Dua Tempat

1558 Kata
"Tidak semua hal aku tahu. Memangnya aku mesin pencarian di internet?" *** Di atas sana, di Kota Jakarta yang sudah mulai porak-poranda karena hujan dan badai, serta air laut yang sudah tumpah ke daratan, sudah tak ada lagi tanda-tanda mahluk hidup yang terlihat berkeliaran. Tidak satu pun manusia, tidak juga seekor pun hewan yang lewat. Kota itu sudah hampir mendekati mati. Petugas-petugas patroli yang tadinya mencari dan bertugas, memastikan sudah tak ada orang yang diangkut pun, sudah tak terlihat lagi. Mereka akhirnya mengambil kesimpulan bahwa semua orang sudah pindah. Sementara itu, di tempat lainnya, keluarga Aul dan kakaknya Joni sedang dilanda kecemasan. Mereka menelepon ke ponsel Aul dan Joni berkali-kali, tapi tak ada respon sama sekali. "Ke mana mereka?" tanya kakaknya Joni dengan sangat khawatir. "Itu dia, mereka tak kunjung bisa dihubungi. Kita sudah menelepon petugas setempat. Semoga mereka masih ada yang bertugas di sana." Mereka semua berdoa dan berharap yang terbaik. Ibunya Aul menangis sejak kemarin dan menyesali keputusannya karena telah mengijinkan putranya untuk tetap tinggal di kota itu. Ia pikir, anaknya bisa mengurus diri. Ayahnya terus melakukan panggilan kepada para petugas patroli di Jakarta. Ia juga menelepon pihak lain yang berkaitan dengan pencarian warga yang masih tertinggal. "Kami akan usahakan. Sebenarnya, baru beberapa jam yang lalu, para petugas kembali dari patroli dan memastikan sudah tak ada yang tinggal di kota. Mereka mengatakan, kalau mereka sudah menyisir hampir setiap sudut Kota Jakarta." "Tolong. Cari sekali lagi. Ada dua pemuda di sana. Saya yakin, mereka masih hidup. Saya akan kirimkan alamat terakhir mereka. Saya mohon, ya," ucap ayahnya "Baiklah. Saya tunggu alamat lengkap mereka, ya." "Baik. Segera." Segera sesaat setelah ayahnya Aul menutup telepon, ia langsung mengirimkan perkiraan alamat terakhir keberadaan Aul dan Joni lewat pesan kepada petugas tersebut. Mereka semua berharap bahwa Aul dan Joni masih hidup dan masih bisa diselamatkan. *** Sementara itu, tiga orang yang terjebak di toilet, Aul, Joni, dan Ipang, hanya bisa menggerutu tak jelas. Ketiganya marah-marah tanpa tujuan yang pasti, karena mereka bahkan bingung marah kepada siapa. "Bisa-bisanya kita di sini!" teriak Joni sambil menggebrak pintu. Ipang memberi isyarat lewat jari yang ditempelkan ke bibir. "Jangan teriak-teriak seperti itu," ucapnya kemudian. "Aku kesal!" teriak Joni lagi. "Kalian pikir, di antara kalian, siapa yang lebih kesal? Tentu aku, Jon. Aku ke sini karena takut kamu dimakan mahluk itu hidup-hidup dan lihatlah aku sekarang. Malah terjebak di sini. Sungguh kenyataan yang sangat konyol. Kita semua sekarang benar-benar dalam keadaan yang tidak beruntung." Aul merasa ia yang paling menderita. Sudah perutnya yang lapar, berada di dalam toilet, meskipun sudah dibersihkan, tentu itu bukan keadaan yang ia inginkan. Ah, ia merindukan rumah yang hangat dan kakaknya. Sedang apa ia sekarang? Ada yang kemudian terasa sesak, mendesak air matanya untuk keluar, tapi Aul menahannya sekuat tenaga. Ia masih punya harga diri yang harus dijaga habis-habisan di depan Joni atau Ipang. "Oke. Sekarang, apa yang bisa kita lakukan? Selain menunggu tentunya. Jika menggebrak pintu atau berteriak agar orang lain mendengar, itu tidak boleh, lalu apa yang bisa kita lakukan?" tanya Joni. Menatap lurus ke arah Ipang. "Tidak ada. Kita tunggu saja, Jon. Kau tahu, kan? Mungkin akan ada tahanan lain yang ingin ke toilet, dan ketika mereka membuka pintu, mereka akan mendapati kesulitan membuka pintunya. Dari sanalah, kita dapat keluar. Sudah. Mari diam saja," ucap Ipang. Ia pun terduduk di lantai toilet. Melihat itu, Joni dan Aul bersitatap. Tak habis pikir mereka dengan Ipang atau tahanan lain yang tersisa. Mereka seolah menganggap tempat-tempat yang tak seharusnya seperti sebuah rumah singgah yang layak. Duduk di sembarang tempat, tidur dan makan di sembarang tempat, Aul dan Joni sebenarnya sudah tidak tahan. "Kenapa kalian?" tanya Ipang. "Tak apa. Aku hanya heran denganmu dan semua penghuni yang tersisa. Kenapa kalian seperti menganggap tempat ini sebagai rumah? Tempat yang kotor dan becek ini?" tanya Joni. "Ya, karena ini memang rumah kami selama beberapa tahun terakhir. Mau bagaimana lagi? Kami tidak punya tempat lain, selain tempat ini dan ya, sudah sepatutnya kami menganggap tempat ini rumah. Agar terasa nyaman. Lagi, kami semua, penghuni di sini, sudah melewati fase adaptasi. Kami sudah bertahun-tahun di sini. Berbeda dengan kalian berdua. Pasti sulit bagi kalian," ucap Ipang dengan tatapan menyedihkan, tapi sedikit mengejek. "Bukan sulit lagu, Ipang. Kami berdua sangat kesulitan," ujar Aul. Ia menarik napas panjang, dan mengembuskannya kasar. Aroma khas toilet busuk tak juga beranjak dari penciumannya sejak tadi. "Tak apa. Nanti juga kalian terbiasa," ucap Ipang. Berusaha membuat Joni dan Aul merasa nyaman. "Ah, entah. Semoga saja kita tidak mati dalam usaha membiasakan diri di dalam keadaan ini," ucap Aul. Joni mengangguk. "Benar. Semoga kita tidak mati. Ah, aku ingin kembali ke rumah!" teriak Joni lagi. Seketika Ipang memukul kepala Joni agak keras. "Argh!" "Sudah kubilang kan, tadi. Jangan teriak!" balas Ipang. Joni dan Aul menahan tawa. Tawa dalam pahit. Mereka berdua berusaha membuat suasana agak cair. Secara alamiah, otak mereka melakukan hal-hal semacam itu. "Sepertinya, aku akan jadi gila sebentar lagi," keluh Aul. "Tenang, kamu tidak sendiri, Ul. Aku juga. Kita gila bersama." "Ah, s**t!" Joni kembali berteriak. Ipang sudah tak melarang, ia tak peduli lagi dengan dua anak muda di depannya. Setelah beberapa saat, tak ada yang bicara. Hanya suara tetes air yang terdengar dari kran toilet yang tak bisa sepenuhnya tertutup. Tak lama, terdengar suara langkah kaki yang mendekati toilet. Ketiganya sigap. "Siapa kira-kira?" tanya Aul was-was. "Dari langkahnya, sepertinya tahanan seperti kita," jawab Ipang. "Serius?" tanya Aul lagi. Joni diam saja, ia juga ketakutan. "MUNDUR!" teriak seseorang di luar toilet itu. "Itu Besi," ujar Ipang yang kemudian membuat Aul dan Joni merasa lega. Besi mendobrak pintu toilet tersebut dan terlihatlah tiga orang menyedihkan di dalamnya. "Kau mungkin membangunkan mahluk-mahluk itu," ucap Ipang. Kecemasan terpancar jelas di wajahnya. "Entah. Aku tidak peduli lagi. Aku ingin buang air," balas Besi. Aul, Joni, dan Ipang, bergegas keluar. Besi pun masuk. "Kenapa kau tahu kami di sini?" tanya Ipang dari luar. "Aku bilang kan, aku mau buang air." Ipang mengangguk-angguk. Padahal, ada beberapa toilet lain yang bisa digunakan dan ada toilet sipir juga. "Dia hanya malu, mengakui kalau dia ingin membantu kita," ucap Ipang sepelan mungkin. Aul dan Joni tersenyum. "Sepertinya, akan mudah bagi kita membujuknya untuk menunjukkan jalan keluar," ucap Aul. "Benar," balas Joni. Mereka berdua optimis bahwa nanti Besi akan membantu mereka juga pada akhirnya. Ipang, Aul, dan Joni, hendak kembali ke sel. Akan tetapi, ada hal yang tiba-tiba terbersit di dalam pikiran Joni. "Bagaimana kalau kita berjalan-jalan sebentar?" tanya Joni. "Jon, berhentilah bermain-main dan fokus kepada tujuan kita soal keluar dari sini." Aul agak kesal, karena Joni selalu saja bertingkah seperti bocah kecil yang tak pernah berhenti merasa penasaran. "Aku ikut," ucap Besi yang tiba-tiba menerobos, dan maju paling depan. Joni terlihat semringah. Berjalan, mensejajarkan langkah dengan Besi. Dua orang di belakang, Ipang dan Aul, tak punya pilihan lain selain ikut. Mereka seperti dua anggota dengan dua pemimpin di depannya. Besi mengarahkan mereka ke salah satu ruangan. "Ini ruangan sipir. Mari ambil apa saja yang tersisa. Beberapa pernah ke sini sebelumnya, tapi tak berani mengambil banyak." "Kenapa?" tanya Joni, sambil hendak membuka pintu ruangan, tapi ditahan oleh Besi. "Bia aku saja." Besi membukanya perlahan dan mendapati ruangan itu sudah sangat berantakan. "Karena, mahluk-mahluk itu." Ipang merinding sendiri dan berinisiatif untuk membujuk semuanya agar kembali saja ke sel. "Kita kembali saja ke sel. Kita kembali ke tempat yang lebih aman," ucap Ipang. "Tidak. Kita lihat-lihat dulu," ucap Joni lagi. Mereka menyaksikan ruangan sipir yang berantakan dan di dinding ruangan, terdapat bekas cakaran. Ada noda darah juga, meskipun tak begitu banyak dan sudah sangat kering. "Ini, mengerikan," ucap Aul. "Sebaiknya kita segera pergi dari sini," lanjutnya. Kalimat Aul seolah jadi penguat keinginan Ipang untuk pergi saja dari ruangan tersebut. "Lihat, ada makanan!" Joni menunjuk ke salah satu dus bertuliskan merk kue. Ia pun mengambilnya dengan raut semringah. Wajahnya berubah sesaat setelah ia menginjak sesuatu. "A-apa ini?" tanyanya, sembari menunduk, hendak melihat lebih dekat. Semua orang juga melakukan hal yang sama. Ingin mengetahui apa yang diinjak oleh Joni. Tulang. Tulang tangan. "Ya ampun ...." Joni mengucapkan itu, sambil perlahan menarik kakinya, lalu pergi ke sisi lain. Semuanya hanya diam, tak mampu berkata-kata. "Soal mahluk itu, aku tidak main-main," ucap Ipang. "Ya, aku juga tahu itu," balas Besi. "Tapi, kenapa sepotong tangan?" lanjutnya. "Bukannya, kau harusnya lebih tahu dari kami, Besi?" tanya Aul, penuh selidik. "Tidak semua hal aku tahu. Memangnya aku mesin pencarian di internet?" Kalimat Besi mempertegas kalau mereka semua, memang tidak aman di ruangan itu. Entah di ruangan manapun, mungkin memang tidak aman. "Pertanyaannya, kalau mereka pernah ke sini, dan mereka benar-benar ada, lalu di mana mereka sekarang?" tanya Joni. Tak berapa lama, terdapat suara-suara berisik di luar ruangan. Mereka berempat jadi waspada. "Apa itu? Apa yang harus kita lakukan?" tanya Joni pelan. "Tutup pintunya." Besi bergegas menutup pintu ruangan sipir tanpa melihat apa atau siapa yang menimbulkan suara di luar. "Oke. Setidaknya, di sini, agak lebih baik. Mungkin." Joni berujar sambil duduk di salah satu kursi. Ruangan sipir tentu cukup bagus dibandingkan di sel. Ipang, Aul, dan Besi melakukan hal yang sama. Sambil melihat-lihat isi ruangan. Ada makanan, jaket, mungkin peninggalan para sipir yang sudah pergi. Mereka merasa cukup beruntung. Itu berarti, mereka bisa sedikit bernapas lega di sana. "Tangan siapa, ya? Ini?" tanya Joni lagi. "Entah. Mungkin tangan salah satu sipir atau tangan mahluk itu." Joni merinding, membayangkan pertarungan mahluk yang dikatakan oleh besi dan mungkin sipir di ruangan tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN