“Itu artinya … Janggala Rakyandanu adalah ponakan Sultan. Bener, Mas?”
Alih-alih menjawab, Mas Gala malah langsung pergi meninggalkanku. Aku sendiri segera berlari menyusulnya.
“Mas! Mas Gala! Kok malah ninggalin, sih?”
“Karena udah tahu, jangan pernah bahas itu lagi. Kamu jangan bahas juga hal ini ke teman-temanmu—”
“Mita udah tahu.”
Mas Gala berhenti. “Kamu serius?”
“Seriuslah. Eh, ya enggak sedetail ini, sih.”
“Sedetail apa yang dia tahu?”
“Dia tahu soal Mas anak petinggi rumah sakit aja, kayaknya. Nah, detailnya, aku cari tahu sendiri.” Aku meringis. “Maaf, Mas. Enggak bermaksud gimana-gimana.”
“Mita pasti tahu dari kakaknya.”
“Memang iya. Lagian, kenapa Mas Gala takut banget orang luar tahu? Malah bagian jadi keluarga keraton itu privilege yang luar biasa, loh. Enggak semua orang bisa. Bahkan mungkin banyak yang iri. Minimal, enggak akan ada yang berani menindas.”
“Kamu boleh bilang enak kalau hanya melihat dari sisi itunya aja. Tapi akan lain lagi sampai kamu merasakan kalau kemampuanmu akan selalu didiskreditkan. Kemampuanmu akan selalu ada dalam bayang-bayang nama besar orang lain. Sedikit-sedikit, ada tuduhan nepotisme. Kamu enggak tahu rasanya itu, kan?”
Aku tertegun.
“Rata-rata orang hanya menilai dari sudut pandanganya sendiri. Kalau kamu pernah tinggal di Temanggung, harusnya kamu tahu apa itu sawang-sinawang.”
Aku mengangguk. “Iya, tahu. Setiap orang punya kesulitan masing-masing.”
“Karena kamu udah tahu siapa aku, oke, sekalian aku akan ngomong tanpa filter.” Mas Gala menjeda kalimatnya sejenak. “Ma … ayahku mampu banget kalau cuma biayain kuliahku sampai selesai spesialis. Uang beliau sisa-sisa. Tapi kenapa aku harus repot-repot cari beasiswa? Aku rela begadang dan menyiapkan semuanya agar bisa lolos beasiswa itu. Beasiswa paling transparan sekaligus paling sulit ditembus. Bahkan anak presiden sekalipun kalau enggak memenuhi kualifikasi, enggak akan diterima. Kamu kira kenapa aku harus begitu di saat aku bisa tinggal kuliah dengan tenang tanpa mikirin yang lain?”
Aku terdiam. Aku mendadak merasa Mas Gala agak menakutkan kalau sedang mode serius begini. Pasalnya, selama aku mengenalnya, dia cenderung santai dan ramah— bahkan hangat.
“Tebak aja, Ma.”
“M-maaf, Mas. Aku enggak mikir jauh.”
“Pernah sekali aku memenangkan Olimpiade Biologi. Yang ngadain itu kementrian. Aku ikut tanpa Ayah tahu. Ibuku pun enggak kukasih tahu. Dan akhirnya, aku bisa juara satu. Kamu tahu? Di laman pengumuman yang dipajang di aplikasi i********: kementrian, ada komentar kurang lebih begini … oh, yang menang ‘si itu’. Nepo baby. Gimana perasaanmu?”
Aku kembali terdiam.
“Ayah enggak senganggur itu buat lobi penyelenggara biar anak beliau dimenangin. Tapi selalu saja ada orang-orang yang meragukan kemampuanku. Selagi aku di Jogja, namaku selalu dalam bayang-bayang Ayah dan Pakde. Itu enggak enak banget, Ma. Serius.”
“A-aku paham, Mas.”
“Aku tetap bersyukur, kok, lahir dari keluarga yang seperti sekarang ini. Kamu benar, itu privilege. Tapi ada risiko yang harus aku tanggung. Ya, contonya seperti yang barusan aku bilang. Akan selalu ada celetukan-celetukan yang meremehkan kemampuanku dan menganggap aku terus berlindung di ketiak ayahku.”
“Tapi Mas Gala enggak bisa mengendalikan orang lain—”
“Justru itu. Karena aku enggak bisa mengendalikan mereka, maka aku bisanya membuktikan diri lewat kemampuanku. Aku enggak perlu balas satu-satu omongan mereka. Tapi aku juga enggak bisa kalau diam aja. Soalnya aku enggak mau kalau namaku dan ayahku terus diinjak-injak. Ayah itu orang terprofesional yang pernah aku kenal. Penghinaan banget kalau beliau dituduh jadi tukang lobi demi menyenangkan anak.”
“Iya, Mas. Aku paham sekarang.”
“Aku jadi ngomong banyak banget. Sorry, Ma. Aku mudah ke-trigger soal ini.”
“Enggak papa, Mas. Jangan minta maaf. Aku ngerti.”
“Kalau kamu beneran ngerti, jangan bahas apa pun background-ku ke teman-teman yang ada di Jakarta. Ya, sekalipun sebenarnya banyak yang udah tahu.”
“O-oke.”
“Kenapa kamu jadi terbata gitu?”
Aku langsung cemberut. “Ya soalnya barusan Mas Gala nakutin.”
“Nakutin?”
“Mode seriusnya baru pertama kali kulihat. Dulu waktu aku sama temen-temen bikin onar aja, Mas Gala selalu ramah dan malah ngasih semangat biar Dokter Arga enggak marah lagi. Barusan aku beneran kaya dimarahin.”
Mas Gala berdehem pelan. “Maaf, aku enggak bermaksud memarahimu.”
“Sebenarnya Mas enggak bisa dibilang marah. Cuma akunya aja yang berasa dimarahin. Ini dua hal yang berbeda.”
“Iya. Tapi tetap aja, aku minta maaf.”
Aku buru-buru menggeleng. “Jangan minta maaf, ih. I’m ok.”
“Ya udah, ayo ke mobil. Aku antar kamu pulang—”
“Ke supermarket, Mas. Motorku harus diambil.”
Mas Gala tersenyum, lalu mengangguk.
“Iya, maksudku ke sana.”
Kubiarkan Mas Gala jalan lebih dulu. Kini kutatap punggungnya yang perlahan menjauh. “Dia bahkan enggak meninggikan suara, tapi tiap katanya nancap ke ulu hati. Kok bisa, sih?”
***
“Ma, bangun, Ma. Salma ….”
Senggolan pelan di lenganku membuatku terbangun. Aku langsung melebarkan mata begitu sadar kalau aku telah ketiduran.
Aku segera menegakkan badan, kemudian menoleh. Mas Gala sedang mengulum senyum.
“Ya Allah, Mas! Maaf banget, malah tidur!” aku menggosok-gosok telapak tangan di depannya. “Aku enggak sengaja, sumpah. Kayaknya gara-gara habis mandi, jadi badan enakan. Malah ketiduran, deh.”
“Santai aja, lagi. Enggak papa. Tadi saat kita ngobrol, tahu-tahu kamu udah enggak nyaut.”
Aku langsung meringis. “Sumpah, enggak sadar. Maaf banget!”
“Udah, enggak papa. Ini udah sampai.”
Aku menatap luar jendela, ternyata benar. Kini aku dan Mas Gala sudah berada di dekat supermaket.
Sumpah demi apa pun, aku tak sadar kalau aku ketiduran. Mas Gala benar, tadi kami sempat ngobrol saat mobil keluar area pantai. Dan aku tidak tahu kapan aku mulai tak sadarkan diri.
“Kalau gitu, aku keluar dulu, Mas—”
“Tunggu, Ma!”
“Kenapa?”
“Kamu enggak akan nabrak orang, kan?”
“Enggak, kok. Ini udah enggak ngantuk lagi. Udah sadar seribu persen.”
“Oke.”
Mas Gala akhirnya turun. Aku pun buru-buru mengikutinya. Dia membuka bagasi dan mengambilkan belanjaanku.
“Makasih banyak, Ma, udah nemenin. Sorry banget, ya, jadi ganggu waktumu.”
“Santa aja. Aku ini beneran pengangguran—”
“Ini buat kamu.” Mas Gala tiba-tiba mengulurkan sebuah paper bag berukuran agak besar.
“Loh! Apa ini, Mas?”
“Buka nanti aja kalau udah di rumah. Aku balik dulu. Soalnya Ibuku udah bolak-balik telepon.”
“Ah … o-oke, oke.”
“Sekali lagi makasih, Ma!”
“Sama-sama.”
“Kabarin kalau udah sampai rumah. Jangan nabrak orang!”
“Enggak akan.”
Mas Gala kembali naik mobil, dan mobilnya pun langsung pergi meninggalkanku. Aku sendiri bergegas menuju motor. Aku memang penasaran dengan apa yang Mas Gala berikan, tetapi aku lebih ingin cepat pulang.
Aku baru saja memakai helm ketika ponselku tiba-tiba berdering. Ternyata ada panggilan dari Ibu. Sudah ada enam missed call dari beliau.
“Hallo, Bu—”
“Kamu ini ke mana aja? Tadi pamitnya belanja bentar, kok, enggak pulang-pulang. Ibu telepon juga enggak diangkat-angkat.”
“Maaf, Bu. Tadi ketemu teman, terus lupa enggak cek hape. Kadang deringnya enggak kedengaran.”
“Buruan pulang. Udah mau magrib.”
“I-iya, iya. Ini pulang.”
Karena lokasi supermarket tidak terlalu jauh, hanya butuh sepuluh menit saja, aku sudah tiba di halaman rumah. Aku buru-buru parkir motor di garasi dan segera masuk.
“Assalamuaalaikum!”
“Waalaikum salam. Ke mana aja, kamu ini?”
“Kan aku udah bilang, Bu.” Aku nyengir. “Maaf, udah bikin Ibu khawatir.”
“Lain kali wajib ngabarin. Mau pulang telat atau apa pun itu. Biar Ibu enggak kepikiran.”
“I-iya, Bu. Maaf. Ini belanjaannya.”
“Oke— eh, itu apa?” Ibu menunjuk paper bag pemberian Mas Gala.
“O-oh, ini bawaan dari teman.”
“Apa, emangnya?”
“Enggak tahu. Ini baru mau aku buka. Aku ke kamar dulu, ya, Bu.”
“Ya.”
Aku buru-buru masuk kamar dan duduk di sofa. Aku sudah tak sabar ingin melihat isi paper bag yang Mas Gala berikan.
“Lah?” Paling atas, ada dua burger jumbo dan jus buah naga. Di bawah, ada bingkisan baju. “Mas Gala ini apa-apaan, coba!”
Aku segera mengambil ponsel hendak protes padanya, tetapi ternyata sudah ada pesan masuk darinya.
Mas Gala
Sorry, Ma.
Aku ngajak kamu main, tapi enggak ngajak makan.
Aku juga bikin bajumu basah kuyup dan kotor
Jangan nolak
Semoga kamu suka semuanya.
Aku tersenyum membacanya. Aku menatap burger, senyumku semakin lebar.
“Mas Gala tahu aku suka burger, atau dia beli makanan random yang kebetulan aku sukai?”
Berikutnya, kubuka bingkisan baju yang masih rapi. Ternyata, Mas Gala membelikan terusan panjang. Bayangkan saja dress sederhana, tetapi tampak elegan. Warnanya ivory.
“Wah, bajunya cantik banget.”
Akhirnya, kuambil lagi ponselku dan aku mengirim balasan pada Mas Gala.
‘Mas, aku udah sampai rumah. By the way, makasih banyak. Tapi ini terlalu repot. Jadi enak, deh. [sticker ketawa]’
Ternyata Mas Gala online. Dia pun langsung mengetik balasan.
Mas Gala
Sama-sama
Enggak nabrak orang, kan, Ma?
Aku langsung membalas lagi.
‘Aman. Aku, kan, pembalap. Dan soal baju, sebenarnya ini enggak perlu. Beneran terlalu repot.”
Mas Gala
Udah, jangan dibahas.
Kalau kamu suka, lain kali pakai.
Kalau enggak sesuai seleramu, kasih orang lain enggak papa
Lagi-lagi aku mengirim balasan.
‘Suka, kok. Pokoknya makasih.’
Mas Gala tak membalas lagi, tetapi memberi reaksi emotikon jempol di bubble chat terakhirku.
Entah kenapa, tiba-tiba saja aku ingin mencoba baju itu secara keseluruhan. Aku buru-buru melepas kaos yang kukenakan, lalu memakainya.
“W-wow, pas banget! Mana lebih cantik kalau dipakai langsung. Aaak, sukaaaa!”
Aku melompat ke ranjang, lalu mulai mendendang-nendang ke udara. Namun, sedetik kemudian aku tersadar. “Apa-apaan, aku ini! Kaya perasaannya terbalas aja!”
***