari arah yang tak terduga.
Besi tak lagi berpikir apa-apa, selain mewaspadai keadaan sekitar dan mengingat-ingat soal jalan, serta mengingat apa yang dikatakan oleh tahanan yang ia bunuh beberapa saat yang lalu.
Bahwa mereka, orang-orang yang terinfeksi, dikurung di sebuah ruangan, yang dekat dengan jalan keluar.
Maka, pada setiap ruangan yang dilewati, Besi jadi lebih awas. Ia memperhatikan dengan seksama dan telinganya, tentu saja jadi lebih tajam ketika melewati ruangan demi ruangan.
"Tahanan yang kubunuh tadi, bilang kalau ia mengurung mahluk-mahluk terinfeksi di sebuah ruangan yang dekat dengan jalan keluar. Jadi, kalian harus waspada."
Besi berucap pelan. Semuanya mengerti. Joni juga. Ia berusaha fokus, meskipun rasa sakit di kakinya tak juga enyah.
Beberapa menit berjalan, mereka semua dikejutkan dengan sosok lain yang datang dari arah belakang. Ipang dan Dollar pun langsung gerak cepat. Membalikkan badan dan menyuruh semua agar waspada.
Setiap dari mereka sudah siap dengan senjata alakadarnya di tangan masing-masing.
"Siapa itu?!" tanya Ipang, setengah teriak. Ya, ia ingin memastikan apakah sosok itu masih manusia normal atau memang sudah berubah jadi mahluk yang mengerikan seperti yang mereka temui sebelum-sebelumnya.
Namun, pertanyaan Ipang itu tak menuai respon apa pun.
Besi maju. Ia berusaha untuk melihat lebih dekat. Sosok itu terus berjalan ke arah mereka. Dengan langkah yang sedikit terseret.
"Tapi, kenapa ia tidak menyerang kita secara langsung? Bukannya mahluk sebelum ini, langsung menyerang kita tanpa ampun?" tanya Joni heran.
"Iya. Aku yakin, dia masih manusia biasa. Atau bisa saja, dia mungkin manusia yang sudah terinfeksi, tapi, masih belum berubah sepenuhnya," ucap Aul.
"Ya ampun. Kalau begitu, akan ada pembunuhan lagi nantinya."
"Kita serahkan saja kepada Besi," tambah Ipang.
Tidak ada yang lebih baik yang melakukan hal semacam itu, selain Besi.
Besi semakin mendekat. Aul, Ipang, Joni, dan Dollar mengekor di belakang.
Setelah semakin dekat, Besi dan yang lainnya kaget. Sosok itu adalah sosok yang mereka kenal!
"Bang Jo?" tanya Ipang, memastikan.
Semuanya terheran. Besi menyuruh semuanya mundur.
"Ya, dia Bang Jo yang kita kenal. Tapi, dia sepertinya sudah terinfeksi. Kalian mundur."
Terlihat wajah Bang Jo dan matanya yang sudah mulai berubah. Ipang tak tega melihatnya. Lalu membayangkan jika salah satu dari mereka, ya, tentu saja itu adalah Besi, membunuh Bang Jo, itu membuat hati mereka merasa terluka.
"Tidak boleh. Dia tidak boleh dibunuh!" Dollar berteriak. Ia bahkan protes sebelum keputusan itu benar-benar diambil.
Besi melihat ke arah Dollar. "Tapi, memangnya, kita punya pilihan lain?"