Makan Malam

1038 Kata
Kami itu, tidak memikirkan hal berat. Kami hanya peduli dengan keadaan sekitar. *** "Apa maksudmu, Rai?" tanya Besi. Ia tidak mengerti. Apakah selama ini firasatnya benar? Bahwa hilangnya salah satu Profesor dan meninggalnya anak si profesor itu ada kaitannya dengan ST Tower? "Ya, Profesor Kendra masih hidup dan kondisinya terlihat tidak terlalu bagus." "Iya, apa maksudmu? Kondisinya tidak terlalu bagus itu, bagaimana?" "Dia terlihat aneh. Aku bahkan ketakutan saat melihatnya." "Aneh?" "I-iya." Dari lampu flash yang dinyalakan oleh Rai, Besi bisa memahami bahwa Rai sangat ketakutan. Tangannya gemetar dan berkeringat. "Rai, pergi dari sana. Jangan kembali. Itu akan buruk untukmu." Rai menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku bisa mengatasinya. Aku yakin. Aku takut ada sesuatu yang buruk menimpa Karina atau Vanes nantinya. Jadi, aku akan tetap kembali ke sana. Aku tidak bisa jika harus pergi sekarang. Maka dari itu, aku memberitahumu." "Jadi, kau memberitahuku, dengan tujuan apa?" "Agar kau segera pergi." "Aku tidak bisa pergi. Banyak orang berjaga di mana-mana." "Terserah, tapi pergilah sejauh yang kau bisa dan aku akan segera mengirimkan nomor Karina dan alamatnya di kota lain. Kau harus menghubunginya dan ke sana nanti." Besi terdiam untuk beberapa saat. "Apa maksudmu?" "Entahlah. Tapi, aku takut akan sesuatu yang buruk terjadi padaku. Dan mungkin kepadamu juga." "Apa?" "Aku tahu kau dan Jakarta Underground. Aku tahu semuanya. Mustahil jika aku tidak tahu soal itu." "Jadi, kau juga tahu soal project itu?" Rai mengangguk. "Ya ampun. Aku pikir ...." "Aku juga awalnya tidak tahu soal itu. Hanya orang yang memiliki kepentingan tinggi di ST Tower yang mengetahui soal project internal. Aku hanya mendengarnya dari rekan kerja yang lain. Dan kami sepakat untuk tutup mulut. Sama sepertimu." "Begitu, ya. Jadi, apakah aku dan temanku yang lain, yang dulunya pernah berada di Jakarta Underground selalu diawasi sampai sekarang?" Rai menggeleng. "Tidak tahu. Aku juga berusaha diam-diam ke sini. Aku harus cepat. Buka pesan di ponselmu. Kau akan melihat nomor Karina dan alamatnya di kota lain. Aku harus kembali ke ST Tower dan kau, pergilah." "Bagaimana dengan Profesor Kendra? Dia harus diselamatkan, bukan?" tanya Besi ragu-ragu. Walaupun ia tak mengenal siapa itu Profesor Kendra, dan sudah bertekad untuk jadi orang biasa, nyatanya itu tak pernah benar-benar terealisasi. Ia tetap ingin peduli. "Aku tidak tahu. Aku akan berusaha mencari tahu." "Oke." "Aku pergi duluan. Kau tunggu beberapa menit, barulah pergi." Besi mengangguk. "Oke." Tak lama, Besi membuka pesan yang dikirimkan oleh Rai. Pesan itu berisi nomor Karina dan alamatnya di kota lain. Besi menghela napas berat. Ini jadi semakin rumit saja, pikirnya. Setelah beberapa menit, ia pun pergi dari terowongan itu dengan perasaan yang tak karuan. Profesor Kendra yang masih hidup, tapi kondisinya buruk, kematian anaknya, virus flu berat yang menyebar di kota, semua itu, berkaitan dengan ST Tower. Sekali lagi, itu semakin menguatkan citra buruk ST Tower di mata Besi. Tidak ada yang berubah rupanya. *** Joni pergi ke rumah Aul. Kakaknya sedang tidur setelah menerima vaksin. Ia merasa bosan, jadilah ia pergi ke rumah Aul. Saat ke kamarnya, Besi mendapati Aul tengah bermain game. "Bermain game di saat seperti ini?" tanya Joni dengan santai. Ia merebahkan diri di tempat tidur milik Aul. "Ya, Ayah dan ibuku mengantuk. Aku tidak sama sekali. Sungguh. Aku berharap dengan bermain game, rasa kantukku juga datang. Kau tidak mengantuk sama sekali? Atau justru kau datang ke sini untuk mengambil alih tempat tidurku?" Aul mengatakan semua kalimat itu sambil matanya masih fokus ke layar komputer yang menampilkan permainan game-nya. "Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" tanya Joni. Matanya terus menatap langit-langit kamar Aul. "Entahlah, tak ada yang bisa kita lakukan sekarang, selain menunggu. Ya, menunggu saja. Kita ikuti bagaimana baiknya." "Perlahan-lahan, kita memang jadi orang biasa. Karena kita memang orang biasa sebelumnya." "Tepat. Kita adalah orang biasa yang sial. Dan untungnya, kita tetap kembali jadi orang biasa lagi. Aku bersyukur kita masih hidup sampai hari ini dan kita masih bersama keluarga kita. Benar, kan? Itu adalah sesuatu yang lebih dari sekadar cukup untuk disyukuri." Joni mengangguk. "Ya, itu benar. Benar sekali. Lebih dari sekadar cukup untuk disyukuri." "Sudahlah, main game saja. Aku perlu kelelahan untuk bisa tidur nyenyak." "Kau belum bertemu psikiater lagi?" "Belum. Entahlah. Aku bahkan lupa dengan jadwalnya." "Nanti aku antar." "Tidak perlu. Aku sudah merasa lebih baik." "Tapi kau masih sering kesulitan untuk tidur." "Iya. Aku masih kesulitan. Tapi bukan berarti tidak bisa. Jadi, tak apa. Aku akan baik-baik saja. Sekarang pun aku sudah benar-benar merasa lebih baik." Joni lega mendengar jawaban dari Aul. "Aku, sungguh ingin pergi ke suatu tempat," ucap Joni setelah beberapa saat. "Suatu tempat?" "Iya." "Ke mana? Kau ingin berwisata? Di saat seperti ini?" "Bukan. Bukan pergi ke tempat seperti itu. Aku ingin pergi ke tempat di masa lalu. Aku membayangkan taman yang selalu aku datangi sewaktu kecil bersama kedua orang tuaku." "Di mana itu? Ah, Jakarta?" "Heemh." "Jakarta sudah tidak ada lagi." Joni tak bicara apa-apa lagi setelah itu. Ia terus melihat langit-langit kamar Aul dan lambat laun, mulai ditarik oleh kantuk. Sementara Aul, masih terus memainkan game-nya. *** Joni terbangun ketika aroma masakan yang cukup kuat menyapa hidungnya. Ia mengerjakan matanya berkali-kali, sebelum tersadar bahwa ia sudah menghabiskan waktu yang cukup lama tidur di kamar milik Aul. Joni melihat sekeliling. Tidak ada Aul yang sedang bermain game, namun terdengar bincang-bincang di luar kamar. Samar, ia juga mendengar suara kakaknya. Joni beranjak. Ia menguap beberapa kali, sebelum benar-benar keluar dari kamar. "Hei!" Seseorang menepuk punggung Joni dari belakang. Itu Aul. "Ya ampun. Kemarilah, kita makan malam bersama, Jon," ujar sang kakak. "Kenapa Kakak ke sini?" "Lah, memangnya tidak boleh? Kakak ke sini karena dirimu juga. Kakak tidak mau sendirian di rumah. Jadi ya, ke sini." "Sudah, duduklah, Jon. Kita makan," ucap ibunya Aul. Joni sedikit terdiam. Melihat wajah-wajah di depannya, ia merasa sedikit keheranan. "Kenapa?" tanya Aul. "Ehm, tidak. Apanya yang kenapa?" "Ya, kau. Wajahmu itu. Seperti memikirkan sesuatu yang berat saja," jawab Aul. "Kalian. Kalian berdualah yang selalu terlihat memikirkan sesuatu yang berat. Mau itu kau, Jon. Mau itu Aul." Ibunya Aul menggerutu. "Kami itu, tidak memikirkan hal berat. Kami hanya peduli dengan keadaan sekitar. Itu saja. Dan itu berat. Benar kan, Jon?" ucap Aul. Joni mengangguk. "Benar." "Ah, sudah-sudah. Kita makan saja," ucap Aul lagi. Joni dan Aul pun sejenak teralihkan. Mereka sama-sama menikmati makan malam yang sudah tersedia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN