Survei

1538 Kata
"Ah, sudahlah. Pergi sendiri. Kau bilang, kau mau tahu cara untuk keluar dari sini. Maka dari itu, belajarlah untuk mempelajari sisi-sisi penjara bawah tanah ini. Anggap saja itu survei. Cepat. Kalau kau tak kembali dalam sepuluh atau lima belas menit, aku akan datang mencarimu. Dan hati-hati dengan pintu toiletnya." *** "Ipang, apa yang kamu temukan kemarin itu?" tanya Joni, setelah mereka tertidur cukup lama di dalam sel yang sama. Sementara Aul masih tertidur pulas. Dollar entah ke mana, mungkin kembali ke selnya. "Ya, yang kulihat kemarin, mahluk itu. Tahanan yang sepertinya korban percobaan militer. Tapi, aku belum yakin. Aku hanya lihat sekilas. Mengerikan." Joni menyimak yang Ipang katakan, sambil berusaha menahan gigil. Ia kedinginan. Hujan sepertinya sudah reda, tapi hawa dinginnya masih begitu terasa. "Mungkin, kita hanya tidak tahu saja. Bahwa sebenarnya, banyak mahluk seperti itu yang berkeliaran di sini. Mereka bersembunyi. Atau entah, aku tidak tahu." Joni mengangguk-angguk. "Atau, mungkin mereka disembunyikan di suatu tempat? Hingga kita tidak bisa menemukannya atau karena itulah mahluk-mahluk itu tak bisa berkeliaran dengan bebas? "Entah." Ipang menggeleng. "Kau sudah di sini cukup lama, bukan? Kenapa kau tidak begitu tahu?" tanya Joni agak kesal, karena Ipang tak punya banyak informasi yang memuaskan rasa ingin tahunya. "Karena, aku tidak terlalu peduli. Aku tidak terlalu peduli apakah aku akan hidup atau tidak, apakah aku akan mati atau bertahan, mati karena bencana ini atau mati karena mahluk-mahluk itu. Aku, tidak peduli. Jadi, ya, begini." Joni menatap Ipang. "Sekarang, kau peduli?" "Karena melihat kalian dan melihat semangat dua orang untuk tetap hidup, aku jadi peduli. Aku ingin membantu kalian. Asal kau tahu, Jon. Aku sudah lama tidak melihat orang-orang yang memiliki semangat dalam hidupnya. Jadi, itulah mengapa aku berniat membantu. Mungkin, kami semua, yang ada di sini, sudah terbiasa dalam kemonotonan. Jadilah, ketika menemukan kalian, dengan mudah pikiran kami berubah. Entah dengan Besi. Sepertinya, hanya dia yang pikirannya batu." Joni tertawa mendengar kata-kata Ipang. Lalu, tak lama, ia merasakan perutnya sakit. Ia harus ke kamar mandi, tapi di mana? "Kenapa?" tanya Ipang yang melihat Joni memegangi perutnya sendiri. "Aku sakit perut. Apa di sekitar sini, ada kamar mandi?" Ipang mengangguk. "Tentu saja. Kau mau kamar mandi yang mana? Yang sering kami pakai, atau yang sering sipir pakai?" "Yang mana saja, yang aman." "Oke. Dari sel ini, belok kanan, lurus terus. Belok kiri lagi, lurus lagi, ada dua ruangan, masuk ke sana. Itu yang sipir." "Yang kalian biasa gunakan?" "Belok kiri, lurus. Sampai." "Oke. Aku pilih yang kedua." Saat Joni hendak beranjak, ia berhenti. "Kenapa kau tidak ikut saja denganku?" tanya Joni, seolah meminta bantuan kepada Ipang. Ia agak takut berjalan sendirian, apalagi setelah apa yang Ipang temukan soal mahluk itu. "Ah, sudahlah. Pergi sendiri. Kau bilang, kau mau tahu cara untuk keluar dari sini. Maka dari itu, belajarlah untuk mempelajari sisi-sisi penjara bawah tanah ini. Anggap saja itu survei. Cepat. Kalau kau tak kembali dalam sepuluh atau lima belas menit, aku akan datang mencarimu. Dan hati-hati dengan pintu toiletnya." Perkataan Ipang, di telinga Joni lebih terdengar seperti sebuah pengumuman acara uji nyali. "Oke. Aku akan lebih cepat dari itu." "Ya. Berhati-hatilah," ucap Ipang yang disambut anggukan oleh Joni. Kemudian Joni beranjak, berjalan keluar dari sel. Ia berjalan cepat menuju kamar mandi yang Ipang sebutkan. "Belok kiri, lurus. Sampai." Ya, itu terdengar sangat mudah dan cepat. Ia hanya harus belok kiri, kemudian lurus. Selesai sudah. Ia akan menemukan toilet yang dimaksud. Joni berjalan, ingin cepat-cepat sebenarnya, tapi keadaan penerangan yang begitu remang-remang, membuat Joni agaknya kesulitan dalam melangkah. Ia takut membangunkan mahluk yang disebut Ipang kemarin. Sepanjang jalan menuju ke sana, setelah belok kiri, selama lurus itu, Joni mendapati sel-sel yang ia lewati dalam keadaan sudah kosong. Ke mana orang-orang yang tinggal di dalamnya? Atau memang sebenarnya sel-sel itu tadinya kosong? Joni segera berusaha mengenyahkan pikiran negatif yang kemudian menyerbu kepalanya. Ia tak bisa jika harus berjalan dengan semua pemikiran itu. Nanti, takutnya ia malah benar-benar bertemu dengan sosok-sosok yang ia takutkan. Ada suara-suara tak biasa yang tiba-tiba terdengar. Lorong penjara yang gelap, membuat otak Joni berasumsi macam-macam. Kreekk. Apa itu? Telinga Joni menajam. Jadi lebih tajam daripada sebelumnya. Joni berjalan lebih cepat, ia mengutuk lorong penjara yang dikiranya tidak panjang itu. Ya, ia pikir, belok kiri, lurus, sampai. Itu memang benar-benar dekat. Nyatanya, tidak demikian. Dengan langkah yang sedikit gemetar, Joni pun terus berjalan. Ia tak peduli, tak melihat kiri-kanan, tak tahu apakah ada tahanan di dalam sel-sel yang dilewatinya atau tidak. Ia masa bodo dengan itu. Setelah perjuangan yang melelahkan, ia akhirnya sampai di toilet tujuan. Lumayan lega. Akan tetapi, sejurus kemudian, ia mendapatkan masalah lain. Toilet yang dikatakan oleh Ipang benar-benar tak seperti toilet di dalam bayangan Joni. Ketika pertama kali pemuda itu membuka pintu toilet tersebut, ia merasakan mual yang teramat. "Gilaaa!" teriaknya. Ia sungguh tidak tahan dengan apa yang sedang ia hadapi. Mana bisa ia buang air di toilet mengerikan itu? Hatinya tak ingin, tapi perutnya berkata lain. Jadilah, saat itu juga, Joni menyalakan air, yang untungnya masih berfungsi. Lalu, ia mencari sikat. Acara bersih-bersih dadakan pun terjadi. Sambil menahan sakit perut, Joni melakukan pembersihan di toilet tersebut. Ia bahkan sudah melupakan ketakutan soal kemungkinan akan ada mahluk mengerikan yang Ipang katakan. Ia malah fokus bersih-bersih. Ya, hanya itu. Ia pikir, ia tak akan kerepotan soal kebersihan. Berbeda dengan Aul. Akan tetapi soal toilet, ia akan sangat tersiksa jika tak nyaman. Setelah beberapa menit, dengan kekuatan super yang hadir dikarenakan perutnya yang sakit, ia pun menyelesaikan tugas dadakan yang mana dirinya sendirilah yang merasa itu jadi sebuah kewajiban. Setelah selesai dengan bersih-bersih, barulah Joni menyelesaikan urusan perutnya. *** Di sel, Aul terbangun dan mendapati tak ada siapa-siapa di sana. Ia bingung, tapi sejurus kemudian kebingungannya berhenti. Ipang datang. "Ke mana Joni?" tanya Aul. "Ke toilet." "Sendiri?" Ipang mengangguk. "Iya. Kenapa?" "Ya ampun. Dia seharusnya tidak sendirian." "Tidak terlalu jauh dan kupikir, dia akan aman," ucap Ipang berusaha menenangkan Aul yang terlihat panik. "Tetap saja, Ipang. Kita harus menyusulnya." Ipang mengangguk. Setelah diingat-ingat, Joni sudah pergi lebih dari lima belas menit. "Kalau begitu, ayo. Kita susul Joni. Sudah lima belas menit lebih sepertinya. Tadi, aku bilang kalau sudah lima belas menit, aku akan menyusulnya." "Ya, itu berarti kita harus segera mencarinya," ujar Aul lagi. Ia malah jadi semakin panik. Tak terbayang kalau nanti hal buruk menimpa sahabatnya itu. Ah, ia tak bisa membayangkan jika ia harus menghadapi situasi saat ini sendirian." Mereka berdua lalu berjalan, hendak menyusul Joni. "Ipang, kau bilang tak terlalu jauh, bukan?" Ipang mengangguk. "Ya, memang tak terlalu jauh. Hanya berjalan sedikit, lalu belok kiri, setelah itu, lurus terus, dan nanti kita akan sampai. Hanya itu. Tidak terlalu jauh." "Oke." Aul mengangguk-angguk. Mereka berjalan agak pelan, karena lampu yang kurang terang. Ipang tak banyak bersuara. "Kenapa kau tak bicara? Mari bicarakan apa saja, agar tak ada perasaan takut di antara kita. Berjalan pelan tanpa suara, itu mengerikan." Aul mencoba mengajak Ipang bicara. Berjalan tanpa Joni, membuatnya merasa tak memiliki keberanian atau kelegaan yang cukup. Bahkan meskipun di sampingnya ada seorang Ipang yang tahu banyak hal tentang Jakarta Underground. "Tidak bisa," balas Ipang dengan suara yang pelan. "Kenapa?" "Ingat soal mahluk yang kuceritakan kemarin?" Ah, Aul yang tadinya sama sekali tak berpikir soal mahluk tersebut, akhirnya jadi sangat memikirkan itu. "Ya, aku jadi ingat sekarang, Ipang. Tadinya tidak." "Bagus." Apanya yang bagus? "Mahluk-mahluk itu, kalau kita berisik, kemungkinan akan datang. Lagi pula, kalau di sel, kita lebih aman dibandingkan ketika berjalan-jalan seperti ini. Ini tidak terlalu aman. Karena bisa saja, ketika kita sedang berjalan seperti sekarang, tiba-tiba dari belakang, ada yang menyerang. Bukankah itu menakutkan?" Ipang menjelaskan panjang lebar. "Oke. Kalau begitu, jangan bicara apa pun lagi. Mari berjalan saja," balas Aul dengan sangat pelan. Ipang mengangguk. Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya mereka sampai. Akan tetapi, mereka tak menemukan Joni di toilet. Ipang agaknya heran ketika membuka pintu toilet. Ia mengganjal pintu toilet tersebut dengan batu kecil. Sehingga tak tertutup sepenuhnya. Toiletnya sudah agak berubah. "Kenapa?" tanya Aul panik. "Apa Joni dibawa oleh mahluk itu? Apa mahluk-mahluk itu kemungkinan besar sudah berubah jadi seperti zombie yang mungkin memakan manusia?" Ipang menggeleng. "Entahlah. Bisa saja, mungkin mahluk-mahluk itu mencuci otak Joni dan membuatnya mau membersihkan toilet. Aku tidak tahu. Hanya saja, aku mendapat kejutan besar soal ini. Kenapa Joni melakukan hal konyol?" "Apanya yang konyol?" tanya Aul. "Lihatlah, toilet ini jadi bersih. Sebelumnya tidak begini." Ketika Aul melongok ke dalam toilet, sebuah tepukan di bahunya membuatnya terkejut. Rupanya, itu Joni. "Mengagetkanku saja!" "Haha, maaf. Kenapa kalian di dalam toilet?" "Kau baik-baik saja, kan?" tanya Ipang. Joni mengangguk. "Ya, tentu. Aku baik-baik saja. Ada apa memang? Apakah aku terlihat seperti orang gila atau apa?" "Bukan. Bukan soal itu, tapi soal toiletnya." Joni tersenyum, seperti habis memenangkan undian. "Ini bagus, bukan? Aku suka kebersihan dan kebersihan adalah hal yang utama. Jadi ya, aku melakukannya. Semuanya bukan untuk siapa-siapa, ini untuk diriku sendiri." "Oke. Bagus kalau begitu." Semua orang sedang berada di dalam toilet, membicarakan hal-hal yang tidak penting. Tanpa menyadari sesuatu. "Tapi, kau tidak bermasalah dengan pintunya, kan?" tanya Ipang. Melirik ke arah pintu toilet yang sudah tertutup. "Tidak. Tadi, aman-aman saja." "Kau baru saja membuatnya terkunci." "Apa?" Joni dengan cepat berusaha membuka pintu toilet tersebut. Namun, nihil. Usahanya sia-sia. Aul, Ipang, dan Joni sendiri hanya diam. Bengong. Mereka terjebak. Di dalam toilet. Menyedihkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN