"Baik, Pak Hans...silahkan nanti kirimkan laporan dari bahan baku yang masih kurang ke email saya untuk kelengkapan data laporannya."
"..."
"Oke, terima kasih banyak Pak atas bantuannya."
Adri membanting pelan pulpen ditangannya dan menggeser kertas-kertas yang bertumpuk dihadapannya. Sebuah layar selebar 14 inch menampilkan data laporan perkembangan pembangunan sebuah resort dibawah naungan PT. Royal Cendana. Sesuatu yang bahkan bukan menjadi tugas Adri kini harus dia kerjakan seorang diri.
"Mamaaa! Adri capeeek!" Adri meletakkan kepalanya di atas meja yang berisikan kertas-kertas loporan. Sudah sekitar tiga jam dia berkutat pada laptop, ponsel dan kertas-kertas laporan hingga matanya terasa perih dan kepalanya pusing.
"Ruliano b******k!!" seru Adri sambil mengacak sendiri rambutnya. Tidak pernah dia merasa selelah dan sesedih ini sebelumnya.
Drrt. Hanphone Adri yang tergeletak begitu saja di atas meja dibalik tumpukan kertas-kertas bergetar. Adri meraih benda tipis berwarna hitam itu dengan malas. Kepalanya masih pada posisi tergolek di atas meja, hanya tangannya yang bergerak-gerak untuk meraih benda yang terus bergetar tersebut. Nama Ruliano terpampang di layar lcdnya. Adri dengan seketika mengangkat kepalanya.
Dahinya mengernyit. Dia hafal betul nomer yang kini tengah menghubunginya adalah nomor bosnya. Namun dia bersumpah menamai kontak bosnya itu dengan nama 'Annoying Boss' di daftar kontaknya. Tidak lama getaran dari benda tipis itu berhenti. Namun tidak beberapa lama benda itu kembali bergetar dan si pemanggil masilah orang yang sama.
Adri menghembuskan nafasnya. "Ya, hallo, pak Rully?" ucapnya.
"Buka pintu kamar kamu," ucap Rully dari sebrang.
Adri menunjukkan ekspresi bingung dengan mengernyitkan dahinya. "Hah?"
"Kamu tidak dengar? Buka-pintunya!" kali ini nada bicara Rully jauh lebih tegas. Adri segera menciut dan akhirnya berjalan dengan cepat menuju pintu kamarnya sambil menggerutu tidak suka.
Adri terlonjak ke belakang ketika menemukan Rully sudah berdiri di depan pintu kamarnya dengan pakaian yang menunjukkan seperti seorang yang akan pergi tidur—dengan kaus putih polos dan celana training abu-abu—namun tetap tampan apalagi ditambah dengan jaket berwarna biru donkernya. "Cepet ambil jaket kamu dan juga tutup mulut kamu itu sebelum air liur kamu netes!" ucap Rully sambil menatap Adri dengan pandangan...geli?
Adri mengerjapkan matanya lalu dengan cepat menutup mulutnya yang memang tanpa sadar menganga. "Hah?"
Rully melipat kedua tangannya didepan d**a dan memandang Adri tajam. Gadis itu langsung mengerti jika Rully tidak akan mengulangi perintahnya untuk kedua kali jika sudah menatapnya begitu. Jadi tanpa dikomando dua kali, Adri segera masuk dan menyambar jaketnya yang tergeletak di atas sofa.
Adri mengikat kuda rambutnya sambil berjalan menghampiri Rully setelah memakai kembali jaketnya. Baru saja dia menutup pintu hotel, Rully dengan segera menarik pergelangan tangan kurus Adri dan menarik gadis itu menuju lift.
Adri mengikuti dengan bingung kemana Rully menariknya. Saking terburu-burunya Rully menariknya, dia bahkan tidak sadar jika dia masih mengenakan sandal hotel. "Ah anu...Pak.." ucap Adri mulai bersuara ketika mereka sudah masuk didalam lift.
"Hmm?" respon Rully.
Adri menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Tidak tau darimana harus memulai pembicaraan. "Kamu...eh maksudnya bapak mau bawa saya kemana?" tanya Adri akhirnya sambil menunduk dan sesekali melirik ke arah tangan kirinya yang masih digenggam oleh Rully.
"Jalan-jalan," ucap Rully singkat.
"Ta..." Adri menutup kembali mulutnya. Percuma dia menolak atau protes masalah dia masih mengenakan sandal hotel, Rully pasti tetap akan memaksanya untuk mengikuti keinginannya. Yang ada dia diomeli kalau nekat protes. Akhirnya Adri hanya bisa pasrah. Nasib jadi bawahan memang begitu rupanya.
---
Pantai Kuta terlihat cukup ramai pengunjung. Tentu saja, pantai ini adalah salah satu tempat yang wajib dikunjungi jika datang ke Bali. Sayang sekali karena terlalu banyaknya pengunjung, kebersihan pantai ini mulai tercemar. Tidak seindah pantai Kuta yang dulu.
Adri berkali-kali berhenti melangkah karena kakinya dimasuki pasir. Bayangkan saja apa rasanya memakai sandal hotel yang tipis di atas pasir?
Rully yang malam itu belum bercukur tengah dengan damainya menikmati angin pantai yang menerpa tubuhnya. Mengibarkan helaian rambut cokelat pendeknya. Terlihat sangat memikat dan super sexy dengan janggut halus menghiasi dagu dan rahangnya. Sepertinya Rully sedang sangat menikmati sedikit waktu luangnya untuk menjauhkan diri dari kesibukannya sebagai penanggung jawab utama PT. Royal Cendana.
Rully menghentikan langkahnya ketika dia merasakan Adri sudah tidak lagi berada disampingnya. Rully mulai menoleh ke belakang dan dia mendapati Adri tengah berjalan ke arah pantai. Deburan kencang suara ombak membuat dia tidak mendengar jika ternyata Adri sedang berteriak.
Dahi Rully mengernyit ketika sepintas dia dapat mendengar suara Adri berteriak, meminta tolong. Dengan sigap, lelaki itu berlari ke tempat Adri berada, tidak memerdulikan celananya yang mulai basah diterjang ombak. Pekat malam membuat keduanya tidak lantas menjadi sorotan orang-orang. Mungkin karena orang-orang berfikir mereka merupakan segelintir orang yang mau main ombak di malam hari.
"Adrianni, kamu nggak apa-apa?" tanya Rully ketika sudah berdiri disisi Adri.
Gadis itu terlihat memamerkan wajah sedih dan memelas. Kepalanya menggeleng-geleng dan tangannya menunjuk ke arah lautan lepas.
Rully mencengkram bahu Adri, mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Adri masih menunjuk-nunjuk ke arah laut dengan pandangan yang sama-memelas-. Rully menatap ke arah yang ditunjuk Adri. "Hey, Adrianni, kamu jangan bikin panik. Ada apa?" tanya Rully setelah menatap ke arah laut lepas dan tidak melihat apapun.
"Sendal saya hanyut, Pak...." lirih Adri sambil menatap sedih kearah lautan. Rully sweatdrop. Namun dia tidak tahan untuk tidak tertawa. "pffftt.....bwahahahahahaahahha!!!" akhirnya tawa Rully meledak.
Adri mengerucutkan bibirnya tidak senang.
"Sendal? AHAHAHAHAHAHAHA" Rully memegangi perutnya yang terasa sakit. "Ihhh! Pak Rully, jangan ketawa!" seru Adri tidak senang. Dia merasa seperti orang bodoh saat ini.
Adri memilih berjalan kembali ke pinggir pantai, meninggalkan Rully yang masih tertawa dengan lebarnya di pinggir pantai dengan seperempat kakinya terendam air. Ketawa terus lo sana! Gue sumpahin anyut lo kebawa ombak!
Rully menghentikan tawanya lalu menyeka matanya yang mulai berair. "Oy, Adrianni! Tunggu saya!" Rully mulai mengejar Adri yang kini berjalan menyusuri pantai tanpa alas kaki lengkap dengan bajunya yang basah.
Rully berusaha menyamakan langkahnya dengan langkah Adri yang cepat. "Adrianni!"
Adri terus berjalan tanpa menghiraukan Rully yang terus mengikutinya. Bibirnya terus-terusan bergumam mengucapkan sumpah serapah pada bosnya itu.
"Adrianni! Ayolah... ini lucu! Kamu kayaknya bisa gabung sama tim pelawak di acara..aduh saya lupa namanya, oh! Itu lho, OVJ! Iya, kamu bakat banget abisnya! Hahaha."
Adri menghentikan langkahnya ketika mendengar kalimat yang bosnya lontarkan. Dia menatap tajam ke arah Rully.
"IHH!! DIEM AH, PAK!!" bentaknya tidak suka lalu dia segera menutup mulutnya ketika sadar siapa yang tengah dia bentak.
Rully terdiam mendengar bentakan Adri namun tidak berapa lama dia kembali tertawa, bahkan dia tidak marah ketika Adri membentaknya.
Adri mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Rahangnya mengeras. "Ihhh!n Bodo amat ah, terserah bapak aja!" Adri segera berlalu dari hadapan Rully meninggalkan bosnya yang masih menertawainya. Bahkan dia tidak peduli jika dia tengah berjalan bertelanjang kaki.
Kekesalan Adri membuat gadis itu tidak menyadari jika ada cangkang-cangkang kecil diantara pasir yang dilaluinya.
Trak...
"Aduhh!!!" Adri terjatuh ketika sesuatu menusuk kakinya. Gadis itu meringis, memegangi kakinya yang terasa sakit.
"Adrianni!" Rully yang menyadari Adri terjatuh segera berhenti tertawa dan menghampiri sekretarisnya tersebut.