Tak kusangka sama sekali, Mas Gala malah mengajakku ke Pantai Parangtritis. Cukup jauh, karena kami butuh waktu nyaris satu jam untuk ke sana.
Pantai tampak sepi karena hari ini bukan weekend. Namun, tetap saja, sesepi-sepinya Pantai Parangtritis pasti ada saja manusianya.
“Aku beneran enggak expect diajak sampai sejauh ini,” ujarku tepat setelah aku dan Mas Gala menginjak area pantai.
“DI Jogja, aku nyaris enggak punya teman. Teman dalam arti, yang masih bisa kuajak keluar dengan bebas.”
“Kalau masih pakai kata nyaris, berarti masih ada, dong, Mas?”
“Ya memang, tapi sangat terbatas. Rata-rata, mereka orang sibuk. Jangankan diajak ke sini, diajak ketemu untuk sekadar ngopi aja susah.”
“Ah, paham.” Aku manggut-manggut. “Mentang-mentang aku pengangguran, jadi pasti mau.”
Mas Gala tertawa pelan, dan itu membuat darahku berdesir.
Apa sudah saatnya aku jujur tentang apa yang selama ini kusembunyikan? Aku agak malu mengatakannya, tetapi kurasa aku harus mengakui ini.
Jadi, sebetulnya aku memiliki perasaan yang cukup mendalam pada Mas Gala. Perasaan itu sudah ada sejak lama, tepatnya sejak aku masih koas di stase bedah.
Aku pernah menyinggung kalau stase bedah adalah stase yang paling membekas. Itu karena di sana aku bertemu Mas Gala untuk pertama kali. Tidak hanya bertemu, kami juga kenalan dan menjadi ‘cukup’ dekat. Hanya cukup, karena memang belum sedekat itu.
Dulu aku sering ngebanyol kalau aku suka Dokter Arga— dokter pembimbingku yang kini menjadi suami Risa. Itu suka betulan, tetapi suka dalam arti hanya kagum karena dia tampan dan kompeten. Pokoknya keren.
Saat aku berinteraksi dengan asistennya, aku juga suka. Akan tetapi, aku merasa perasaan suka yang timbul itu berbeda. Aku tak pernah merasa sesenang itu dekat dengan lawan jenis.
Meski begitu, aku tidak pernah sedikit pun menunjukkanya. Selain malu dan gengsi, aku juga sadar kalau aku harus menyelesaikan kewajibanku dulu alih-alih memikirkan tentang percintaan.
Menjelang selesai koas, aku keburu dikenalkan dengan Mas Rendra. Mas Gala pun katanya punya kekasih, makanya dulu aku tidak lagi berharap apa-apa pada perasaan ini.
“Sorry, ya, Ma. Karena ini bukan kali pertama kita enggak sengaja ketemu saat sama-sama gabut, jadi aku rasa kamu enggak keberatan.”
“Aman, kok, Mas. Santai aja.”
“Maaf, ada daun di rambutmu.” Aku berdesir lagi ketika Mas Gala mengusap kepalaku pelan. “Ini pasti daun dari pohon yang ada di parkiran itu.”
“I-iya, kayaknya.”
Sejujurnya, aku tidak pernah merasakan desiran seperti ini ketika bersama Mas Rendra. Baik itu dulu maupun sekarang, bahkan setelah kami hampir menikah sekalipun— saat-saat aku merasa mulai menyukainya. Aku menikah dengannya dulu karena murni didasarkan pada rasa realistis.
Mas Rendra cukup tampan, punya pekerjaan mapan, dan ‘kelihatannya’ bertanggung jawab. Eh, tak tahunya, aku tertipu. Cukup dengan poin ketiga, keseluruhan hidupku jadi hancur lebur.
“Kamu berapa kali ke pantai ini, Ma?” tanya Mas Gala saat kami sama-sama duduk di pasir beralaskan sandal.
“Baru tiga kali ini.”
“Kapan aja, itu?”
“Pertama, saat SD. Itu study tour sekolah. Aku, kan, SD di Temanggung. Kedua, saat SMP, itu lagi liburan ke rumah Yangkung dan Yangti di Jogja— alias rumah yang sekarang aku tempati. Nah, saat itu aku diajak ke sini. Dan ketiga, sekarang ini.”
“Udah lama banget, berarti?”
“Yes!”
“Sejujurnya, aku agak kaget waktu Risa menyinggung kamu pindah ke Jogja. Kok bisa tiba-tiba banget? Ternyata, ibumu asli orang sini.”
“Ya, begitulah. Masa depan enggak ada yang tahu.”
“Kenapa pindah, Ma?” Mas Gala menoleh.
Saat aku ikut menoleh, aku hanya kuat dua detik. Sungguh, saat ini jantungku seperti mau melompat keluar.
“Kalau pertanyaanku agak privasi, jangan dijawab,” lanjut Mas Gala.
“Enggak privasi-privasi amat, sih. Cuma bukan hal baik aja.”
“Jangan cerita kalau enggak berkenan.”
“Berkenan, kok.”
Mas Gala tersenyum. “Kalau gitu, aku dengerin.”
“Jadi … singkatnya, orang tuaku ketipu. Banyak, Mas, sampai miliaran. Usaha orang tuaku nyaris bangkrut, dan kami memulai lagi di sini. Kalau lanjut di Jakarta, biaya operasional udah enggak nutup. Karena di saat yang sama, entah kenapa pelanggan tiba-tiba pada kabur. Padahal, aku merasa usaha orang tuaku enggak ada perubahan ke arah yang buruk. Ya … mungkin aja kalah saing.”
“Yang di sini gimana?”
“Mulai banyak pelanggan. Meski belum sama kaya dulu, tapi lumayanlah. Seenggaknya, urusan domestik dan serentetan yang basic bisa ter-cover.”
“Baguslah kalau gitu.”
“Jadi curhat, deh!”
“Aku yang nanya. Makasih karena udah mau berbagi.”
“Ey! Kenapa aku merasa Mas Gala jadi sedikit melankolis?”
“Efek ditinggal selingkuh, kali.”
“Aduh! Berasa jadi pelarian, gueeeh!”
Mas Gala tertawa. “Enggak, Ma, enggak. Bercanda aja.”
“Jadi sad ending-nya karena dia selingkuh, Mas?”
Mas Gala mengangguk. “Bunga dan selempang yang kamu pesan bahkan enggak jadi kukasih.”
“Oh, ya?”
“Dia mungkin mikirnya aku enggak akan datang. Ternyata, dia udah bawa gandengan. Dulu dia enggak pernah mau ngenalin aku ke keluarganya, tapi yang ini malah udah dekat aja sama keluarganya. Artinya, selama ini aku pacaran sendirian. Iya, kan?”
“Kenapa, ya, orang-orang punya energi buat selingkuh? Aku buat makan aja kadang males.”
“Entah. Hanya mereka yang tahu.”
“Besok semoga diganti sama yang lebih baik, Mas.”
“Aamiin. Ya, sekalipun aku lagi enggak minat buat jalin hubungan.”
“Wajar. Namanya trauma.”
Mas Gala tiba-tiba berdiri dan menjauh dariku. Dia pergi tanpa sepatah kata pun. Aku sendiri tetap di posisiku, mengamatinya dari jauh.
Orang sebaik ini, sehangat ini, kenapa masih diselingkuhi? Sebenarnya apa yang dikejar ceweknya?
Di kehidupan sebelumnya, aku benar-benar tidak tahu kalau Mas Gala diselingkuhi. Sudah kubilang, banyak hal yang berubah. Aku hanya tahu kalau dia putus. Karena kalau tidak, tidak mungkin dia tiba-tiba mengajakku menikah. Mana tanpa memberi alasan yang cukup jelas pula.
Saat itu dia hanya berjanji, jika aku mau menikah dengannya, dia akan menjamin hidupku tidak akan pernah mengalami yang namanya pengkhianatan. Ya, mungkin inilah alasan sesungguhnya. Sekarang aku jadi paham.
“Apa di kehidupan yang sekarang ini, dia tetap akan mengajakku menikah? Apakah hasilnya akan tetap sama, atau malah berubah total karena aku terlalu banyak mengubah alur?” Aku menunduk, lalu menghela napas panjang. “Udahlah, jalani aja. Ubah yang perlu diubah, sisanya biar jadi urusan yang punya hidup.”
“Ma, sini, Ma!” aku tersentak ketika mendengar teriakan Mas Gala. Dia kini sedang melambaikan tangan, mengisyaratkan agar aku mendekat. “Cepet, sini!”
“Ada apa?”
“Makanya sini!”
Aku bangkit, lalu berlari menyusul Mas Gala. “Kenapa, Mas?”
“Mau teriak sama-sama atau enggak?”
“He? Teriak?”
“Iya, teriak. Lepasin beban apa pun. Toh suara kita akan tetap kalah sama deburan ombak.”
“Oke! Ayo, kita adu kekuatan suara.”
“Aku hitung sampai tiga. Satu, dua, tiga ….”
AAAAAAA!
Aku dan Mas Gala berteriak sekeras yang kami bisa. Tidak hanya sekali, tetapi sampai berulang kali.
“Lega?” tanya Mas Gala kemudian.
“Enggak nyangka, lega banget ternyata. Di rumah sakit cenderung jaga suara soalnya. Bisanya cuma semi bisik-bisik.”
“Makanya kuajak kamu buat teriak bareng.”
“Ya udah, Mas. Ayo ke sana lagi. Celanaku udah basah.”
Baru saja aku hendak melangkah, kakiku malah seperti ketarik pasir dan susah diangkat. Alhasil, aku jatuh terjerembab. Di saat yang sama, tiba-tiba ada ombak cukup besar datang dan menyerangku.
“Y-yah, yaaaah!”
“Salma!”
Mas Gala berhasil menarikku, tetapi hanya separuh badan. Alhasil, bajuku tetap kena air dan pasir. Karena bajuku warna biru terang dan pasir Pantai Parantritis itu hitam, kini bajuku tampak kotor.
“Maaf, Ma. Aku telat sadar kamu jatuh.”
“Enggak papa. Santai aja. Barusan aku terjerembab gara-gara kakiku masuk pasir terlalu dalam.”
“Kadang emang gitu. Aku juga pernah. Bedanya enggak bareng ombak gede aja.”
Mas Gala tiba-tiba melepas kemejanya, menyisakan kaos putih polos. Detik berikutnya, dia menutupi badanku dengan kemeja itu.
“Pakai ini buat nutupin.”
“A-ah! Makasih.”
Aku buru-buru mengangkat kaki, sementara Mas Gala melengos. Aku baru sadar kalau braku kelihatan karena baju biru terang jika terkena air akan transparan. Mana kainnya cukup tipis. Belum lagi, braku warna hitam. Jelas semakin kontras.
Setelah kakiku tidak terjebak dalam pasir, aku berlari menjauh. Aku juga buru-buru mengancingkan kemeja Mas Gala agar menutupi seluruh badanku. Kemejanya warna navi, jadi aman sekalipun ikut basah.
Berselang beberapa detik, Mas Gala menyusulku. “Sorry, Ma. Bajumu jadi sebasah ini.”
“Enggak papa, loh. Anggap aja, semi musibah. Bukan salah Mas Gala juga. Aku yang kurang hati-hati.”
“Ayo, aku beliin baju di depan situ.”
“Enggak usah—”
“Enggak papa. Daripada kamu masuk angin.”
“Hm … oke. Tapi nanti aja. Soalnya dah terlanjur di sini. Perjalanan, kan, lumayan jauh. Masa mau udahan? Udah belasan tahun, nih, aku enggak ke sini.”
“Kan masih bisa lain kali. Penting sekarang kamu mandi dan ganti baju dulu.”
“Sayang, tahu, Mas.”
“Lain kali kuajak ke sini lagi.”
“Lain kali?”
“Enggak mau?”
“Tergantung situasi dan kondisi.”
“Sekarang pokoknya kamu ke sana dulu.”
“Iya, deh.”
Mas Gala meraih sandalnya, pun aku meraih sandalku. Dia mengajakku ke sebuah toko pakaian pinggir pantai.
“Pilih yang kamu butuhkan. Jangan ragu-ragu.”
“O-oke.”
“Bu, tolong catat yang dia ambil, ya. Biar saya yang bayar,” ucap Mas Gala pada penjual.
“Oke, Mas.”
Untuk sesaat, aku mengambil apa-apa yang kubutuhkan. Termasuk dalaman baru. Seadanya saja, asal ganti. Nanti di rumah bisa ganti lagi.
“Sekalian numpang mandi, ya, Bu.”
“Boleh, Mbak. Di samping, ya.”
“Oke.”
Butuh kisaran lima belas menit sampai aku keluar dengan baju bersih. Mas Gala langsung tersenyum begitu melihatku.
“Kenapa kamu pilih kaos yang sebesar itu, Ma?”
“Aku suka motifnya. Lumayan, bisa buat tidur.”
“Memang bagus, sih. Motifnya enggak mainstream.”
“Makasih, Mas.”
“Bukan apa-apa.”
Akhirnya, aku dan Mas Gala menyudahi acara main di pantai— yang tak seberapa lama ini. Inginku sebenarnya lebih lama, tetapi memang keadaan kurang memungkinkan.
Ya, semoga saja benar ada lain kali. Hehe!
Aku melirik jam, ternyata sudah sore— hampir pukul empat. Tadi saat kami berangkat, itu masih pukul dua lebih beberapa menit.
“Oh iya, Mas. Ini kemejanya aku cuci dulu—”
“Enggak usah.” Mas Gala berhenti jalan, aku pun ikut berhenti. “Bawa sini. Enggak usah dicuci.”
“Enggak, enggak. Tadi kotor kena air laut sama pasir.”
“Ya udah, ambil aja. Kemejanya buat kamu.”
“Lah! Enggak mau.”
“Kalau gitu, pilih. Ambil aja, atau enggak usah dicuci?”
“Mas Gala takut banget aku nyamperin ke rumah, kayaknya?” mataku sengaja memicing. “Iya?”
“Bukan, bukan itu.”
“Nanti aku paketin, kok.”
“Justru itu.”
“Nah, enggak mau ketahuan rumahnya di mana, kan?”
Mas Gala berdehem pelan. “Bukan gitu juga. Udah, bawa sini aja bajunya.”
“Enggak, pokoknya aku cuci dulu. Aku balikin lain kali kalau udah bersih. Kalau masih maksa juga, artinya Mas Gala jangan pernah hubungi aku lagi kalau butuh apa-apa.”
“Kenapa ancamanmu seekstrem itu, Ma?”
“Minimal, kalau mau berteman, jangan terlalu misterius. Apalagi sekadar tempat tinggal.”
“Apa maksud kamu ngomong gitu?”
Aku menarik napas panjang, lalu mendongak. Kini kutatap mata Mas Gala lurus-lurus. “Pantas saja waktu pertama kali dengar nama Rakyandanu itu enggak asing. Setelah aku cari tahu, nama asli Sultan Jayaningrat IX itu Jagad Pranandanu, adik beliau Alam Rakyandanu. Itu artinya … Janggala Rakyandanu adalah ponakan Sultan. Bener, Mas?”
***