Apa kau ingat?
***
Untuk beberapa saat, di stasiun bawah tanah yang terbengkalai itu, Besi, Aul, dan Joni, hanya bisa diam. Tak ada satu pun dari mereka yang bersuara. Hingga satu jam kemudian, mereka mendengar suara-suara aneh.
Ketiganya waspada. Penerangan yang minim di stasiun itu memang menguntungkan, tapi sekaligus merugikan bagi mereka.
Besi berada di depan. Memberi isyarat dengan tangannya agar Aul dan Joni tetap di belakangnya.
Joni bertanya dengan suara yang sangat pelan, "Si-siapa?"
Besi dan Joni menggeleng bersamaan.
"Aku harap itu hantu," ucap Joni tak kalah pelan.
Setelahnya, Aul hanya diam. Besi maju perlahan, dan mencoba menajamkan penglihatan, tapi sungguh ia tak menemukan apa-apa. Lelaki itu menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. "Tidak ada apa-apa, mungkin hanya kucing, atau entahlah. Tapi tidak ada siapa-siapa."
Joni dan Aul tak lagi merasa takut, sebab suara-suara itu juga sudah tak terdengar lagi.
"Kau yakin?" tanya Joni. Ia sebenarnya masih ragu apakah mereka sudah aman atau belum.
"Ya. Sudah. Kita diam saja dulu," ucap Besi sambil mengeluarkan ponselnya.
Joni terkejut. "Bodoh!" teriaknya, tapi dengan suara yang agak ditahan.
Aul terkejut dengan perkataan Joni. Besi juga.
"Kau gila, Besi? Seharusnya kau tidak mengaktifkan ponselmu!"
Besi tertawa. "Ini bukan ponselku. Aku membelinya tadi pagi. Masih baru. Aku membelinya di tempat jual beli ponsel ilegal. Tenang saja. Tidak ada yang akan bisa melacak keberadaanku."
"Ya ampun. Aku hampir jantungan," ucap Joni.
"Aku sudah cukup memperkirakan semuanya, tapi aku juga harus tetap menunggu."
"Menunggu?"
Besi mengangguk. "Ya, aku harus menunggu Rai mengabariku."
"Apa dia bisa dipercaya?" tanya Aul. Baik Aul atau pun Joni, belum pernah bertemu dengan Rai dan mereka, tentu saja meragukan ayah sambung anaknya Besi tersebut.
"Bisa. Aku yakin. Mungkin, awalnya dia tidak akan membantuku. Aku bisa melihatnya sejak pertama kali bertemu. Dia tidak terlalu menyukaiku, meskipun setiap kalimat serta sikap yang ia tampilkan menunjukkan ia tak masalah denganku, tapi tetap saja, aku merasa dia tidak menyukaiku. Hanya, ketika virus itu datang dan dia tahu aku begitu memperhatikan Vanes, sepertinya tak ada yang bisa dia percaya selain aku. Aku takut akan ada hal buruk yang terjadi padanya. Aku disuruh melindungi Vanes dan istrinya."
Aul dan Joni mengangguk-angguk.
"Jadi, karena tidak ada siapa pun yang bisa kita percaya, kita percaya saja pada orang ini. Tidak ada pilihan lain, dan aku bisa jamin."
"Baiklah," ucap Joni. Ia merebahkan diri begitu saja di lantai stasiun, tanpa alas.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Aul, sedangkan Besi sibuk mengotak-atik ponsel barunya. Ia mengirim pesan ke nomor baru Rai, tapi belum juga ada balasan.
"Aku hanya ingin berbaring saja. Cobalah. Ini menyenangkan."
"Tidak berguna, Jon. Itu akan membuat kita kedinginan," ucap Aul.
"Kedinginan?"
"Iya. Sudahlah, aku mau tidur saja."
"Ya, tidur saja di sini. Di lantai."
"Tidak. Aku tidak mau. Aku akan tidur saja sambil duduk."
"Terserah kau saja."
***
Setelah beberapa jam, mereka masih berada di stasiun bawah tanah yang terbengkalai. Sepi dan mulai kelaparan.
"Aku tidak tahu kita akan selama ini di sini. Maksudku, apa kita tidak boleh keluar untuk sekedar mencari makan?" tanya Aul.
Joni tak menjawab.
"Jangan ambil resiko. Mungkin, tadi kalian bisa mudah datang kemari, karena poster kalian belum terlalu disebar, tapi sekarang, mana mungkin. Bisa saja, sekarang kita akan langsung ketahuan kalau berjalan-jalan di luar."
Joni bangun. Ia meraih tasnya. "Sepertinya, aku bawa sebotol air."
Di saat itulah, tak sengaja sebuah kartu nama terlempar dari dalam tasnya. Besi memungut kartu nama itu.
"Fendy? Siapa?"
"Ah, itu. Dia tukang sampah. Pak Tua itu, tukang sampah."
"Pak Tua?"
Joni mengangguk, sejurus kemudian, menyerahkan sebotol air minum kepada Aul dan Aul menyambutnya dengan riang.
"Pemungut sampah ... kau mengenalnya di mana?"
"Aku lupa. Di dalam bus?"
"Serius? Apa dia terlihat seperti orang biasa?"
"Ya. Tapi, saat itu, dia terlihat sangat sehat, dan tidak takut terkena virus. Ah, aku ingat. Aku bertemu dengannya di bus, setelah pulang dari membeli masker dan obat-obatan. Ya, hari itu kalau tidak salah adalah hari di mana virus flu berat itu pertama kali menyebar. Ya, aku ingat sekarang."
"Begitu, ya. Kenapa kita tidak meminta bantuannya?"
Joni tertawa untuk pertanyaan konyol dari Besi.
"Kau sendiri yang bilang, kalau kita semua harus hati-hati. Dan kepada orang asing yang menyerahkan kartu namanya di bus, kau percaya? Jujur saja, aku dan Aul bahkan tidak percaya kepada Rai, orang yang kau percaya itu."
"Ah, sial. Ini menyebalkan. Dia belum menghubungiku juga. Aku jadi berpikir yang bukan-bukan. Bagaimana kalau dia dibunuh atau semacamnya? ST Tower selalu sangat tidak terduga."
Aul tidak tahu harus berkata apa. Ia bahkan sudah bosan menunggu. Cahaya yang sedikit, suasana sepi dan dingin, itu membuatnya merasa kembali ke hari-hari di Jakarta Underground. Dan itu membuatnya seolah terluka untuk kedua kalinya. Ia benci keadaan ini.
"Aku setuju. Hubungi Pak Tua itu," ucap Aul.
"A-apa?" tanya Joni heran.
"Kita tidak mungkin berada di sini terus dan menunggu kabar dari siapa tadi? Rai? Tidak juga. Itu bukan pilihan yang tepat, karena kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana kalau dia terdesak dan disuruh mengaku. Dia pasti akan bilang lokasi kita. Iya, kan? Ah, itu mengerikan. Ayolah."
Joni mulai berpikir dan sepertinya, ketakutan Aul juga bisa saja terjadi. Itu membuatnya bingung.
"Oke. Masing-masing pilihan memang punya resiko. Tunggu di sini, dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi, atau pergi dari sini, meminta bantuan Pak Tua itu, dan kita tahu dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, tertangkap. Kedua, aman," ucap Besi. Ia sepertinya sudah mengambil keputusan.
"Jadi, pilihan kedua, bukan? Kita punya banyak keuntungan di pilihan kedua. Salah satunya adalah, kita tidak akan kelaparan," sahut Aul.
Joni pun mengangguk. "Oke. Aku akan ikut suara terbanyak. Karena kalian memilih opsi kedua, maka aku juga akan ikut pilihan kalian."
Aul tersenyum. "Oke. Kalau begitu, mari hubungi Pak Tua itu."
Besi mengetikkan nomor yang ada di kartu nama dan menyerahkan ponselnya kepada Joni.
"Kalau dia mengangkatnya dan berada di pihak kepolisian, itu artinya ponselku tidak bisa digunakan lagi."
Joni tak menjawab. Kenapa kata-kata Besi seolah menyudutkannya? Padahal pilihan kedua itu murni pilihan Besi dan Aul.
Telepon tersambung, Jono mendekam opsi loudspeaker, dan ia pun mulai berbicara. "Halo, Pak Tua. Aku ... Joni. Apa kau ingat?"
"Joni?"