Masalah yang Memuncak

1058 Kata
Kalau ada yang bisa kita lakukan untuk membuat semuanya jadi lebih baik, kenapa tidak? *** Gonjang-ganjing berita mengenai tewasnya anak dari seorang profesor yang sebelumnya diberitakan hilang sebenarnya memang sangat berkaitan dengan ST Tower. Para petinggi ST Tower, termasuk Profesor Ramli sudah melakukan beberapa kali rapat demi membahas hal tersebut dan hasilnya, Profesor Ramli yakin bahwa ST Tower bisa cuci tangan atas kejadian tersebut. "Semua ini, jelas adalah kesalahan dari Profesor Kendra sendiri. Kalau saja ia mau tetap bersama kita, kalau saja ia tidak gegabah, maka semuanya akan aman-aman saja," ucap Profesor Ramli di sebuah ruangan kedap suara. Ia tengah berbicara dengan salah satu petinggi ST Tower yang lain. "Iya, benar. Akan tetapi, anaknya tidak bersalah. Kita seharusnya lebih berhati-hati dalam membungkam mulut seseorang. Terakhir kali, bukankah dengan uang semuanya bisa cepat beres?" Profesor Ramli kemudian terkekeh mendengar kalimat tanya itu. Dengan uang, semuanya bisa cepat dan beres. Ya, itu sangat benar. Akan tetapi, masalahnya adalah, anak itu bukan berasal dari keluarga miskin atau bahkan memiliki anggota keluarga yang lain. Tidak ada yang bisa dijadikan bahan ancaman, dan tidak ada pula rasa takut yang ditunjukkan anak itu ketika diancam dengan kematian. "Dia tidak takut apa pun. Itu yang kulihat. Dari matanya, anak itu terlihat penuh keberanian. Seperti ayahnya." "Dia mati karena apa? Bagaimana publik akan mengetahuinya?" "Dia bunuh diri. Tidak ada keraguan. Orang-orang kita akan mengurusnya dengan baik. Lagi pula, dia tidak punya anggota keluarga lain. Jadi, tidak masalah. Tentang harta atau aset, serta uang yang ditinggalkan, akan diketahui oleh publik mengalir ke yayasan sosial. Itu pesan terakhir dari anak itu." "Pesan terakhir? Isi suratnya?" "Ya, isi suratnya. Akan diketahui publik seperti itu. Dia bunuh diri, karena ayahnya tak kunjung kembali dan entah di mana, memiliki riwayat depresi, dan memberi surat wasiat untuk menyalurkan semua harta yang dimilikinya kepada yayasan amal. Itu cukup. Bahkan lebih dari cukup untuk membungkam keingintahuan publik." Orang yang diajak bicara mengangguk. Ia pun merasa lega. "Ramli, aku adalah salah satu penyumbang terbesar di ST Tower. Jadi, jangan sampai ST Tower memiliki nama yang kotor. Aku tidak mau rugi di kemudian hari," pungkasnya sebelum benar-benar melangkah pergi meninggalkan Profesor Ramli. Tak lama, Profesor Ramli pun keluar dari ruangan khusus itu. Ia menatap lorong ST Tower yang begitu megah. Kebanggaannya. Salah satu kebanggaannya yang tidak mungkin hancur lagi oleh badai kecil yang tengah terjadi. Baginya, kematian salah satu anak Profesor yang pernah menjadi bagian dari ST Tower hanyalah badai kecil saja. Ia tidak akan khawatir. Ia tidak perlu khawatir. Ia hanya akan terus fokus membangun ST Tower dan mengembangkan semua yang mesti ia kembangkan demi kemajuan ST Tower. *** Penyelidikan kasus meninggalnya anak dari salah satu Profesor terkenal akhirnya diumumkan oleh pihak kepolisian sebagai kasus bunuh diri. Mereka juga mengatakan kalau kematian dari anak Profesor tersebut tidak ada kaitannya dengan ST Tower. Kepolisian bersikeras mengatakan bahwa sang anak memiliki riwayat gangguan psikologis yang cukup berat, yakni depresi. Publik tentu saja masih bertanya-tanya. Ada dua kubu yang tercipta di media sosial. Yaitu kubu yang percaya bahwa pernyataan polisi memang benar adanya. Hal itu dibuktikan dengan bukti-bukti berupa riwayat dan pernyataan salah satu psikiater yang menangani si anak selama ini. Lalu, ada juga surat wasiat yang menurut polisi, dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. Semua bukti-bukti itu mengarah kepada kesimpulan bahwa anak tersebut memang benar bunuh diri. Bukan dibunuh. Lalu kubu kedua, adalah kubu yang isinya anak-anak muda, para mahasiswa, yang merasa bahwa ada yang janggal dengan kematian tersebut. Berbagai macam spekulasi masih berseliweran di media sosial dan dua anak muda yang sedang menahan diri untuk tidak ikut-ikutan, yaitu Aul dan Joni, mereka juga tengah menyimak apa yang sedang terjadi. Keduanya kembali duduk mengobrol. Memesan makanan di kantin selepas beberapa mata kuliah usai. Siang itu, Aul dan Joni sama-sama diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali mereka memakan apa yang ada di meja, sesekali hanya menghela napas saja. "Kenapa diam saja?" tanya Joni, memecah kesunyian yang ada sejak tadi. Aul tertawa pelan. "Karena, kalau kita bicara, pasti tidak ada yang akan kita bicarakan selain ST Tower dan segala sesuatu yang berkaitan dengan itu. Seperti yang saat ini sedang ramai-ramainya diperbincangkan." "Ya, semua orang membicarakan soal itu juga." "Ya, mereka itu orang biasa dan membicarakan itu. Sekarang, kita juga bicarakan soal itu saja. Kita kan juga orang biasa." Kini giliran Joni yang tertawa. "Tapi pembicaraan kita, tidak akan seperti pembicaraan orang biasa lainnya. Kita tahu betul wajah ST Tower yang pernah kita lihat itu seperti apa." Aul menghela napas. "Wajah ST Tower ... bagiku tidak akan pernah bisa berubah. Ia akan tetap jelek. Sekalipun mereka menemukan obat langka, sekalipun mereka membangga-banggakan apa yang telah mereka temukan, itu tidak membuat ST Tower terlihat menjadi lebih baik." "Ya, begitulah. Kita sudah terlanjur diberi kesan yang buruk." "Oke. Mari bicarakan soal apa yang terjadi. Tapi, bicarakan seperti orang biasa." "Terserah saja. Tapi kita tetap tidak akan bisa menahan diri untuk tidak bicara soal itu. Jadi, ayo apa yang kamu pikirkan soal kasus yang tengah ramai saat ini?" "Ini tidak benar. Apa yang kepolisian sampaikan, aku sangat tidak setuju." Joni mengangguk. "Ya, aku juga berpikir seperti itu, tapi, apa mereka benar-benar sampai bisa membungkam hukum?" Pertanyaan Joni lebih terdengar seperti lelucon garing bagi Aul. "Tentu saja. Mereka, para petinggi ST Tower itu, pasti punya banyak cara untuk membungkam siapa pun. Aku bahkan punya keyakinan kalau mereka juga bisa membungkam orang nomor satu di negara kita. Sungguh." "Oke. Kalau begitu, kalau anak itu tidak bunuh diri dan semua bukti yang dihadirkan oleh kepolisian itu adalah bohong, lalu apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Joni. "Hal buruk. Yang terjadi adalah sesuatu yang sangat buruk dan itu karena kesalahan dari ST Tower. Pertama, hilangnya profesor atau ilmuwan di sana. Benar?" Ayo bertanya balik. Joni mengangguk. "Kedua, anaknya si profesor yang tewas dengan mengenaskan dan penuh tanda tanya." "Ya. Tiga, ST Tower berusaha menutupinya." "Benar. Empat, mereka merasa berhasil, tapi publik terpecah jadi dua kubu." "Karena terlalu mencurigakan." "Oke. Kita tahu semuanya. Hampir semuanya dan kita berdua tahu lebih jelas soal itu. ST Tower tidak berubah." "Ya, masih sama. Besi belum menghubungimu?" Joni menggeleng. "Belum. Apa dia benar-benar tidak akan peduli soal ini?" "Entahlah. Persetan jadi orang biasa. Aku tidak tahan. Kalau ada yang bisa kita lakukan untuk membuat semuanya jadi lebih baik, kenapa tidak?" Aul bangkit dari kursinya. "Ayo, pergi. Kita cari tahu." "Hah? Apa? Kau gila?" Joni menggelengkan kepalanya. Bukankah Aul sangat tidak ingin berurusan dengan ST Tower lagi?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN