Seharusnya, memang tidak ada diskusi. Dalam situasi itu, tidak ada pilihan lain, selain membunuh Bang Joe. Itu adalah harga mati.
Sosok itu, Bang Joe, sudah terduduk lemas. Besi melihatnya, semua orang melihatnya dengan tatapan tidak tega. Bang Joe kelihatan sulit bicara. Ia hanya menggeram dan menggeram. Mungkin itu efek dari dari percobaan ilegal yang telah dilakukan oleh kepada para tahanan.
"Bagaimana?" tanya Joni. Ia seolah sedang bertanya kepada angin. Sebab tak ada satu pun dari mereka yang akan menjawab dan yang benar-benar yakin dengan satu-satunya keputusan itu.
Besi mendekat. Ia menatap Bang Joe. Ia jadi ragu dengan keyakinannya yang semula. Ia berada di antara pilihan yang sulit. Jika ia membiarkan Bang Joe, maka Bang Joe yang akan menyerang mereka. Itu sudah pasti. Sama seperti tahanan lain yang sudah terinfeksi, perlahan, Bang Joe juga akan menjadi seperti mereka.
"Aku tidak bisa membiarkanmu menghabisinya," ucap Dollar tiba-tiba. Dengan tangannya, ia seolah berusaha memberi isyarat kepada Besi agar tidak terlalu dekat dengan Bang Joe. Ipang sudah tahu apa yang ada di dalam pikiran Besi.
"Kita melupakannya, sejak awal. Coba saja kalau dia bergabung dengan kita, maksudku, kita mengajaknya, mungkin tidak akan seperti ini jadinya. Sudah, Dollar. Biarkan Besi melakukan tugasnya." Ipang berkata demikian, tapi Dollar masih terlihat tidak terima. Ia masih tidak mau jika Besi menghabisi temannya itu.
"Kalau kalian tidak mau menyaksikan apa yang akan aku lakukan, sebaiknya kalian pergi lebih dulu. Tinggalkan aku dan Bang Joe di sini. Pergi saja. Jangan berbalik. Jangan ingin tahu apa yang kulakukan kepadanya. Aku membunuhnya atau tidak, itu akan jadi urusanku."
Besi berkata dengan tegas. Joni dan Aul angkat kaki terlebih dahulu. Disusul oleh Ipang.
Dollar masih berdiri. Ia masih menatap Bang Joe yang terus menggeram dan terlihat menahan rasa sakit.
"Apa kau tega membunuhnya? Apa kau tidak akan merasa bersalah?" tanya Dollar kepada Besi. Pertanyaan itu seolah menjadikan pilihan menghabisi Dollar adalah sesuatu yang sangat salah. Padahal, itulah satu-satunya cara agar mereka semua selamat.
"Kau harusnya paham jika aku tidak membunuhnya. Apakah keadaan akan menjadi lebih baik? Atau sebaliknya?" Besi balik bertanya.
Dollar terdiam. Ia tidak punya jawaban apa pun. Karena memang tak ada pilihan lain. Sangat tak ada. Ia pun berbalik, berusaha untuk tak menatap Bang Joe lagi. Berusaha untuk meyakinkan diri bahwa itulah satu-satunya keputusan yang terbaik. Hanya, ia merasa, jika nanti ia selamat dan hidup dengan baik di masa depan, ia tak akan pernah bisa melupakan kejadian tersebut. Tidak akan pernah bisa.
Ia akan tetap merasa bersalah dan Dollar merasa itu adalah hukuman untuk dirinya dan untuk yang lainnya juga.
Mungkin.
Tinggallah kini hanya Besi dan Bang Joe yang saling berhadapan. Besi masih memegang erat pisaunya. Menatap ke d**a Bang Joe.
Aneh, tapi agak lama ternyata bagi seorang Bang Joe untuk berubah menjadi ganas. Seharusnya Bang Joe sudah memperlihatkan tanda-tanda tak bersahabat, tapi mengapa belum juga?
Besi akhirnya bertanya. Meskipun sudah pasti, jawabannya hanya berupa geraman.
"Apa yang ingin kau sampaikan untuk terakhir kali? Aku dan semuanya meminta maaf untuk apa yang akan aku lakukan sekarang. Semoga kau mau memaafkanku. Karena, aku atau yang lainnya tak punya pilihan, selain ini."
Besi sudah bersiap.
***
Empat orang berjalan pelan, tak sedikit pun berbalik. Tak sanggup rasanya jika harus menyaksikan apa yang sangat tak ingin mereka saksikan.
"Aku seharusnya mengajaknya."
Dollar mulai lagi. Penyesalannya belum juga usai.
"Aku juga salah. Lagi pula, aku tidak tahu kalau kita akan langsung memulai perjalanan ini. Sebab apa? Kukira, mahluk-mahluk itu tak akan secepat ini menampakkan diri. Ternyata, ada banyak yang seperti mereka dan mungkin sudah tersebar ke setiap sudut penjara ini. Mengerikan memang," ucap Ipang.
"Ya, sudah. Mau bagaimana lagi. Kita kan memang dihadapkan pada situasi yang sulit. Jika kita tidak melenyapkan Bang Joe, maka ia akan berbalik menyerang kita. Ya, itulah yang akan terjadi nanti. Benar, bukan?" Joni berusaha membuat perasaan Dollar dan Ipang membaik. Tidak seharusnya mereka larut dalam perasaan-perasaan seperti itu.
Setelahnya, tak ada lagi percakapan. Dari arah belakang, terdengar langkah kaki lain. Itu Besi. Ia mungkin sudah menyelesaikan misinya.
Besi masuk ke dalam barisan dan akhirnya kembali ke posisi semula. Menjadi yang terdepan, sebagai penunjuk jalan.
"Apa kau membunuhnya?" tanya Joni pelan, tapi to the point.
Besi terdiam sesaat, agak lama ia menanggapi. "Sebaiknya, tak ada lagi pembicaraan apa pun mengenai ini. Aku harap begitu. Kau mengerti, kan? Semuanya juga. Sebaiknya, tidak ada lagi pembicaraan soal ini. Kita fokus saja untuk mencari jalan keluar. Itulah satu-satunya tujuan besar kita sekarang."
Joni mengangguk. Ia mengerti. Setelahnya, tak ada lagi satu atau dua percakapan lain. Mereka hanya fokus ke jalanan di depan.
Joni sebenarnya mulai kembali merasakan sakit di kakinya, akan tetapi, ia berusaha menahannya. Ya, ia harus. Ia tak boleh menyerah sekarang. Bisa saja, jalan keluar sudah dekat.
Aul menyodorkan lengannya, ketika tahu kalau Joni sepertinya mulai kesakitan lagi.
"Aku bantu kamu berjalan," ucap Aul.
Joni mengangguk. "Terima kasih. Maaf aku jadi merepotkan."
Aul menggeleng. "Jangan bodoh. Jangan bicara lagi. Sudah."
"Aku mungkin sudah agak menghambat perjalanan kalian."
Aul menggeleng lagi. "Sudah kubilang, kan. Jangan bicara lagi. Kita jalan saja."
Besi terus menuntun mereka. Ia yakin, jalan keluar sebentar lagi. Namun, tiba-tiba saja, langkahnya terhenti. Aroma busuk yang cukup menyengat, menyambut mereka semua. Aul bahkan sudah kesulitan untuk menahan muntah.
"Apa ini?" tanyanya panik.
Aroma busuk itu kian tercium setiap mereka menambah langkah.
"Tidak bisa, berhenti dulu. Aku tidak bisa."
Joni sudah muntah-muntah. Disusul dengan Aul. Ipang dan Dollar mungkin sudah agak terbiasa dengan aroma-aroma aneh. Mereka tak terusik sama sekali. Mereka tak masalah. Mereka sudah terbiasa.
Besi menyuruh mereka diam.
"Tetap di sini. Biar kuperiksa terlebih dahulu, apa yang ada di depan."
Besi melangkah maju, untuk memastikan apa yang mungkin mereka hadapi. Kali ini, apa lagi?
Saat Besi sampai di satu sudut, ia menyaksikan beberapa mayat dari tahanan yang sudah membusuk. Ia menutup hidungnya, tapi tetap saja, aroma menyengat itu tercium dengan jelas. Sangat busuk.
Besi kembali.
"Di depan, kalian harus bersiap. Ada beberapa mayat yang sudah membusuk. Kita harus melewatinya. Hanya itu satu-satunya jalan. Lari saja, itu akan lebih cepat. Bayangkan hal-hal menyenangkan."
Joni masih sibuk dengan perutnya. Ia benar-benar merasakan pusing yang teramat di kepala. Karena aroma itu.
"Ayo, cepat. Kau pasti bisa," ucap Aul. Joni mengangguk. Ia menutup hidungnya rapat-rapat. Semakin dekat, aroma itu semakin tercium. Seperti yang Besi katakan, akan lebih mudah kalau mereka lari. Itu juga akan mempercepat mereka terbebas dari bau busuk.
Lima orang itu lari. Joni juga. Ia berusaha menahan rasa sakit yang semakin menyerangnya. Kakinya dipaksa bekerja keras untuk bisa terus melangkah dan melangkah.
Setelah berhasil melewati itu, Joni kembali tersungkur. Jatuh. Ia mengerang. Kakinya semakin sakit. Tak lama, pemuda itu pingsan. Lagi.