Apa pun Yang Terjadi

1018 Kata
Memang begitu seharusnya. Lupakan dan jalani hidup seperti orang kebanyakan. *** Di rumah Aul, tidak jauh berbeda. Orang tuanya juga membicarakan soal penemuan obat penyakit langka yang ditenggarai ditemukan oleh salah satu profesor di ST Tower. "Bagus sekali, ya. Tidak salah memang kalau gedung ST Tower pembangunannya merata hampir di seluruh sudut negeri kita. Toh, memang apa yang dihasilkannya juga bagus," ucap sang ibu. Aul yang sedang sarapan tak menanggapi apa-apa. Sang ayah melirik sebentar ke arah televisi yang menampilkan berita tersebut, kemudian tersenyum. "Benar. Itu bagus. Kabarnya, beberapa profesor juga akan membukukan kegiatan dan berbagai penemuan mereka." Aul mendadak diam. Ia tak lagi melanjutkan sarapannya. Awalnya, sang ayah tidak menyadari itu, tapi lama-lama, karena Aul tak kunjung kembali menyendok makanannya, sang ayah pun bertanya, "Kenapa berhenti?" "Ah, kenapa, Ul? Masakan ibu tidak enak?" Sang ibu menambahkan. Aul belum mau menjawab. Ia kemudian bergegas mengambil tasnya. Sebelum benar-benar membuka pintu dan keluar, ia berkata, "Maaf. Bukan masakannya yang tidak enak. Tapi apa yang disampaikan di berita yang membuatku tak berselera." Ayah dan ibunya hanya saling menatap. Heran dengan tingkah Aul. Di depan, seperti biasa Joni juga sudah ada. Mereka berdua berangkat ke kampus seperti biasa. Di tengah perjalanan, Joni sibuk bermain ponsel dan hal itu membuat Aul mencetuskan sebuah pertanyaan, "Kenapa serius sekali?" Joni mengangguk, tapi tak henti mengalihkan pandangannya dari ponsel. "Ini tentang sesuatu yang penting." "Sesuatu yang penting? Seperti apa? Apa masih soal ST Tower?" "Entahlah. Tapi, ini hanya sedikit informasi. Ada salah satu ilmuwan yang menghilang." "Menghilang?" tanya Aul. Ia mulai penasaran. "Ya, ilmuwan yang hilang. Tapi, entah benar atau tidak. Informasinya hanya sedikit, karena tertutupi oleh berbagai informasi dan berita soal penemuan obat penyakit langka di ST Tower." "Wah, siapa kira-kira yang menulis dan menyebarkan informasi itu? Berani sekali dia." "Entahlah. Mungkin hanya hoaks." "Atau mungkin, memang ada ilmuwan yang hilang?" tanya Aul dengan tatapan yang serius. Keduanya sama-sama saling berhenti melangkah. Tak lama kemudian, Joni kembali melihat-lihat internet dan menemukan sesuatu yang tengah viral. Baru saja. Postingan yang sedang viral itu baru saja dibuat! "Lihat! Ini postingan anaknya!" "Anak? Anak apa?" tanya Aul. "Itu, anak ilmuwan yang hilang itu." Aul membaca postingan yang terlihat di layar ponsel Joni. [Aku adalah anak dari Profesor Kendra. Aku menyatakan bahwa ayahku sudah hilang selama tiga hari. Aku sudah pergi ke gedung ST Tower dan aku tidak diperbolehkan masuk dengan alasan yang tidak jelas. Aku sudah melaporkan ini ke polisi, tapi tak ada tanggapan apa-apa. Aku minta tolong untuk semua yang membaca postingan ini agar membantu mencari keberadaan ayahku.] "Ya ampun. Ini betulan." Joni dan Aul terdiam. Merasa bahwa benar-benar ada yang tidak beres dengan ST Tower. "Sejak awal, sudah kubilang. Sudah kukatakan kalau memang ada yang akan tidak benar di ST Tower. Aku muak sekali dan aku benci dengan adanya kenyataan ini," ucap Aul. Joni juga merasakan hal yang sama, tapi memangnya apa yang bisa mereka lakukan? "Sudah. Kita sudah putuskan tidak akan terlalu ikut campur soal masalah semacam ini." Aul kemudian tersadar. Ia juga ingat soal keinginan dan keputusan Besi yang memilih untuk jadi orang biasa. "Biarkan pihak yang berwenang yang menanganinya." Aul mengamini perkataan Joni dan keduanya pun melanjutkan perjalanan ke kampus. *** Di kampus, sebelum kelas dimulai, rupanya kebanyakan mahasiswa membicarakan hal yang sama. Terang saja, hampir tentu didominasi oleh anak muda yang tak akan pernah ketinggalan berita hangat. Baru saja pemberitaan bagus mengenai ST Tower mencuat, berita buruk mengenainya pun sudah melindas berita bagus sebelumnya. Seolah memang ST Tower tak pernah benar-benar ditakdirkan untuk kembali dibangun. Riuh ocehan mengenai permasalahan soal ilmuwan dan anak ilmuwan yang memicu kontroversi itu semakin merebak. Puncaknya adalah ketika postingan viral tersebut tiba-tiba saja hilang beserta akun si anak yang mempostingnya. Sontak saja, kecurigaan publik semakin membesar. Begitu cepat keadaan berbalik. Di antara banyaknya para mahasiswa dan mahasiswi itu, Joni dan Aul tak menemukan Tian. Mereka tidak menyadarinya, sebelum seseorang yang sepertinya cukup dekat dengan Tian menanyakan keberadaan Tian kepada Aul dan Joni. "Jadi, maksudmu, Tian tidak pulang ke rumah kemarin?" tanya Joni heran. Orang itu mengangguk. "Ada apa ini sebenarnya?" tanya Aul sambil melirik Joni. Tak lama orang itu seperti menerima telepon. "Eh, ini dari Tian." Aul dan Joni bernapas lega. "Aku hampir mengajakmu untuk berhenti jadi orang biasa, kalau Tian benar-benar menghilang," ucap Aul kepada Joni. "Dan aku akan mengiyakan," jawab Joni. "Ehm, maaf. Sepertinya Tian dan kakaknya pulang ke rumahnya di kampung. Ini mendadak, jadi dia tidak sempat memberitahuku. Aku hampir saja berpikiran yang bukan-bukan. Aku takut dia diculik atau apa, karena sempat menyebarkan rumor ST Tower dan ledakan itu." Tak lama setelah itu, kelas kemudian dimulai. Semua mahasiswa menghentikan keriuhan. Dosen yang mengajar tampak biasa saja. Ia tidak kembali menggemborkan soal ST Tower seperti biasanya, dan tidak pula menyinggung kasus yang sedang terjadi. Biasanya, ia atau bahkan dosen yang lain akan seolah-olah mengkonfirmasi benar atau tidaknya sebuah rumor yang berkaitan dengan ST Tower. Biasanya mereka akan membela ST Tower, tapi ini tidak. Semua kecurigaan dan keganjilan yang ada, timbul di benak para mahasiswa, tapi tak ada satu pun dari mereka yang berani mengajukan pertanyaan soal itu. Setiap dari mereka sepertinya sudah tahu kalau hal terbaik yang harus mereka lakukan saat ini adalah diam. *** Beberapa hari kemudian, sebuah berita kembali datang. Kali ini, berita yang amat menggemparkan. Semua orang tertuju kepada satu berita itu. [Ditemukan tewas gantung diri, pemuda yang bernama X yang merupakan anak salah satu ilmuwan terkenal. Diduga ia bunuh diri dikarenakan depresi yang selama ini diidapnya. Ditambah sang ayah yang sampai kini belum diketahui keberadaannya.] Aul tahu itu. Joni juga tahu, tapi keduanya tetap tak mau terlibat apa pun. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Aul di suatu pagi. Joni menggeleng. "Entah, tapi aku yakin Besi juga mendengar soal berita ini dan lihatlah, tak ada pergerakan sama sekali. Dia biasa saja. Dia seperti tak terpengaruh. Jadi, sudahlah. Mari kita juga melakukan hal yang sama. Jangan jadi pahlawan. Cukup selamatkan diri dan orang-orang yang kita sayangi. Kita tak punya kewajiban untuk menyelamatkan semua orang. Tak punya kewajiban untuk itu sama sekali." Aul terdiam. Ia masih berpikir. Ya, sudah. Ia harus diam. Memang begitu seharusnya. Lupakan dan jalani hidup seperti orang kebanyakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN