Jika hanya kita berdua saja yang bicara kebenarannya, kurasa kita akan berakhir mati mengenaskan.
***
Di ruang autopsi.
Dua dokter sedang memeriksa mayat si anak ilmuwan yang disebutkan oleh pihak ST Tower, tentang kematiannya yang dinyatakan sebagai kasus bunuh diri.
Salah satu dokter itu sedikit terdiam ketika menatap wajah si anak. Kematiannya jelas tidak seperti yang disebutkan di depan publik. Dokter itu tahu betul bahwa itu bukan kasus bunuh diri. Ada bekas cekikan di leher dan itu bukan karena tali, melainkan tangan.
"Aku menyesal. Aku menyesali keputusanku."
Kalimat salah satu dokter itu membuat dokter yang satunya jadi was-was. "Ssst. Pelankan suaramu."
"Aku tidak bisa melanjutkan ini. Semua orang harus tahu apa yang terjadi," ucapnya lagi.
Dokter di sampingnya terdiam. Ia tahu kalau itu hanya kalimat kosong. Temannya itu tak mungkin benar-benar merealisasikan apa yang baru saja ia ucapkan. Karena ia juga sama sepertinya. Ia juga tak ingin jadi pembohong karena itu berarti keduanya telah melanggar sumpah.
"Pikirkan orang-orang yang dekat dengan kita, juga pekerjaan yang kita miliki saat ini. Apakah kamu rela melepaskannya?"
Yang ditanya diam. Keinginan menggebu tadi seolah menguap begitu saja setelah mendengar soal orang-orang terdekat dan pekerjaan. Ia mengingat semuanya, tentang bagaimana sulitnya ia mendapat predikat dokter dan tentang bagaimana sulitnya keluarganya membiayai pendidikannya sampai ia jadi bisa jadi seperti itu.
"Kebanggaan mereka padaku hanya cangkang kosong. Dokter adalah penyelamat. Itu bohong."
"Hentikan. Kita fokus saja. Kalau ingin selamat, kita harus menuruti apa yang mereka katakan. Tidak ada cara lain lagi selain itu."
Perkataan dokter yang satu itu akhirnya menjadi akhir percakapan mereka di di ruang autopsi hari itu. Mereka berdua pada akhirnya tetap memutuskan untuk menyembunyikan kebenaran yang seharusnya tidak mereka tutup-tutupi. Keduanya hampir sama dengan Aul dan Joni. Disumpal mulutnya, dipaksa menutup kebenaran.
Kedua dokter itu akhirnya pulang ke rumah masing-masing setelah menulis laporan palsu.
Salah satu dokter itu, yang tadi sempat merasa menyesal, mencoba mengistirahatkan diri. Ia memejamkan matanya, tapi ia merasakan dingin yang cukup membuatnya menggigil. Sepertinya, sepulang dari melakukan autopsi, ia jadi kurang sehat.
***
Aul dan Joni menjalani aktivitas seperti biasa. Terlepas dari apa yang sedang terjadi, sepertinya mereka memilih untuk tak terlalu jauh ikut campur pada sesuatu yang tak sepenuhnya mereka ketahui. Lagi pula, itu akan sangat berbahaya.
Aul memikirkan itu selama di perjalanan menuju ke kampus. Ia juga memikirkan tentang obrolan terakhir dengan Joni. Lelaki itu tampak tak acuh dan berjalan dengan headset di telinganya. Seperti sibuk saja dengan lagu-lagu yang diputar di ponselnya, tapi Aul tahu itu hanya pengalihan, agar tak ada pembicaraan soal tema serupa di antara mereka. Mungkin Joni muak, mendengar keinginan Aul yang begitu menggebu-gebu, tapi bahkan keberaniannya tak sampai seujung kuku.
Sesampainya di kelas, tak ada hal yang begitu istimewa. Membosankan. Ditambah ketika dosen datang dengan sedikit terbatuk-batuk. Aul merasa ia tak tahan dengan suasana itu. Ia tak mau berada di kelas. Sungguh. Ia merasa sesak. Penjelasan demi penjelasan yang disampaikan oleh dosen itu, tak ada yang menempel satu kata pun di benak Aul.
Melihat Joni, ia lebih parah lagi. Ia mungkin sudah menghabiskan setengah jam untuk memejamkan matanya ketika kelas berlangsung.
"Bangunlah," ucap Aul.
"Hmmm? Aku menonton film semalaman."
"Film apa?"
"Kau tahu. Film lama."
"Apa menyenangkan menonton film yang sama berulang kali? Kita sudah tahu dari awal sampai akhir akan seperti apa."
"Hmmm. Ya, aku suka. Diamlah. Atau kita akan dikeluarkan dari kelas. Kau tahu dosen yang satu ini. Dia tidak suka ada yang mengobrol di kelas."
"Dikeluarkan? Itu tujuanku."
Aul mengatakan kalimat itu sedikit lebih keras, sehingga tentu saja dengan mudah si dosen meliriknya. Joni juga tertangkap basah tengah mencoba untuk kembali tertidur.
"Kalian berdua, keluar!"
Berhasil.
Aul keluar dari kelas dengan ekspresi riang dan Joni dengan malas mengikutinya dari belakang. Ia masih ingin tidur sebenarnya.
"Ada apa ini?" tanya Joni.
"Bosan. Lagi pula, sesekali kita harus jadi anak nakal."
"Ini bukan Jakarta. Ini kota yang berbeda."
"Tidak ada bedanya sekarang. Jadi, bersikaplah santai. Ah, seandainya kita belajar di luar ruangan. Sepertinya, akan lebih menyenangkan," ucap Aul. Ia memilih duduk di salah satu bangku halaman kampus. Cuaca sedang tak terlalu mendukung. Mendung dan tentu saja berhawa dingin.
"Kota ini cukup bagus dalam hal cuaca," ucapnya lagi.
Joni duduk tak jauh dari Aul. "Aku setuju soal itu. Tapi, nanti sore ada pertandingan bola. Kakakku mengajakku menyaksikannya. Kau harus ikut. Ayahmu juga. Aku harap tidak hujan."
"Kau tidak suka hujan sekarang?"
"Tidak juga. Tapi suara hujan mengingatkan kita soal Jakarta Underground bukan?"
"Tidak, Jon. Suara hujan di sana dan suara hujan di sini. Jauh berbeda."
Joni mengangguk-angguk. Sepertinya perasaan traumatis Aul sudah jauh lebih baik. Bahkan mungkin sudah mulai hilang. Pembicaraan soal Jakarta Underground terlihat tidak terlalu mengganggunya.
"Oke. Kita kembali lagi membicarakan ini, cih," ucap Aul lagi. Ia merasa lucu terhadap dirinya sendiri. Tentang bagaimana ia ingin menyangkal dan tak peduli, tapi tetap saja peduli. Memang, dasarnya dua orang itu dari dulu punya rasa kepedulian yang tinggi. Jadi, tak mudah bagi mereka untuk bersikap cuek-cuek saja seperti yang disarankan oleh Besi.
"Sudahlah. Selama kita hanya membicarakan dan tak melakukan apa pun yang merugikan kita, menurutku, kita akan aman-aman saja."
Aul mengangguk. "Jon, apa menurutmu, sebenarnya kita sedang diawasi?" Sedetik kemudian, Aul melihat sekeliling. Seolah mencari sesuatu. "Mungkin saja, sebenarnya, kita sedang diawasi oleh seseorang atau sesuatu. Entahlah," lanjutnya.
"Hmmm. Aku tidak tahu. Apakah sebenarnya kita diawasi atau tidak, tapi, hanya satu yang terlintas di pikiranku. Jika hanya kita berdua saja yang bicara kebenarannya, kurasa kita akan berakhir mati mengenaskan."
"Sama seperti anak ilmuwan itu."
"Benar, Ul. Kita akan mati mengenaskan dan akan ada yang memalsukan sebab kematian kita."
"Permainan yang sangat kotor."
"Ya."
"Manusia macam apa yang memiliki pemikiran seperti itu."
"Terlampau ambisius."
"Gila."
"Sangat gila."
"Bisa saja, mungkin mereka bukan manusia."
"Tepat, Ul. Mereka mungkin manusia yang sedang kerasukan."
Aul tersenyum miris. "Seharusnya mereka yang mati tenggelam di Jakarta Underground. Bukan para tahanan itu."
"Sudahlah."
"Ya, aku hanya ingin mengatakannya saja."
Beberapa saat kemudian, sepertinya kelas mereka sudah selesai. Beberapa mahasiswa terlihat keluar. Begitu juga si dosen. Aul dan Joni memperhatikan dosen tersebut.
Tak lama, terlihat si dosen agak limbung. Jalannya seperti tak beraturan. Ia pun ambruk.
"Ya ampun," ucap Aul sambil tertawa.
"Hei. Kau tertawa?" tanya Joni, lalu keduanya sama-sama tertawa.
"Hentikan. Mari kita lihat. Sepertinya serius," ajak Aul. Joni pun beranjak.