6. Party Invitation

1088 Kata
"Dosa apa hamba-Mu ini ya Allah hingga kau mempertemukan aku dengan manusia semacam Ruliano itu?" gumamnya kecil.   Adri akhirnya bisa bernafas lega karena ternyata semua makanan yang dipesannya sudah dibayari oleh Rully. Meskipun Rully hanya mengerjainya tetapi rasa kesal Adri justru semakin bertambah besar.   Adri tersentak ketika mendapati Rully sudah berada di lorong kamar hotelnya. Kebetulan kamar hotel mereka memang berdekatan. Adri tersenyum kikuk. Ngapain juga ini orang diri di sini? Pengen ngeliat muka gue yang abis dikerjain dia pasti.   "Pak Rully, kenapa bapak ada di sini? Bapak nyari saya?" tanya Adri basa-basi. Ya jelaslah kalau Rully diri di sini untuk mencarinya, Rully pasti ingin menyuruh-nyuruh Adri lagi seperti biasanya.   "Malem ini kamu istirahat aja, saya tau kamu capek begitupun saya."   "Hah? Tap—tapi presentasinya, Pak? Apa nggak apa-apa?" tanya Adri bingung.   Rully mengangguk lalu membiarkan Adri kembali ke kamarnya. Mau tidak mau Adri akhirnya berjalan ke arah kamarnya, namun ketika mereka berdua tepat bersisian, Rully memegang lengan Adri membuat gadis itu seketika kaku.   "Selamat istirahat, Adrianni," bisik Rully lembut lalu dengan segera melepaskan tangannya dan berjalan meninggalkan Adri yang masih membeku di koridor hotel dengan kedua mata yang berkedip-kedip polos.   "Wah, ini orang pasti beneran keracunan omelete. Kayaknya gue harus komplain sama manager hotelnya." Adri memegangi lengannya yang baru saja dipegang Rully. "Laki-laki aneh," gumamnya,lalu ia menghilang dibalik pintu kamar hotel.   ---   "selamat Ruliano... akhirnya PT. Royal berhasil juga membangun sebuah hotel di Bali," ucap seorang pria bersetelan jas konservatif lengkap dengan sepatu yang sudah disemir mengkilap.   Rully tertawa renyah dengan tangannya yang masih dijabat erat oleh pria berusia sekitar empat puluh dihadapannya. "Iya Pak, terima kasih banyak. Ini juga berkat bantuan anda. Saya tidak menyangka kalau warga-warga di sini akhirnya mempercayai tanahnya untuk dikelola perusahaan kami."   Pria berumur itu tertawa ramah sambil menepuk-nepuk bahu Rully layaknya mereka sudah sangat akrab. "Sejak jabatan direktur utama ada ditangan kamu, PT. Royal semakin berkembang pesat. Lihat saja berapa banyak proyek yang sudah berhasil dijalankan PT. Royal dibawah pimpinan kamu, wajar saja beliau terus membangga-banggakan kamu."   "Maaf, beliau siapa yang anda maksud?"   Pria itu kembali tertawa sedangkan Rully sudah menghentikan tawanya sejak tadi. "Ayah kamu lah Rul, diantara jajaran pebisnis lain, beliau adalah orang yang memiliki anak paling sukses meneruskan karir ayahnya, bahkan sebelum kamu bener-bener jadi direktur utama, nama kamu udah terkenal diantara jajaran kami."   Rully hanya beroh ria ketika mendengar penjelasan pria dihadapannya. Tidak terkesan ataupun merasa bangga sama sekali. Justru dia merasa keberhasilannya kali ini jadi tidak menarik lagi. Semua karena ayahnya.   Rully pamit setelah mengakhiri perbincangan kecilnya dengan pria bernama Thomas Lazuardi tersebut. Lalu Rully menghampiri Adri yang tengah bersandar pada dinding di luar ruangan presentasi sambil mendekap beberapa map di dadanya. Rully tersenyum kecil dan segera mendekati sekretarisnya tersebut. Dahi Rullu mengernyit setelah menatap secara dekat gadis jangkung yang masih memakai dengan lengkap pakaian kerjanya.   "How could she sleep while standing like this?" Rully menatapi Adri dengan lekat. Bagaimana mungkin bisa gadis ini tertidur dalam posisi berdiri dengan high heels berukuran 13 centi masih melekat erat dikakinya.   "Adri."   Hening.   "Adrianni."   Masih hening.   "Adrianni, bangun."   Tidak ada pergerakan.   "Adrianni Hanggita!!!"   Duk.   "Aduhh!!" Adri memegangi kepalanya yang terbentur dinding dan tanpa sengaja menjatuhkan map-map dalam dekapannya. Adri bergerak panik sambil masih memegangi kepalanya yang terasa nyeri. Bibirnya tak bisa berhenti mengucapkan kata 'b**o' berkali-kali pada dirinya sendiri.   "Ma—maaf pak, saya...saya ketiduran!" Adri membungkuk memohon maaf lalu segera berjongkok untuk membereskan map-map yang berserakan.   Rully ikut berjongkok untuk memunguti map-map itu. "Iya, saya tau kamu lelah, maaf bikin kamu nunggu terlalu lama," ucap Rully dengan nada bersalah, Adri meringis kecil.   "I—iya pak nggak apa-apa, itukan emang tugas saya," ucap Adri sambil tersenyum. Lalu mereka berjalan menuju lift untuk kembali ke kamar dan beristirahat.   "Anda sudah berjuang keras, Pak!" ucap Adri ketika dia dan Rully sudah berada didepan pintu kamar masing-masing yang letaknya bersebelahan.   Rully tersenyum tipis menanggapi ucapan Adri lalu lelaki itu menganggukkan kepalanya dan masuk lebih dulu.   "Terkadang senyumannya itu manis juga..."   "Adrianni!"   Adri terkejut ketika tiba-tiba kepala Rully kembali menyembul dipintu kamarnya. Adri bahkan mundur selangkah saking terkejutnya dengan kemunculan bosnya tersebut. Adri khawatir jika bosnya itu mendengar apa yang baru saja dikatakannya "Ahh, i—iya pak, ada apa?"   "Enggak ada apa-apa sebenernya, saya hanya eum—nanti malam ada pesta yang diselenggarain di aula hotel. Kamu mau nemenin saya?" Meskipun wajah Rully terlihat tenang dan datar, tetapi tidak ada yang tau jika d**a Rully tengah bergemuruh kencang.   "Hah? Ah, iya pak." Rully mengangguk dan memasang ekspresi datarnya. "Oke kalo gitu, selamat istirahat. Kalau kamu mau makan pesen aja lewat layanan kamar."   Adri mengangguk lalu segera berbalik badan untuk membuka pintu kamar hotelnya. "Pesen aja? Nanti lo ngerjain gue lagi kayak waktu itu!" cibir Adri tanpa sadar Rully masih bisa mendengarnya dengan jelas   "Adrianni!" tegur Rully membuat Adri tersentak   "Ah iya, Pak! Maafin saya."   Blam. Pintu tertutup rapat dan Adri memandanginya dengan senyum mengembang. Sepertinya perjalanannya ke Bali dengan si bos tidak terlalu buruk juga.   ---   Rully tengah menunggu Adri sambil bersandar di koridor hotel. Koridor begitu sepi, hanya ada bunyi deru mesin pendingin dan detikkan jam tangan rolexnyalah yang menemaninya. Rully sudah siap dengan kemeja dan tuxedonya. Bahkan ia tak pernah kepikiran untuk membawa tuxedo berwarna krem itu kalau saja Adri tidak menyiapkannya. Tak beberapa lama Adri keluar dari kamarnya dengan sedikit terburu-buru.   Sedetik. Dua detik. Tiga detik.   Kedua mata hazel itu bertemu untuk beberapa detik. Namun pemilik mata hazel yang lebih tajam lebih dulu mengalihkan pandangannya seakan tidak kuat lebih lama menatap mata hazel yang jauh lebih jernih di depannya.   "Cantik..." bibir Rully bergumam kecil namun Adri dapat sedikit mendengarnya   "Apa, Pak?" tanya Adri meminta penjelasan.   Rully mengatupkan bibirnya, ekspresinya berubah seperti biasa. Datar.   "Kenapa semua wanita itu kalau dandan harus lama? Kamu kan tau kalau saya bosnya, tapi di sini saya yang malahan nungguin kamu selama dua puluh lima menit di sini."   Adri menganga tak percaya. Dia berani bersumpah jika bukan itu yang tadi didengarnya. Adri tak ambil pusing dan memilih mengikuti Rully yang sudah berjalan meninggalkannya.   "Dih apaansih, perasaan tadi bukan ngomong itu deh. Dasar gendut," rutuknya kecil sambil melangkahkan kakinya dengan malas dibelakang Rully.   "Siapa yang kamu maksud gendut, Adrianni?"   Adri menghentikan langkahnya dan menatap Rully dengan ekspresi salah tingkah. Adri sudah layaknya maling yang tertangkap basah. Namun dengan cepat Adri merubah ekspresi wajahnya menjadi ekspresi tidak tau apa-apa. "Enggak kok Pak, saya lagi ngomong sendiri."   Rully melanjutkan kembali langkahnya namun kali ini sejajar dengan Adri. "Lain kali kalau mau ngomongin orang lain, pastiin orang yang kamu omongin itu nggak denger. Kamu tau kalau suara kamu itu bervolume besar?"   "Hah?!!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN