Lama, Ipang, Joni, Aul, juga Besi, berada di dalam ruangan sipir. Mereka cukup nyaman, karena ruangan tersebut cukup hangat dibandingkan dengan di sel.
"Sampai kapan kita di sini?" Tapi Ipang, rupanya terlihat mulai tak nyaman.
"Kenapa memang? Bukannya di sini lebih menyenangkan?" Joni menjawab pertanyaan Ipang dengan pertanyaan.
"Nyaman dari mananya? Tidak ada satu sudut pun di tempat ini yang benar-benar nyaman, tapi setidaknya setiap dari kita sudah cukup mengenal sel dengan baik. Jadi ya, memang lebih baik di sana, daripada di sini."
Tak ada yang menanggapi pernyataan Ipang barusan. Aul bahkan sudah terkantuk-kantuk. Ia jadi sering tertidur. Dan menemukan ruangan sipir, dengan keberantakan dan kengeriannya, itu tak menghalanginya untuk mulai memejamkan mata.
Sementara Besi, ketika ia berusaha menajamkan telinganya, ia masih mendengar suara hujan deras di atas sana. Kapan hujan berhenti di kotanya? Kapan penjara yang tengah ia tempati sekarang runtuh? Mungkin sebentar lagi. Ia membayangkan air masuk ke dalam penjara dan menenggelamkan apa-apa di dalamnya. Termasuk dirinya dan teman-temannya.
Joni beranjak dari tempat duduk dan melihat-lihat sekitar. "Kira-kira, apa yang sempat terjadi di sini? Pertarungan antara sipir dan mahluk itu? Mahluk itu memakan sipir? Aku penasaran."
"Berhenti mempertanyakan hal-hal yang sudah jelas. Tentu saja, itu yang terjadi. Tidak mungkin yang terjadi adalah sebaliknya."
Besi menjawab dengan tegas.
"Ke mana mereka semua, Besi? Aku benar-benar penasaran."
"Cepat atau lambat, kita pasti akan segera bertemu dengan mereka. Seiring hancurnya penjara ini."
Mendengar itu, Ipang dan Aul terkejut. Benar, untuk beberapa saat, mereka lupa akan kenyataan tersebut. Mereka lupa kalau Jakarta akan segera tenggelam dan tentu saja, mereka juga akan segera mati.
"Apa tidak ada harapan? Besi, biarkan kami hidup. Kami ingin pergi dari sini," ucap Joni.
"Benar. Tunjukkan kepada kami jalan keluar kalau begitu. Sudah tidak ada waktu lagi, bukan?" Aul bertanya dengan nada memelas.
Besi mengangguk. "Akan kulakukan. Aku memang berencana membuat kalian keluar dari sini."
"Bagus. Baik. Kalau begitu, menurutmu, apa sudah aman kalau kita keluar dari sini sekarang?" tanya Joni lagi.
Besi terdiam sebelum menjawab. "Aku tidak bisa menjamin aman atau tidak dan kapan waktu yang tepat untuk kita keluar dari sini."
Ketika Besi hendak melangkah, ada suara ketukan di pintu. Mereka semua waspada.
"Si-siapa?" tanya Joni, terbata. Takut dengan apa yang mungkin ada di luar ruangan.
Suara ketukan itu terdengar. Awalnya pelan, tapi kemudian temponya berubah jadi lebih cepat dan semakin cepat saja.
"Aku yakin. Di luar, bukan manusia biasa."
LPerkataan Besi membuat semua yang ada di dalam ruangan ketakutan. Joni memperhatikan sekitar, takut-takut ada celah atau lubang yang akan membuat mahluk-mahluk yang mereka semua takutkan masuk tanpa aba-aba. Menerobos ke ruangan.
Suara ketukan itu masih terus terdengar dan tak ada satu pun dari mereka berempat yang sanggup mengeluarkan suara sedikit pun. Untuk beberapa saat, Aul bahkan menahan napasnya sendiri.
Setelah cukup lama, ketukan itu pun berhenti. Lenyap. Tak ada satu suara menakutkan sedikit pun setelahnya. Keempat orang di dalam ruangan saling melemparkan tatap, waspada.
"Oke, baik. Bisa saja, itu bukan mahluk yang kita takutkan, bukan? Kita buka saja pintunya," usul Joni yang seketika membuat Aul memukulnya.
"Apa kau gila?"
Joni mengelus kepalanya. "Kau yang gila, Ul. Memukulku seperti itu. Kalau kakakku tahu, kau pasti habis."
"Kakakmu tidak di sini. Berhenti jadi bocah sok tahu."
"Benar apa yang dikatakan Joni. Bisa saja, itu Dollar atau siapa, atau entahlah. Bisa saja itu bukan yang kita takutkan."
Besi malah memperkuat pendapat Joni.
"Kalau begitu, lihat ke luar. Di antara kalian berdua, siapa pun yang berani, lihat ke luar. Cek saja, apa di luar memang aman, atau apa yang tadi mengetuk pintu benar bukan mahluk mengerikan itu? Ayo." Ipang mengusulkan sebuah cara.
Joni menatap tiga orang di depannya bergantian, lalu menatap cukup lama kepada Besi.
"Itu tidak adil. Bukan salah satu di antara kita berdua, tapi salah satu di antara kita berempat yang harus maju."
"Hei, tapi aku dan Ipang justru tidak mau. Makanya menunjuk kalian," protes Aul.
"Tapi ini tidak adil," ucap Joni. "Lagi, memangnya kalian tidak mau keluar dari sini? Tidak mau mencari jalan keluar dan selamat? Mau di sini saja, menunggu mati?" lanjut Joni.
Tak ada jawaban dari Ipang atau Aul.
"Oke. Sudah. Aku saja yang maju!" teriak Joni kemudian. Ia memang sejak awal adalah yang paling ingin tahu.
"Ya sudah, kenapa tidak dari tadi saja," gerutu Aul yang langsung dibalas tatapan tajam dari Joni.
Lalu Joni perlahan melangkah, meraih gagang pintu. Ia tarik napas dalam-dalam, demi membangkitkan keberanian menghadapi apa yang mungkin di depan.
Klik.
Bunyi pintu yang sedikit dibuka, begitu tajam, terdengar di telinga keempat orang itu.
Joni mengeluarkan kepalanya terlebih dahulu. Satu pemandangan yang ia tangkap hanyalah: lengang. Kosong. Tak ada sepotong mahluk pun yang ia lihat di luar ruangan.
"Tidak ada. Tidak ada apa pun atau siapa pun."
Ipang, Aul, dan Besi sedikit lega.
"Kalau begitu, yang tadi itu, siapa? Siapa yang mengetuk pintu dengan begitu brutal?" tanya Aul. Ya, itu merupakan pertanyaan yang cukup tepat untuk ditanyakan dalam kondisi mereka saat itu.
"Satu yang pasti, bukan hantu." Besi menegaskan.
"Sekarang, kita keluar?" tanya Joni, meminta persetujuan dari tiga orang di sebelahnya.
"Entahlah. Aku tidak yakin," ucap Ipang. Besi dan Aul juga tak menanggapi pertanyaan dari Joni.
"Kita harus segera memutuskan. Di sini tak aman, di luar, juga. Tapi kalau kita tidak bergerak dan segera mencari jalan keluar, tentu saja itu adalah pilihan yang paling buruk." Joni mengatakan itu, berharap ada salah satu dari Ipang, Aul, atau Besi yang juga mendukung keinginannya untuk segera keluar dari ruangan tersebut.
"Baik. Aku yang akan keluar duluan." Joni mengucapkan satu kalimat yang jadi pemecah kebuntuan. Besi cukup kagum dengan keberanian Joni.
Bocah itu ....
Ia pun maju juga. "Aku akan keluar juga. Kita berdua ke luar, dua lainnya di dalam. Sekarang ini jadi cukup adil."
Jadilah dua orang itu, Joni dan Besi keluar dari ruangan sipir. Pelan, mereka melangkah. Penerangan yang sedikit tak bersahabat, membuat mereka kesulitan untuk melihat.
Aul dan Ipang harap-harap cemas. Berjaga di depan pintu, takut kalau sesuatu yang mengerikan terjadi.
Besi dan Joni melangkah pelan. Mereka baik-baik saja, sebelum mata Joni menangkap sesuatu yang ganjil.
Permuda itu terdiam. Menyadari bahwa sosok yang ia lihat, merupakan sosok yang ia dan kawan-kawannya takutkan.
Besi tahu ada yang tidak beres, ketika melihat bagaiman Joni hanya terdiam, mematung.
"Mundur," ucap Besi pelan. Pelan sekali. Joni menahan napas, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Takut.
Joni mundur. Besi juga. Mereka tahu ke mana mereka harus menuju. Tentu, kembali ke ruangan sipir tadi.
Ipang dan Aul sudah siap untuk kemungkinan buruk itu. Mereka berencana menutup pintunya dengan cepat, ketika Joni dan Besi sudah masuk.
Joni melangkah mundur dengan hati-hati, sambil matanya tak henti melihat sosok yang sedang sibuk memakan potongan tubuh. Ia tak mampu memikirkan apa-apa lagi, ia ingin muntah melihatnya.
Brukk!
Joni tak sengaja membuat dirinya jatuh. Mahluk itu berhenti mengunyah. Ia menatap lurus kepada Joni dan Besi.