Kentang

1618 Kata
"Rasa bersalah, bukan penjara bagi orang-orang yang lemah. Melainkan penyelamat, bagi orang-orang yang mau berubah, penyelamat bagi orang-orang yang rusak." Aul dan Joni berjalan dituntun oleh Ipang. Tujuannya, tak lain dan tak bukan adalah untuk mencari makanan. Pertanyaan demi pertanyaan muncul di benak Aul dan Joni. Tentang, adakah makanan di penjara yang sudah ditinggalkan ini? Atau, jika ada, mungkin sudah basi? "Kita bisa mengambil makanan ini." Jari telunjuk Ipang mengarah pada satu dus mie instan yang tergeletak begitu saja. "Tunggu, kenapa ada di sini?" tanya Aul. "Aku tidak tahu," jawab Ipang. "Kenapa kau tidak tahu?" tanya Aul lagi. "Tidak tahu saja." Joni melihat sekitar. Satu dus mie instan yang tergeletak begitu saja di depan salah satu sel. Tak ada penghuni di sel itu. Kosong. "Mungkin jatuh dari langit." Ipang terkekeh. Lagi-lagi, ia membicarakan langit. Seakan-akan langit itu hanya berjarak sedikit saja dari tempat mereka berada sekarang. "Apa bisa, kita memasak mie instan? Adakah alatnya?" Ipang menggeleng. "Mungkin di langit sana, kalian punya alat yang bisa membuat mie ini matang dalam beberapa menit saja, tapi di sini, tidak. Kita akan memakan mie ini, tanpa memasaknya terlebih dahulu." "Ini gila," ucap Aul. "Memang." Ipang terkekeh lagi. "Tak ada pilihan lain, kita akan makan ini, Ul," bujuk Joni. "Baik, satu dus mie instan ini, benar-benar terlihat berharga, tapi rupanya tidak terlalu," gumam Aul lagi. "Sudah, hentikan. Dengar ini." Ipang memberi isyarat agar tak ada yang bicara. Aul dan Joni memasang telinga mereka baik-baik. Ada gemuruh, ada rincik hujan yang perlahan menjadi nyaring bunyinya. Setetes demi setetes, jatuh dari lubang-lubang tak terlihat di atap. "Hujan," suara Joni pelan. "Bukan hanya hujan, tapi hujan deras, ayo bergegas kembali ke sel!" ajak Ipang. Aul dan Joni segera mengikuti Ipang yang berjalan cepat. "Tak ada bedanya Ipang, di sel juga, mungkin kita akan kebocoran." "Ada bedanya. Aku sudah menganggap sel itu sebagai rumah. Jika hujan, apa yang kebanyakan orang inginkan? Kembali ke rumah bukan?" Tak ada tanggapan. Perkataan Ipang benar. Untuk seseorang yang sudah menganggap sel sebagai sebuah rumah, itu benar sekali. Namun tidak dengan Aul dan Joni. Pengertian sel adalah rumah, walaupun dipaksakan, tetap saja berbeda. "Ipang, kenapa tak tinggal saja, bersama kami?" tanya Joni. "Benar, kan, Ul?" "Ya, kadang kita tidak tahu harus melakukan apa. Jadi, kenapa kita tidak tinggal di sel yang sama saja, iya, kan?" "Em, boleh saja," jawab Ipang. "Baik, mari tinggal dengan kami, di sel kami," ujar Aul. Ipang mengangguk mantap. Setibanya di sel, Aul dan Joni mengunyah mie instan yang tak dimasak. Caranya, membuat mie itu bubuk dan menyampurkan setengah bumbu ke dalam bungkus yang berisi mie bubuk tersebut. Sungguh, untuk pertama kali dalam hidup, Aul dan Joni baru merasakan rasa mie instan yang tak dimasak. "Enak, bukan?" tanya Ipang. Ia menyodorkan sebotol air lagi yang dibawanya dari sel. "Kenapa hanya, sebotol?" tanya Joni. "Karena aku hanya punya satu botol," jawab Ipang lagi. "Maksudmu? Airnya hanya tinggal sebotol?" tanya Joni dengan raut panik. Ipang menggeleng cepat. " Tidak, maksudku, aku hanya punya satu botol untuk menampung airnya." "Tunggu, jadi, ini air mentah yang jatuh dari atas?" Joni terbelalak. Dan Ipang mengangguk. Jawaban yang benar-benar tak diharapkan baik oleh Aul maupun Joni. Gila, baru saja mereka menebak-nebak tentang apakah perut mereka akan sakit jika makan mie bubuk? Sekarang, tak ada lagi keraguan. Perut mereka benar-benar akan sakit setelah itu. "Kalian, tahu? Mengapa para tentara itu kuat?" tanya Ipang. "Oke, karena mereka meninum air mentah dari alam, memakan kadal di hutan dan semacamnya?" tanya Aul. "Ya, tapi masksudku, itu karena mereka menyakini apa yang mereka makan tidaklah berbahaya. Mereka yakin karena mereka butuh itu untuk bertahan hidup. Dan mereka, memang hidup. Orang-orang yang lembek yang takut akan sebuah akibat dari melakukan sesuatu, akan lembek selamanya," jawab Ipang. Joni mengangguk. Aul merasa ingin sekali menyanggah pendapat Ipang. Namun niatnya itu dihentikan oleh Joni. Tak ada pilihan lain, selain makan mie bubuk dan minum air hujan. Awalnya, Aul dan Joni merasa jijik, tapi mereka tak dapat menyangkal kenikmatannya. Tentu, hanya itu yang ada. Hanya itu yang tersisa. Apa pun makanannya, akan terasa enak kalau dimakan saat kelaparan. "Ipang, apa langkah pertama kita untuk mencari jalan keluar?" tanya Joni. "Kita harus menunggu Besi," jawab Ipang. "Semua keputusan, kita gantungkan padanya. Dia yang tahu detail penjara ini. Dia yang tahu bagaimana keadaan di sekitar jalan keluar yang sebenarnya." "Apa, jalan keluar, itu berarti jalan masuk bagi para sipir untuk datang? Maksudku, itu, jalan masuk kalian juga, kan? Saat pertama kali datang?" tanya Aul. Ipang mengangguk. "Lalu, kau tidak tahu, sama sekali?" Ipang menggeleng. "Aneh. Kau tidak melihat?" Ipang mengangguk. "Tidak, kepalaku dan tahanan yang lain ditutupi oleh kantung kain hitam." "Oh, tentu saja, bodohnya aku," sahut Aul. "Supaya kalian tidak mudah kabur, ya kan?" tanya Joni. Ipang mengangguk lagi. Ia terus mengunyah mie tanpa henti. "Jalanan di luar, pasti licin." Ipang mendongak ke atas. Mencari letak lubang, tapi syukur, sel ini aman dari kebocoran. "Mungkin seseorang punya kentang, kalian masih lapar, kan?" Joni mengangguk, Aul menggeleng. "Aul, kau sudah kenyang?" "Belum, tapi aku benci kentang." Aul bicara dengan nada takut, wajahnya perlahan memucat. Joni baru ingat, Aul tak suka kentang, malah sepertinya ia pobia dengan salah satu sayuran tersebut. "Tak apa, kau masih bisa makan mie ini, masih ada satu kardus. Aku akan cari kentang." Ipang beranjak. "Joni, kau mau ikut?" Joni menggeleng, "Jalanan licin, bukan?" "Iya, memang sebaiknya kau tidak ikut." "Kenapa kentang?" tanya Aul lagi. Seakan ia tak sudi mulutnya mengucap nama sayuran itu, ia bergidik. "Karena, hanya ada itu. Semua tahanan suka itu. Kentang adalah makanan terbaik yang kami miliki. Banyak sekali kentang di sini sebagai pengganti nasi." "Kentang mentah? Dari mana?" "Kalau para sipir masih ada, mereka akan merebusnya. Karena tidak ada, kita akan memakannya langsung. Kentangnya manis, aku tidak bohong. Ada banyak di sudut sel. Aku melihat seorang sipir menaruh dus-dus kentang di depan beberapa sel. Aku tidak tahu maksudnya." Aul tetap menggeleng. Mendengar itu, bahkan isi perutnya seperti berputar-putar. Kentang yang manis tapi mengerikan. "Baik, aku akan pergi. Kalau ada sesuatu, kalian bisa pergi ke sel Besi. Tak jauh, bukan?" Joni mengangguk. Sementara Aul, masih diam. Pikirannya masih tertuju pada kentang yang manis. "Lihat kalimat ini." Joni menunjuk pada deretan kata, sambil ia membacanya, "Rasa bersalah adalah penjara bagi orang-orang yang lemah." "Aku tidak peduli kalimat itu, Jon. Aku mual." Joni ingin tertawa melihat wajah Aul, tapi ia menahannya. "Kira-kira, siapa tahanan yang menghuni sel ini, sebelum kita?" Aul menggeleng. Ia benar-benar tidak peduli dengan apa yang Joni tanyakan. Ia sedang berusaha menghipnotis dirinya sendiri lewat kata hati. Membayangkan semangkuk es krim cokelat kesukaannya. Ya, semoga berhasil. Joni melihat sekeliling sel. Lumayan luas. Joni melihat lagi kalimat tadi. "Ul, aku tidak setuju dengan kalimat itu." Aul tak menanggapi. Matanya terpejam. "Rasa bersalah, bukan penjara bagi orang-orang yang lemah. Melainkan penyelamat, bagi orang-orang yang mau berubah, penyelamat bagi orang-orang yang rusak." Aul membuka mata. Menatap deretan kata yang sedari tadi menjadi fokus Joni. "Sekarang, jiwa filosofismu tiba-tiba saja keluar." Joni tersenyum. "Aku banyak membaca sebelum hari ini. Dan aku banyak berpikir setelah pagi ini." "Aku setuju dengan pernyataanmu. Tapi apa kabar Ipang? Apa dia baik-baik saja?" *** Ada yang bergerak di sudut. Entah sedang apa, mahluk itu. Ipang mendekat, mengambil dus kentang dengan hati-hati. Ipang tahu, ada sesuatu di sudut. Bukan ular, bukan hewan liar yang mungkin jatuh dari atas. Melainkan lebih mengerikan dari itu. Mahluk itu tepat di bawah lampu. Hanya terlihat sedikit. Terhalang tumpukan dus yang entah apa isinya. Ipang urung mendekat. Sekarang, ia tahu apa itu. Langkahnya sedikit bergetar, setengah berlari menuju sel di mana Aul dan Joni berada. *** "Halo, apa kabar?" seseorang yang ternyata adalah Bang Joe masuk ke sel tanpa dipersilakan. "Baik, hanya sedikit mual," jawab Joni sambil melihat ke arah Aul yang sedang tidur. Benar-benar terlihat tidur. "Wajahnya pucat." Bang Joe memperhatikan Aul. "Ya, ia takut sesuatu seperti salah satu makanan pokok, pengganti nasi. Jangan katakan namanya. Lagipula, kau pastk sudah tahu." "Kentang?" tanya Bang Joe dengan polosnya. Aul segera bangun. Ia menatap tajam ke arah Bang Joe yang wajahnya seperti tanpa dosa. "Apa salahku?" tanyanya sambil menunjuk diri sendiri. "Kau menyebutkan namanya," jawab Joni. "Aku hanya, bilang, kentang?" tanyanya lagi. Aul meringis, pikirannya dipenuhi kentang sekarang. "Itu salahnya!" teriak Aul kesal. "Kentang?" tanya Bang Joe lagi. Kali ini, ia sedikit tertawa. "Sebenarnya, bagus juga. Itu semacam shock therapy, iya, kan?" tanya Joni. "Iya, itu bagus. Kentang, kentang, kentang, dan kentang," cerocos Bang Joe. Aul segera menekan telinga dengan kedua tangan. Terdengar suara derap yang menyatu dengan percik hujan. Sangat cepat. "Gawat! Aku benar-benar melihatnya!" teriak Ipang begitu sampai ke sel. Ia segera menutup sel dengan rapat. Aul, Joni, dan Bang Joe hanya melongo. "Apa yang kaulihat? Kentang?"tanya Bang Joe sambil menunjuk ke genggaman Ipang. Sementara bagi Aul, ini seperti neraka. Kentang itu, benar-benar ada di depannya sekarang. Ipang mengatur napasnya yang menderu sebelum menjawab. "Aku melihat, tahanan gila yang diceritakan Besi. Aku sudah melihatnya sekarang. Benar-benar aneh dan menakutkan." "Seperti apa ciri-cirinya?" tanya Joni antusias. "Aku tidak memperhatikan lebih lama dan lebih dekat, aku hanya melihat tubuhnya yang kurus sekali. Tulang-tulangnya sangat terlihat." Ipang bercerita dengan cepat. "Begitu ya." "Besi lebih tahu," ujar Bang Joe. "Akan lebih baik, jika kita tahu. Kita bisa berjaga untuk setiap kemungkinan terburuk. Bertemu mereka misalnya. Kita harus bersiap, aku yakin, tahanan gila itu juga punya kelemahan." Bang Joe setuju dengan pernyataan Joni. "Benar, kita harus bersiap. Joni, kau masih ingin kentang? Aku ingin tidur," ujar Ipang sambil menyodorkan dua buah kentang. "Terima kasih." "Aku malas pulang, sebaiknya aku tidur di sini juga," Bang Joe segera menyandarkan tubuhnya. Sementara Aul, terlihat meringkuk di sudut. Joni memakan kentang itu seperti memakan buah apel saja, sambil terus berpikir tentang sosok yang diceritakan oleh Ipang. Semengerikan apa mahluk itu, ia sangat penasaran. Sementara di sudut lain, Aul terlihat menderita.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN