Flu

1069 Kata
"Apa yang terjadi setelah kau diselamatkan? Atau justru, apa yang terjadi di Jakarta? Kalian terjebak di gedung? Itu saja?" *** "Ya, kita harus selamat. Tapi, apa kau yakin, kau yakin kalau flu yang kau maksudkan ini serius?" Joni mengangguk mantap. "Aku tidak bohong. Ada banyak orang yang sudah terserang flu di mana-mana, di kota ini. Entah berapa banyak, tapi sungguh. Banyak sekali. Aku yakin, itu bukan flu biasa." Aul mengangguk. Ketakutan Joni terlihat jelas dan ia tidak bisa tidak percaya kepada sahabatnya itu. "Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang?" "Tetap diam di rumah. Aku juga akan meyakinkan kedua orang tuamu agar tak ke mana-mana. Aku sudah beri mereka masker dan bahkan ada obat juga. Jadi, kuharap kau bisa menurut padaku." Aul mengangguk lagi. "Aku keluar, ya. Aku harus ke rumah dan menjaga kakakku juga." "Oke." Joni keluar dan tepat di depan pintu, rupanya ibunya dan ayahnya Aul berdiri di sana. "Ehm, bagus. Itu berarti kalian sudah tahu apa yang kami bicarakan tadi. Benar. Ini bukan sesuatu yang bisa disebut wajar. Aku berani berkata bahwa kita harus mewaspadainya." "Kenapa kita harus sewaspada itu? Kalian ini kenapa?" tanya ibunya heran. Wajahnya menyiratkan seribu tanda tanya. "Ini bukan virus biasa. Aku yakin. Mungkin besok, akan ada pengumuman dari pemerintah. Apa pun itu, mereka pasti akan berusaha menenangkan kita semua. Tapi, tetap saja. Itu virus yang berbahaya." Ibu dan ayahnya Aul saling melihat. "Aku dan Aul pernah terjebak di situasi yang berbahaya. Kalian tahu itu. Dan sungguh, apa yang kurasakan sekarang, mungkin karena kejadian sebelumnya. Aku dan Aul jadi lebih peka ketika melihat tanda-tanda bahaya." "Baik. Kami akan pikirkan. Kau akan menginap?" Kini ayahnya Aul yang berbicara. "Tidak. Aku harus menjaga kakakku." "Oke. Baiklah kalau begitu. Hati-hati di jalan." Joni mengangguk dan bergegas. Kakaknya sudah menunggu cukup lama. Di dalam kepala Joni, berbagai kemungkinan berloncatan ke sana kemari. Seperti bola bekel. Ia tahu semua itu belum tentu terjadi, tapi entah mengapa, sulit baginya untuk menenangkan diri. "Kakak?" ucap Joni ketika ia membuka pintu. "Siapaaa? Ah, Jon! Kemarilah. Kakak sudah menunggu lama." Joni berjalan menuju kamar sang kakak. "Hei. Jadi seharian Kakak hanya berada di depan laptop?" Sang kakak mengangguk. "Mau bagaimana lagi? Emh, apa itu?" Joni melihat ke arah bungkusan yang ia bawa. "Masker dan obat flu." "Masker? Obat? Untuk?" "Kita." "Kita? Kau ini bagaimana. Kaki Kakak yang sakit. Bukan pernafasan." Kakaknya berujar sambil tertawa. "Enak saja. Aku tidak sebodoh itu. Ini karena banyak yang flu di luar sana." "Flu? Apa ini musim hujan?" Joni merebahkan dirinya di atas ranjang sang kakak. "Hei, cuci kakimu dulu." "Akan kulakukan. Sebentar, Kak. Oh iya. Flu itu tidak harus musim hujan." "Oke-oke. Mahasiswa sepertimu pasti akan menyangkal itu, tapi kebanyakan penyakit flu, biasanya ada saat musim hujan." Joni tak menanggapi. Sambil merebahkan diri itu, ia menatap langit-langit kamar sang kakak. "Kak, bagaimana kabar Ibu dan Ayah di surga?" tanyanya tiba-tiba. Begitu jauh melenceng dari topik yang tadi sempat jadi tema pembicaraan mereka. "Kenapa tiba-tiba bertanya? Ah, kau lapar. Oke. Ini alarm, ya. Ketika seorang Joni bertanya hal-hal sentimentil, kemungkinan besar ia kelaparan. Oke. Kakakmu yang baik ini akan segera membuatkanmu mie instan yang enak sekali. Tunggu, ya." Joni bangun. "Biar aku saja. Kaki Kakak kan sakit." Ia kemudian berjalan dan menutup pintu kamar kakaknya perlahan, lalu menyeka ujung matanya yang sedikit basah. Kakaknya benar, ia mungkin terlalu kelaparan. *** Di meja, sudah ada dua mangkuk mie instan. Kakaknya sudah menunggu sejak tadi dan melihat bagaimana Joni telaten memasak dan menyajikan mie, kakaknya cukup terpana. "Beruntung sekali nanti perempuan yang jadi istrimu." Joni seketika tertawa. "Kalimat apa barusan? Entah kapan itu terealisasi." "Kau belum punya pacar lagi?" "Belum dan itu pertanyaan yang tidak penting. Sebaliknya, harus kutanya tentang pacar Kakak." "Entahlah." "Entah? Apa yang terjadi?" Mie sudah tersaji. Kakaknya sudah mengambil sumpit dan mulai makan. Begitu juga Joni. "Tidak ada yang terjadi. Hanya, mungkin komunikasi kita saja yang tidak terlalu lancar. Dia sibuk." "Sangat sibuk, sampai tidak sempat memberi kabar?" Kakaknya mengangguk. "Hei, Kakak bukan anak SMP. Tidak memberi kabar bukan berarti hubungan kalian rusak." "Benarkah? Sok tahu sekali." "Ya, bagiku seperti itu. Sudahlah, berbaikan saja." Kakaknya mengangguk. "Oke. Oh iya. Tadi, soal masker dan obat flu? Kenapa?" Joni mengangguk-angguk. "Oke. Itu akan kujelaskan." "Jelaskan setelah makan, ya." Kakaknya tersenyum ke arah Joni. Dan benar, Joni sudah merasa lebih baik setelah perutnya terisi. Selesai makan, keduanya kembali berbincang. Kakaknya Joni masih penasaran kenapa Joni membeli banyak masker dan obat flu. Padahal, flu adalah penyakit ringan menurutnya. "Di kota, hampir semua orang terkena flu." Kakaknya mengangguk-angguk. "Lalu? Rasanya memang flu itu sering terjadi, bukan?" "Bukan flu biasa." "Flu burung?" Wajah kakaknya terlihat kaget. "Bukan juga. Entahlah. Flu apa, aku belum tahu." "Kalau kau belum tahu, kenapa panik begitu? Berapa banyak uang yang kau habiskan untuk membeli semua itu?" "Banyak sekali. Karena aku membeli dua barang itu, lebih banyak. Sebagian sudah kuberikan kepada keluarganya Aul." Kakaknya yang sedari tadi bicara santai, jari berubah. "Jon, apa ini tidak berlebihan? Maksud Kakak, ada apa? Apa yang kau ketahui?" "Tidak ada. Itulah kenapa kita harus waspada. Aku belum mengetahui apa pun tentang ini, tapi aku merasa, ini bukan hal yang bagus. Apa yang sedang terjadi saat ini, bukan hal yang bagus. Kakak percaya padaku, kan?" Kakaknya mengangguk. "Apa yang kau sembunyikan?" Untuk pertanyaan balik yang dilontarkan kakaknya itu, Joni hanya tersenyum. "Apa maksud Kakak?" "Apa yang terjadi setelah kau diselamatkan? Atau justru, apa yang terjadi di Jakarta? Kalian terjebak di gedung? Itu saja?" Joni ingin sekali menceritakan semuanya, tapi ia tahu. Kalau ia mengatakan semuanya kepada sang kakak, maka bukan tidak mungkin kakaknya itu akan terseret dalam urusan yang berbahaya. Jadilah Joni mengangguk. "Ya, itu saja. Kami terjebak di sebuah gedung. Dan ehm, karena itulah, mungkin karena aku dan Aul pernah terjebak di situasi yang sangat sulit, kami jadi cukup peka terhadap bahaya apa yang mungkin akan terjadi atau akan datang. Inilah yang aku rasakan sekarang, Kak. Flu ini bukan flu biasa." Kakaknya menyimak Joni dengan serius. "Oke kalau begitu. Jadi, kalau kita pergi keluar dari rumah, kita harus pakai masker?" Joni mengangguk dan tersenyum. "Tapi Kakak kan sedang bekerja dari rumah, jadi, tidak mungkin keluar dari rumah. Jadi aman, kan?" "Benar. Kakak aman. Untuk sementara, aku juga tidak akan keluar dari rumah. Aku akan temani Kakak saja." "Ya, bagus! Itu sangat bagus. Kakak tidak akan menjalani hari yang bosan lagi." Keduanya pun saling bercanda tawa. Joni lega. Meyakinkan kakaknya, tentang ketakutan yang ia rasakan, nyatanya tidak sesulit yang ia bayangkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN