Ini gelap, tapi akan segera terang. Ini sepi, sunyi, tapi kau tidak sendiri.
***
"Ya, halo? Di sini Pak Tua Fendy, kau butuh tukang angkut sampah? Aku akan datang dengan mobilku lima belas menit ke rumahmu."
Joni sedikit menahan tawa. Ia gugup, tapi mendengar suara Pak Tua mempromosikan jasanya itu, ia tidak bisa jika tidak tersenyum.
"Halo?" tanya Pak Tua itu lagi.
"Hei, Pak Tua. Aku, Joni. Kau ingat?"
Hening beberapa saat. "Joni? Anak muda di bus? Masker?"
"Ya, benar! Itu aku."
"Oh ya ampun. Kau baik-baik saja? Aku ... melihat fotomu di beberapa tempat."
"Di mana?" tanya Joni.
"Di mana-mana."
"Dengar, Pak Tua, aku ingin minta bantuanmu. Aku tahu, kau pasti mungkin lebih ingin menekan nomor polisi atau bahkan ingin menangkapku dengan tanganmu sendiri, tapi aku mohon, jangan lakukan dua hal itu."
"Ehm, lalu, aku harus lakukan apa?"
"Tolong aku dan teman-temanku."
"Baik. Aku akan ke sana. Kalian sembunyi di mana?"
Semudah itu? Joni jadi ragu. Ia mengalihkan pandang kepada Besi dan Aul.
Besi mengangguk, memberi isyarat bahwa ia setuju.
"Aku di stasiun bawah tanah. Di stasiun yang sudah tak terpakai. Akan kukirimkan alamatnya."
"Stasiun Abadi?"
"Hah?"
Besi mengangguk.
"Ah, iya. Benar. Ini stasiun abadi."
"Baik. Kalian tetaplah bersembunyi. Aku akan datang ke sana dengan salah satu mobil sampahku."
"Ya ampun. Mobil itu terlalu besar, bukan?"
"Tidak-tidak. Aku punya beberapa jenis, aku akan ambil yang sedikit kecil."
"Oke."
Percakapan pun berakhir. Entah, perasaan lega dan takut masih bercampur jadi satu.
"Jadi, kita seperti sedang bertaruh, ya. Apakah Pak Tua itu akan berpihak kepada kita, atau justru akan melaporkan kepada pihak ST Tower soal keberadaan kita. Betul?" tanya Aul.
Joni dan Besi mengangguk.
"Ya, bagus. Mari pikirkan yang pilihan paling bagus. Itu saja. Aku sudah tidak tahan di sini," ucap Aul. Ia merasa mulai kesulitan bernapas.
Joni mulai menyadari ada yang tidak beres dengan Aul.
"Kau baik-baik saja?" tanya Joni.
"Sekarang? Aku baik, tapi aku sungguh sulit bernapas."
"Ya ampun. Jangan mati dulu. Bertahanlah sebentar."
"Di sini gelap dan ini membuatku mengingat hal-hal buruk tentang apa yang pernah kita alami. Sial."
Aul menepuk dadanya. Ia sudah benar-benar kesulitan bernapas. Besi mencoba menguatkan.
"Bertahanlah. Dia bilang lima belas menit, bukan? Itu bukan waktu yang lama, kuatlah!"
"Sial. Ba-bagimu, itu bukan waktu yang lama, bagiku beberapa detik saja sudah sangat menyiksa."
Joni tak bisa diam saja. "Ayo keluar," ucapnya.
Besi menahan mereka berdua. "Berhenti. Lima belas menit."
Aul sudah kesakitan. Ia merasa napasnya pendek-pendek dan sulit diraih.
"Aku su-dah sekarat."
"Kalian, duduklah. Pikirkan hal lain. Aul, duduk dan pejamkan matamu."
Dua orang yang diberi perintah oleh Besi itu pun menurut. Aul memejamkan matanya. Diam-diam, Joni pun melakukannya.
"Ini hanya sementara. Ini gelap, tapi akan segera terang. Ini sepi, sunyi, tapi kau tidak sendiri. Ada juga berdua. Jadi, jangan cemas. Ayolah. Jangan membuatku bertingkah jadi orang tua kalian. Jangan bersikap manja."
Aul mencoba meyakinkan dirinya.
Ini gelap, tapi akan segera terang. Ini sepi, sunyi, tapi aku tidak sendiri. Ada mereka berdua. Jangan cemas.
Ia mengucapkan itu berkali-kali, seperti mantera yang ia yakini, dapat membuat rasa sakitnya pergi. Ya, Aul memang tak sendiri. Sama seperti yang telah lalu, ia tidak pernah sendiri menghadapi kesulitan. Ada Joni dan Besi di sisinya.
Tak lama, terdengar suara mobil yang terparkir.
"Apa itu Pak Tua?" tanya Joni pelan.
Aul, Besi, dan Joni sendiri jadi sedikit waspada. Besi pun maju lebih dulu.
"Biar aku lihat," ucap Besi, tapi Joni segera menahannya. "Aku saja. Aku yang tahu bagaimana wajah si Pak Tua itu. Jadi, biar aku saja yang maju lebih dulu."
Besi pun mengalah. Harus ia akui, Joni memang selalu tampil berani, baik dulu atau sekarang.
Joni melangkah pelan, keluar dari stasiun dan menaiki tangga yang menghubungkan stasiun itu ke luar. Sedikit ragu, tapi ia pun memantapkan langkah setelah terlihat seorang lelaki tua tampak berdiri tak jauh darinya.
"Pak Fendy?"
Lelaki tua itu menggeleng pelan. "Panggil saja Pak Tua. Mana kawanmu?"
"Ah, oke." Joni pun tersenyum, menyadari bahwa lelaki tua di hadapannya teramat ramah dan ia yakin, Pak Tua itu bisa dipercaya.
"Baik. Akan kupanggil mereka."
Joni bergegas turun dan mengajak Aul dan Besi untuk segera naik ke atas.
"Dia sudah datang. Aman," ucap Joni.
Mereka bertiga pun naik ke atas dan keluar dari stasiun bawah tanah yang sudah terbengkalai itu. Ketiganya dengan cepat masuk ke dalam mobil. Besi atau Aul tak mengatakan apa-apa. Yang pasti, kalau Aul, ia sangat lega bisa menghirup udara segar.
Setelah masuk ke dalam mobil, masih tak ada pembicaraan apa pun. Aul lebih memilih memejamkan matanya dan mulai tertidur ketika mobil sudah mulai melaju.
"Kita akan ke mana?" tanya Joni ragu.
Pak Tua tersenyum. "Terserah kalian. Dari tadi, kalian hanya diam. Aku hanya supir. Jadi, kalian mau ke mana, ya, silakan. Aku akan antar."
Perkataan itu tak bisa mencairkan suasana, karena nyatanya itu membuat Besi waspada. Ia bahkan menyembunyikan pisau lipat di balik saku jaketnya. Berjaga-jaga.
Joni menatap Besi, seolah memberi isyarat agar ia saja yang bicara.
"Ehm, maaf. Sebelumnya, kami belum memperkenalkan diri. Aku dan pemuda di sebelahku, kami adalah teman Joni. Aku Besi, dan ini Aul."
"Ah, oke. Besi dan Aul. Nama yang bagus. Kalian jangan terlalu tegang, meskipun aku tidak tahu apa sebenarnya yang sedang menimpa kalian, tapi aku yakin, kalian bukan orang jahat."
"Ya, kami bukan orang jahat," ucap Joni.
"Kalian tidak tahu akan ke mana? Bagaimana kalau ke rumahku? Bukan rumahku yang biasa, tapi rumahku yang di pinggiran kota. Aku yakin di situ aman."
Besi, Joni, dan bahkan Aul yang sudah tertidur tidak punya pilihan lain, karena memang selain petunjuk dari Rai, mereka tak punya siapa pun untuk diandalkan.
"Baik. Aku percaya padamu, Pak Tua. Kami percaya. Bawa saja ke rumahku, atau ke tempat yang menurutmu akan. Kau pasti penasaran kenapa kita diburu. Kami akan jelaskan nanti, sesampainya di sana."
"Bagus. Baiklah kalau begitu. Aku akan mengemudi sedikit cepat. Jadi, kita akan segera sampai. Kalian boleh beristirahat."
"Terima kasih, Pak Tua," ucap Joni. Sekarang, ia benar-benar lega.
Besi tak bisa memejamkan mata, entah itu untuk tidur bahkan untuk pura-pura. Ia sesekali melihat ke jendela mobil atau ke belakang mobil, takut ada yang mengikuti.
"Tidak akan ada yang mencurigai mobil sampah. Percayalah," ucap Pak Tua.
Besi tak menanggapi.