Dia Masih Hidup

1049 Kata
Di tempat lain, Vanes dan Karina saling berbicara. Mereka sudah sampai di kota yang jauh dari kota sebelumnya, tapi tetap saja mereka berdua sepertinya belum tenang. Rai, suami Karina sekaligus ayah sambung Vanes belum menyusul mereka dan belum mengabari apa pun. "Apa Ayah baik-baik saja, ya?" tanya Vanes. Pagi itu, Karina hanya memasak makanan seadanya. Sebelumnya, ia bahkan berniat untuk membeli saja, tapi ia urungkan niatnya itu, sebab Vanes memang lebih senang dengan masakan rumahan. "Dia akan menyusul kita nanti, tenang saja. Ayahmu harus kembali dulu ke ST Tower." Vanes tersenyum canggung. "Kenapa?" tanya sang ibu, tak mengerti dengan senyuman Vanes. "Aku tahu kalau soal itu, Ayah sudah memberitahuku. Yang kumaksudkan adalah ayah yang satu lagi." "Ah, ... ehm, dia juga pasti akan baik-baik saja." Karina berusaha mengatur degup jantungnya. Ia cukup terkejut dengan pertanyaan putrinya itu. "Aku masih ingin tertawa kalau ingat," ujar putrinya lagi. "Ingat apa?" "Ingat ekspresi Ayah ketika melihatku tersenyum. Dia kaget. Mungkin dia pikir aku tidak akan menyambutnya dengan baik." "Apakah ekspresinya lucu?" Vanes mengangguk. "Lucu sekali. Wajah tegangnya, tapi aku sangat senang, ketika melihatnya tersenyum lega. Kenapa dia harus dihukum? Aku ragu Ayah pernah melakukan hal buruk." Karina memandang putrinya. Vanes sudah mulai beranjak dewasa. Meskipun baru menginjak kelas dua sekolah menengah pertama, tapi apakah mungkin seharusnya ia mulai menceritakan lebih banyak tentang Reza, alias Besi? Sepertinya Vanes bisa menerima banyak hal. Pikiran itu menghantuinya setiap saat. "Ibu, kenapa kalian berpisah?" "A-apa?" Pertanyaan itu datang juga. Selama ini, Vanes selalu mendengarkan penjelasan sang ibu. Tenang ayah kandungnya atau tentang ayah angkatnya, tapi tidak pernah benar-benar menceritakan lebih banyak dan Vanes selalu merasa tidak perlu bertanya. Tapi, setelah bertemu dengan ayah kandungnya, apakah Vanes jadi semakin penasaran? "Ini bilang, Ayah itu orang baik, tapi kenapa dia dihukum? Kenapa kalian berpisah?" "Ehm, begini ...." Ibunya terlihat kebingungan harus menjawab pertanyaan Vanes dengan jawaban yang seperti apa. Ia ragu-ragu, dan kebingungan memilah mana yang tepat untuk disampaikan. "Kalau memang Ibu belum mau menceritakan, ya, tidak apa-apa. Nanti saja." Kalimat itu membuat Karin merasa lega, sekaligus merasa bersalah. "Ayolah, Bu. Tenang saja," ucap Vanes sambil tersenyum. "Iya. Ibu merasa lebih baik kita bicarakan hal lain saja. Percayalah, ayahmu akan baik-baik saja. Mereka berdua, hehe." Vanes teraenyum. "Aku punya dua ayah, Bu. Hehe." Entahlah, Karina bingung harus tertawa atau bagaimana. "Sayang, kau harus percaya bahwa ayahmu adalah orang baik. Dua-duanya. Dan orang baik, akan mendapatkan hal-hal baik." "Benarkah?" "Ya. Kalau pun mereka sedang dalam kesulitan, itu pasti karena mereka sedang memperjuangkan sesuatu yang baik. Berdoalah untuk keselamatan mereka. Oke?" Vanes mengangguk, setuju dengan apa yang dikatakan oleh sang ibu. Ia pun melanjutkan sarapannya sambil mengingat percakapan di bandara. Percakapan yang menurutnya lucu, karena ekspresi yang diperlihatkan oleh Besi saat itu. Ah, Vanes merasa sangat ingin bertemu dengan Besi. Lagi. **** Di rumahnya, Besi menatap mobil yang baru ia beli. Bagus, tapi itu tidak terlalu penting sebenarnya. Para petugas medis sudah terlihat mendekat ke arah rumahnya dan Besi tidak bisa begitu saja pergi. Ia sebenarnya memiliki keraguan. Bisa saja, obat atau vaksin yang disuntikkan oleh para petugas itu adalah racun atau mungkin sesuatu yang berkaitan dengan percobaan manusia, akan tetapi, rasanya tidak mungkin jika ST Tower sampai akan melakukan hal seperti itu. Itu akan jadi pembunuhan masal namanya. Para petugas itu begitu ramah dan menyelesaikan tugas mereka dengan cepat. Setelah itu, mereka pun berlalu. Besi tak terlalu tertarik untuk terlibat percakapan dengan mereka. Jadilah yang ada hanya sapaan basa-basi saja. Dan itu pun tak lama. "Terima kasih. Tetap jagalah kebersihan dan kesehatan, ya." Besi mengangguk mendengar kalimat terakhir dari salah satu petugas itu. Setelahnya, ia pun mencoba menghubungi Rai kembali. Ia ingin tahu lebih jauh tentang apa yang terjadi di ST Tower saat ini. Mungkin saja, akan ada informasi yang baru. Sudah berkali-kali Besi menghubungi Rai, tapi sepertinya entah mungkin Rai sedang sibuk, ia tak juga mengangkat telepon dari Besi. Besi jadi berpikir yang bukan-bukan. Tak lama, ketika Besi mulai sedikit mengantuk, mungkin efek vaksin, ponselnya berbunyi. Membuat Besi langsung membuka matanya lebar-lebar. "Ya, Rai? Halo?" "Iya. Ada apa menelepon?" Suara Rai tedengar tergesa. "Kau baik-baik saja, bukan? Kau tidak ketahuan telah membuat Vanes dan Karina pergi?" "Tidak. Aku tidak ketahuan. Kalau pun mereka tahu, sepertinya, selama aku berada di sini, tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Entah itu kepadaku atau Karina dan Vanes. Ya, kuharap begitu." "Baguslah. Aku baru saja menerima vaksin. Apa menurutmu, aku tidak akan mati? Semua warga juga mendapatkan pengobatan dan pencegahan yang sama denganku." "Tidak. Kalian tidak akan mati." "Apakah ... virus flu yang menyebar di kota, adalah virus buatan? Sengaja disebarkan?" "Aku tidak bisa menjawab itu. Berhentilah berpikir buruk." Besi terdiam sebentar. Sepertinya Rai juga sedang berada di dalam situasi yang tidak bagus, atau sepertinya ia sudah mengetahui sesuatu yang buruk tentang ST Tower. "Bagaimana suasana di gedung?" tanya Besi lagi. "Tidak terlalu bagus. Dan tolonglah. Kita tidak bisa bicara di sini." Kalimat Rai yang satu itu terdengar lebih bergetar. Nada kekhawatiran jelas ada di sana. "Apa maksudmu?" "Akan kukirimkan tepatnya lokasi yang tepat untuk kita bertemu." Setelah itu, sambungan telepon ditutup oleh Rai. Besi berkeyakinan, ada sesuatu yang sangat penting yang ingin Rai sampaikan. Besi pun bergegas setelah mendapatkan pesan berisi sebuah tempat di mana Rai menunggunya. Ia mencoba menyetir lagi setelah sekian lama. Sedikit kaku, tapi kemampuannya masih tak menurun drastis. Bisa dibilang ia masih layak mengendarai mobil. Besi mengendarai mobil dengan kecepatan yang lumayan. Ia melihat lokasi yang disebutkan oleh Rai. Sedikit heran, tapi ia tetap melanjutkan perjalanan. Mungkin, memang ia dan Rai harus bertemu di tempat yang seperti itu. Besi sampai. Ia melihat ada satu mobil lagi, warna silver. Mobilnya Rai? Tempat itu adalah terowongan yang sudah ditutup alias tak terpakai. Besi menelepon lagi Rai, untuk memastikan. Ia takut kalau-kalau itu mungkin saja adalah jebakan. Di saat seperti ini, ia tidak boleh benar-benar percaya kepada siapa pun. Terdengar dering ponsel dari dalam terowongan. Besi pun berhenti menelepon. "Rai?" "Ssst. Kau sudah sampai?" "Ya. Apa kita benar-benar harus bicara di sini?" "Iya." Rai menyalakan flash dari ponselnya. "Maaf. Kita memang harus bicara di sini," ucap Rai berbisik. "Oke. Apa yang ingin kau sampaikan?" "Ini sangat penting. Profesor Kendra masih hidup dan dia ada di gedung ST Tower. Tapi, kondisinya buruk." "A-apa? Seperti apa kondisinya?" Rai terlihat ketakutan. Ia bahkan kesulitan untuk berbicara. Besi sudah tak bisa berpikir positif lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN