Awal dari sebuah kehancuran, adalah ketidakjujuran.
Setelah apa yang terjadi, mereka berenam masih di sel yang sama. Entah sudah berapa lama waktu berlalu, tapi hari terasa begitu cepat.
"Sebentar lagi, mungkin lima hari lagi, Jakarta akan tenggelam," Aul memecah kebisuan.
Besi masih memperhatikan Ipang. Seperti seekor kucing yang tak rela melepaskan buruannya.
"Lupakan sejenak tentang itu." Bang Joe menanggapi.
"Kenyataannya, kita masih di sini, kita masih bernapas. Dan aku, ingin menceritakan sesuatu kepada kalian. Cerita yang tak pernah kuceritakan sebelumnya. Kepada siapa pun, bahkan kepadamu," jari telunjuk Bang Joe mengarah pada Besi.
"Aku seorang manusia biasa. Warga biasa yang memiliki keluarga sama seperti kalian."
Keluarga Bang Joe merupakan keluarga kecil yang tinggal di sebelah utara Kota Jakarta. Sama seperti Ayah yang lain, ia sering mengeluhkan banyak hal tentang kotanya sendiri. Seperti kemacetan, harga kontrakan yang mahal, bahan kebutuhan yang mahal juga, serta gajinya yang tak pernah cukup sebagai buruh pabrik. Selalu ada kenaikan upah setiap tahun, namun diimbangi juga dengan naiknya harga kebutuhan. Terkadang, semua itu membuatnya sakit kepala.
"Suatu hari, istriku memintaku membelikan perlengkapan untuk kelahiran anakku yang kedua."
Bang Joe memiliki seorang putri kecil yang cantik. Istrinya kemudian hamil lagi. Sebuah kebahagian yang besar sekaligus sebuah kekhawatiran. Semuanya tentang biaya. Fasilitas rumah sakit boleh dibilang semakin maju tapi biayanya juga tinggi. Bantuan pemerintah makin terbatas karena semakin meningkatnya tingkat kelahiran.
"Saat itu, Jakarta panas sekali. Aku kembali ke kantor setelah istirahat. Namun rekanku menyuruhku masuk ke ruangan bos."
"Apa yang kaulakukan? Membunuh bosmu?" tanya Ipang.
"Hei, biar dia selesaikan ceritanya, jangan menyela dulu," sahut Joni dengan segera.
"Baik, aku akan mempersingkatnya saja. Aku datang menemui bos dan lucunya, saat itu, ia berkata bahwa tak akan ada perpanjangan kontrak lagi. Intinya, aku dipecat. Aku tak punya pekerjaan. Terbayang wajah istriku yang sedang hamil tua. Terbayang wajah putri kecil kami," suara Bang Joe bergetar, seakan ada rasa sakit yang ia tahan.
"Itulah, awal mula aku melakukan kejahatan. Tanpa sepengetahuan istriku, aku mencopet. Kemudian, mulai bergaul dengan gangster dan kumpulan perampok. Membawa senjata ke rumah dan bahkan menguntit seorang perempuan kaya. Aku melakukannya untuk mencoba mengetahui letak rumah mewahnya."
Bang Joe terdiam sejenak, sebelum melanjutkan.
"Aku akhirnya bisa membelikan istriku perlengkapan untuk bayi kami, bahkan aku membelikan semua yang mahal. Dalam hatiku, aku malu. Karena sebenarnya, semua itu dibeli dengan uang yang kotor. Bahkan mungkin, lebih kotor dari air yang mengalir di got kota ini."
"Kapan istrimu tahu?" untuk pertama kalinya, Besi bertanya. Ia ikut hanyut dalam cerita Bang Joe.
"Saat aku melakukan perampokan besar. Perampokan bank."
"Aku membawa senjata, menodongkannya kepada para pegawai dan menembakkannya ke udara. Aku menakuti setiap orang. Sementara yang lain mulai melumpuhkan petugas keamanan dan yang lainnya mengambil uang. Dalam kekacauan itu, kulihat wanita yang kucintai, menggendong bayiku. Menatapku tak percaya. Di luar pintu kaca bank itu, ia menatapku. Memastikan apakah yang dilihatnya adalah aku. Aku tidak bisa berpikir saat itu. Kulihat ia menelepon."
"Polisi?" tanya Joni.
Bang Joe mengangguk.
"Ia benar-benar mencintaiku, tapi aku tidak sungguh-sungguh mencintainya."
"Awal dari sebuah kehancuran, adalah ketidakjujuran. Inilah kenapa aku di sini. Sejak aku ditahan, sejak aku masuk sel, aku tidak pernah dijenguk. Aku merindukan mereka, tapi aku yakin, mungkin mereka sudah bahagia. Aku berdoa untuk mereka , setiap saat, semoga istriku menemukan seseorang yang berkali-kali lipat lebih baik dariku. Dan ia tidak memikirkanku lagi."
Bang Joe menghela napas. Luka itu, seperti kembali. Perasaannya saat ini, persis seperti saat pertama kali ia menginjakkan kakinya di lantai dingin penjara.
"Aku menerima hukuman ini. Bahkan, jika harus dihukum lebih dari ini, aku masih akan tetap menerima."
"Itulah kenapa, kau pasrah saja, saat Jakarta akan tenggelam, begitu?" tanya Aul penuh selidik.
"Kau tahu sekarang, tapi mendengar keinginan kalian, membayangkan ada orang-orang yang mencintai kalian dan menunggu kalian di luar sana, aku ingin membantu."
"Bagus, terima kasih," ucap Joni.
"Aku juga punya cerita," suara itu berasal dari seorang Dollar.
"Kami akan mendengarkan," ucap Joni.
"Aku tahanan kasus perampokan, penganiayaan, dan banyak pencurian," suara Dollar tertahan. Seakan itu adalah sebuah pengakuan yang paling memalukan.
"Aku tidak ingat, bagaimana semuanya dimulai. Lebih tepatnya, aku tidak ingin mengingatnya. Rasanya, terlalu memalukan. Tak ada yang bisa dibanggakan dari seseorang sepertiku. Kalian, para tahanan di sini, selalu bertanya tentang bagaimana cara-cara mencuri yang bagus untuk mendapatkan ikan yang besar. Padahal sebenarnya, itu sesuatu yang sangat tidak ingin kubanggakan."
"Aku pernah jadi buronan. Berbulan-bulan, tak memiliki tujuan. Hanya sembunyi dan sembunyi dalam ketakutan. Itu tidaklah menyenangkan."
"Siapa kau pada awalnya?" tanya Bang Joe.
"Aku, anak panti asuhan."
"Apa itu latar belakang yang buruk?" tanya Dollar tapi tak ada yang menjawab.
"Bukan, itu tidaklah buruk. Aku punya pengasuh yang baik. Teman-teman yang baik, tapi aku menyukai jalanan."
"Mobil-mobil yang berlalu lalang, jalanan yang seakan tak memiliki ujung, semua orang yang bebas, orang-orang bertato dan hidup semaunya. Aku menginginkan itu," Dollar melanjutkan.
"Keinginan untuk bebas? Semua orang pernah menginginkannya, kita semua menginginkan itu, Dollar, tapi ada batas, sebagai manusia yang beradab. Kebebasan kita berbatas," ucap Joni.
"Keinginanku untuk bebas, sangatlah besar. Aku menahannya, sampai rasanya, keinginan itu sudah tak terbendung lagi. Setiap malam, sulit bagiku untuk memejamkan mata."
Dollar membenarkan letak duduknya. Kakinya mulai merasa pegal, tapi ia masih ingin bercerita. Ia ingin menumpahkan semuanya sekarang. Karena ia takut, tak ada lagi kesempatan untuk itu.
"Aku kabur dari panti, saat berumur delapan belas. Aku sedikit kasar jadi, taka ada yang mau mengadopsi. Aku turun ke jalanan."
Dollar mengingat saat-saat itu. Saat ia pertama kali hidup di jalanan. Hari pertama di mana hanya ada uang sepuluh ribu saja di sakunya. Namun, ada semilyar keberanian di dalam hatinya.
"Aku ingin bebas dan inilah waktunya. Hari di mana aku merasa bisa melakukan segalanya. Tak ada omelan, tak ada peringatan, tak ada kemarahan, tak ada rasa takut, tak ada kesepian. Itu yang kupikir pertama kali. Bahwa di jalanan, takkan ada kesendirian."
"Kau salah, Dollar. Kau salah besar," ujar Besi.
"Mungkin, kalau kita bertemu dulu dan aku memiliki teman seperti dirimu, aku tak akan merasa sendiri di jalanan."
Dollar menarik napas panjang untuk ke sekian kali.
"Setelahnya, aku banyak belajar. Mencuri alias mengambil sesuatu yang bukan hak. Berbagai cara kupelajari. Bergaul bersama mereka yang keluar masuk penjara. Menikmati hasilnya sambil tertawa-tawa. Dumulai dari pencurian kecil sampai perampokan besar, bahkan pembobolan ATM. Aku pernah melakukan semua itu."
"Dan ini yang kaudapatkan." Ipang angkat bicara. Cerita itu menyentuh hatinya. Membuat pikirannya melayang jauh ke masa-masa di mana ia juga melakukan hal yang sama.
"Ini yang kudapatkan. Penjara yang dingin. Bagaimana denganmu, Ipang?"
"Tidak, aku tidak punya cerita yang menarik."
"Ayolah, kami akan mendengarnya," bujuk Joni. Ia penasaran.
"Ceritakan saja pada kami." Besi berucap datar, "Aku sangat ingin tahu siapa kau dulu."
"Aku bukan seseorang yang baik bahkan sampai sekarang, aku bukan orang yang baik."
"Hei, percayalah, orang baik selalu merasa demikian." Joni menepuk pundak Ipang.
"Aku benar-benar orang yang jahat. Aku pencuri. Aku mencuri banyak hal, mungkin barang-barang berharga, dan bahkan sesuatu yang tak ternilai harganya. Aku mencurinya."
"Maksudmu?" tanya Besi penuh selidik.
"Aku pernah jadi pengacara."
Aul dan Joni sedikit terkejut. Besi dan yang lainnya juga. Tak menyangka dengan apa yang dikatakan oleh Ipang.
"Apa saja yang pernah kaucuri sebagai pengacara?" tanya Joni.
"Kebebasan seseorang, harga diri seseorang, dan uang."
"Aku menerima banyak uang kotor. Membeli barang-barang mewah dan mahal. Mengoleksi semua barang edisi terbatas. Seperti candu, aku selalu menginginkan barang-barang itu, lagi dan lagi."
Aul diam. Sekarang, ia mengerti kenapa Ipang sangat tertarik pada jam tangan miliknya saat pertama kali bertemu. Ini sebabnya.
"Untuk memenuhi keinginanku itu, aku rela menerima suap dan memutarbalikkan fakta. Itu juga sama dengan menipu, bukan? Lihatlah, aku bukan hanya pencuri kebebasan, aku juga penipu yang kotor dan picik."
Semua orang diam mendengarkan. Sisi lain dari seorang Ipang, sisi lain dari Bang Joe yang bertubuh besar dan bertato. Sisi lain dari seorang Dollar yang kesepian.
"Itu saja."
"Itu bukan sebuah cerita Ipang, itu seperti semacam pengakuan. Kami menghargai itu. Perlu keberanian untuk mengatakan semuanya." Joni mengatakannya sambil menatap Ipang yang menunduk sejak tadi.
"Tegakkan kepalamu, kau seseorang yang berani," lanjut Besi. Ipang hanya tersenyum, "Terima kasih untuk mengatakan itu dan untuk rasa sakit ini," ujar Ipang sambil menujuk bibirnya yang berdarah. Besi terkekeh.
"Ini mungkin sudah hampir sore," ujar Ipang kemudian.
"Bagaimana cara membedakannya?" Aul melihat sekeliling dan ke atas. Ia bahkan tak bisa melihat cahaya sedikit pun. Hanya lampu redup lima watt tepat di langit-langit sel.
"Aku hanya menebaknya."
"Baiklah, sekarang, aku ingin mendengar cerita dari seseorang," ucap Aul. Semua mata tertuju pada Besi. Aul bahkan merasa siap jika harus menerima pukulan. Joni hampir mengalihkan pembicaraan ketika Besi memulai kalimat pertamanya.
"Aku, seperti yang Joni katakan, selalu ada jawaban dari pertanyaan mengapa. Maka aku, juga punya alasan mengapa aku membunuh."
Besi adalah tahanan kasus pembunuhan yang lebih banyak menutup diri. Bahkan minggu pertama ia berada di penjara, Besi tak berbicara dengan siapa pun. Bahkan sipir yang kesal sempat memukulnya berkali-kali. Namun ia tak acuh. Tak peduli dan tetap tak bicara.
"Aku pada awalnya, tidak menerima hukuman ini. Jujur saja, aku membunuh orang itu, bukan tanpa alasan. Aku membunuhnya, karena dia melecehkan istriku."
"Aku baru mendengarnya," ujar Bang Joe yang merasa Besi menjadi orang yang berbeda saat ini.
"Kau masih mau mendengarnya? Jangan ada yang berani menyela."
Semua orang langsung mengerti.
"Sesederhana itu. Menurut orang-orang, sesederhana itu alasan bagiku untuk menyerang orang tersebut, tapi bagiku tidak. Istriku berkata, laki-laki gila itu mengganggu istriku berkali-kali. Aku marah, aku memukulnya, aku memukulnya dengan sebilah kayu."
"Itu kesalahan," sela Joni. Segera saja, Besi melemparkan tatapan maut.
"Maaf, aku menyela."
"Dengarkan dulu."
Joni mengangguk.
"Aku tidak bermaksud membunuhnya. Tidak sama sekali. Meski begitu, kalian tahu sendiri, menghilangkan nyawa seseorang, sengaja atau tidak, tetap akan menerima hukuman."
Semua orang kini mengerti alasan di balik pembunuhan yang dilakukan oleh Besi. Di mata Aul dan Joni, laki-laki itu terlihat tidak menakutkan lagi sekarang.
"Aku tidak banyak bergaul selama awal masa penahanan. Aku tidak peduli dengan sidang dan semacamnya. Aku menyesali perbuatanku tapi aku tetap membenvi orang itu. Bahkan setelah dia mati, aku masih selalu melihat wajahnya. Di dalam pikiranku sendiri."
"Bagaimana dengan istrimu?" tanya Joni.
"Dia melihatku dengan berbeda sejak hari itu. Dia masih mendukung dan memberi semangat, tapi tatapan itu, tatapan seperti menyiratkan rasa takut dan jijik. Aku tidak bisa melupakannya."
"Dia pernah menjenguk?" lagi-lagi, Joni yang tanya.
"Dua kali. Sebelum aku dipindahkan ke sini. Setelahnya, aku menolak dikunjungi. Bahkan membayangkan bagaimana ia akan menatapku, selalu membuat jantungku berdegup takut. Ia bukan seseorang yang dulu, karena mungkin di matanya, aku bukan lagi sosok yang seperti sebelumnya."
"Dan putri kecilku, aku tidak pernah bertemu lagi dengannya sejak aku melakukan kesalahan itu. Aku juga tidak mau, karena aku merasa sangat malu menunjukkan wajahku di depannya. Putri kecilku, percaya ayahnya adalah orang baik. Bahkan mungkin sampai sekarang, ia masih percaya."
"Itu saja," pungkas Besi sambil mengubah letak duduknya.
"Terima kasih sudah bercerita, itu semua sangat berarti," ucap Joni.
"Tapi sekarang, kami semua ini, butuh jawaban darimu. Apakah kau akan membantu kami keluar dari sini?" tanya Bang Joe. Semua orang menunggu jawaban Besi.
"Akan aku pikirkan."
"Pikirkan sekarang." Bang Joe berkata dengan tegas.
"Baiklah. Aku bersedia membantu. Joni, aku masih ingat ucapanmu untuk menjamin keselamatan kami."
Joni mengangguk mantap. Meski ia sebenarnya tidak tahu kesulitan apa yang mungkin akan dihadapinya. Ia tak peduli, terpenting sekarang, Besi bersedia.
"Tapi kami lapar ...." Aul mengelus perutnya. Aul bertanya-tanya pukul berapa kira-kira? Sudah lewat jam makan siang? Atau bahkan sudah waktunya makan malam?
Ipang beranjak. "Akan kucari makanan untuk kalian, atau kalian mau ikut mencari juga?"
Aul dan Joni mengangguk. Sementara itu tahanan lain kembali ke sel masing-masing.