1. Benak yang Mengapung

1643 Kata
“Aku pasti lagi mimpi. Tapi kalau mimpi, kenapa bisa senyata ini? Atau tadi pagi itu justru yang sebenarnya mimpi? Argh! Pusing!” Aku menjedotkan kepala ke tembok. Pelan, tetapi berulang-ulang. Aku baru saja pulang dari rumah sakit untuk mandi dan ganti baju. Aku akan ke sana lagi agak siang, sekalian nanti menjemput Ayah. Itu juga kalau beliau sudah diperbolehkan pulang. Kalau belum, maka aku akan kembali menginap di sana. “Ah, anggap aja yang ngeri-ngeri itu cuma mimpi.” Aku meraba leherku, pipiku, juga lengan atas. Tidak ada yang sakit. Itu artinya, cekikan, tamparan, juga goresan, tidak benar-benar terjadi. “Iya, fix. Yang tadi pagi itu cuma mimpi.” Aku baru akan mengambil buah apel di kulkas ketika tiba-tiba ponselku berdering. Aku buru-buru mengeceknya. “Loh, Mas Rendra?” Aku segera mengangkatnya. “H-hallo, Mas?” “Ma, aku udah di rumah sakit. Kamar ayahmu di mana? Kenanga III, ya?” Mataku mendelik. Aku sangat familiar dengan obrolan ini. “Iya, Mas. Kenanga III.” “Oke, aku akan ke sana. Aku bawain—” “Buah dan madu?” potongku refleks. “Lho! Kok kamu tahu?” “A-aku nebak aja.” “Iya, aku bawain buah dan madu. Madunya dari—” “Kediri?” “Salma! Kok kamu bisa nebak itu?” terdengar nada heran di seberang sana. “E-eee … itu, Mas. Aku pernah punya teman dari Kediri. Kalau bawain oleh-oleh, seringnya bawa madu. Soalnya di sana ada semacam penangkaran madu gitu. Gede banget skalanya.” “Iya, bener. Aku dibawain lima botol, dan satu kubawain buat Ayahmu.” “Oke. Makasih, Mas.” “Kamu enggak di rumah sakit?” “Baru aja pulang. Nanti ke sana lagi.” “Atau aku nunggu kamu aja?” “Enggak, enggak usah. Mas Rendra duluan aja. Aku masih lama. Pokoknya makasih banyak, Mas.” “Ya, sama-sama.” Begitu panggilan terputus, aku langsung terduduk di sofa. Aku memejamkan mata, mengingat apa saja yang ada di dalam mimpiku tadi. “Mana ada orang mimpi ingat sampai sedetail ini!” aku meremas rambutku. “T-terus kalau enggak mimpi, aku beneran terlahir kembali? Memangnya hidupku ini genre fantasi?” Aku kembali menjedotkan kepalaku. Kali ini ke sandaran sofa. “Oh, iya. Aku perlu telepon Risa. Kalau ini tanggal empat Februari, berarti dia pengantin baru— ih, dia mah udah hamil harusnya! Ah, pokoknya aku telepon dia dulu.” Bicara Risa, dia adalah teman dekatku— dekaaat sekali. Selain masih kerabat jauh, kami juga satu jurusan saat kuliah dan pernah satu kelompok pula saat koas. Kebetulan, aku ini adalah mahasiswa kedokteran yang baru saja menyelesaikan program profesi. Aku meraih ponsel dan mencari nomor Risa. Hanya butuh waktu beberapa detik saja sampai anak itu mengangkat panggilan dariku. “Hallo, Ma—” “Ris, ini tanggal berapa?” tanyaku cepat, sengaja memotong kalimat Risa. “Ya tanggal empat Februari. Kan kemarin tanggal tiga aku nikah.” “Kamu bukannya udah hamil, ya?” “Heh! Sembarangan! Jangan fitnah, lu! Bisa-bisanya ngomong gitu. Padahal jelas-jelas baru kemarin aku akad. Boro-boro hamil! Aku aja masih perawan. Tahu enggak, aku ditinggal—” “Dokter Arga ke Belanda?” Dokter Arga adalah dokter pembimbing kami yang kini telah menjadi suami Risa. Biasa, pembimbing jatuh cinta ke anak didik sendiri dan happy ending sampai pelaminan. “Kok kamu tahu? Maksudku, kamu emang tahu kalau Mas Arga mau ke Belanda. Tapi, kan, kamu enggak tahu kalau dia udah berangkat semalam. Aku belum bilang soal ini, loh.” “Sok tahu aja, aku. Udah, ya, aku tutup!” “E-eh, eh … tunggu, tunggu! Maksud kamu apa telepon cuma buat nanya hal enggak jelas begini? Apa—” “Enggak papa, enggak papa. Sekarang aku alih profesi jadi cenayang.” “Udah gila ini anak.” “Iya, tahu, Ris. Emang kayaknya aku udah gila.” “Terserah kamu, deh! By the way, gimana kabar Ayahmu, Ma?” “Alhamdulillah membaik. Siang ini udah boleh pulang harusnya. Udah, ya, ini aku mau siap-siap ke rumah sakit lagi.” “Oke, oke.” Begitu panggilan selesai, aku langsung melempar ponsel ke arah meja. Aku merebah, lalu meringkuk. Tanganku kembali terulur meraih leher. Benar-benar tidak sakit, tetapi bayangan kesakitan itu terasa sangat nyata. Seperti benar-benar kualami beberapa jam yang lalu. “Ya ampun, ini apa maksudnya? Kalau beneran mimpi, kenapa aku bisa ingat semuanya? Normalnya, kan, cuma ingat dikit aja. Bahkan seringnya malah enggak ingat sama sekali.” Tiba-tiba, aku merinding sendiri. Kini aku semakin meringkuk, lalu memejamkan mata. Diam-diam aku berdoa dengan air mata yang mulai menetes. “Ya Allah … jika yang tadi adalah mimpi, terima kasih karena telah membangunkanku. Jika yang sekarang ini justru hanya mimpi, aku enggak mau bangun lagi. Aku enggak mau nikah sama Mas Rendra. Aku enggak mau bikin Ayah dan Ibu makin sengsara.” *** Sepertinya, aku tidak mimpi. Baik itu soal ingatan buruk tadi pagi atau yang saat ini kujalani. Keduanya sama-sama terlalu nyata untuk disebut ‘bunga tidur’. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi padaku? Apa benar, aku terlahir kembali? Bukan tanpa alasan kenapa aku mendadak yakin kalau semua yang kualami ini bukan mimpi semata. Pasalnya, tiba-tiba saja, apa yang kulalui hari ini terasa sangat familiar. Nyaris semuanya. Mulai dari aku yang bisa menebak soal buah tangan Mas Rendra, suami Risa yang pergi ke Belanda di malam pernikahan mereka, sampai perihal transportasi— gocar yang tadi aku pesan warna hijau lemon yang sangat mencolok mata. Semua itu pernah kulihat sebelumnya. Aku benar-benar pernah mengalaminya. Sekarang, anggap saja benar jika aku memang terlahir kembali. Lalu, apa ini saatnya aku menyusun rencana untuk menghindari pernikahan dengan Mas Rendra? Apa jika aku pasrah dengan jalan yang sudah ada, maka ending-nya akan sama? “Ma, itu Rendra mau balik.” Senggolan dari Ibu membuyarkan lamunanku. “Antar sampai luar, sana. Ayah biar sama ibu aja.” “O-oh … iya, Bu.” Aku segera bangkit, Mas Rendra pun mengikutiku. Dia bersalaman dengan Ayah dan Ibu. “Saya pulang dulu, Pak, Bu … semoga Bapak lekas membaik.” “Aamiin. Siang ini udah boleh pulang, kok.” “Harusnya saya bisa antar, tapi saya harus ngajar.” “Enggak papa, enggak papa. Jangan tinggalin kewajiban kampus. Nanti biar Salma aja yang nyetir. Dia bisa, kok.” “Iya, Bu.” “Aku keluar dulu, Bu,” sambungku. “Iya.” Mas Rendra keluar lebih dulu, sementara aku berdiri di belakang. Kini, ingatan saat dia mencekikku tiba-tiba datang dengan begitu kuat. Membuatku tanpa sadar mendadak gemetar. “Salma, kenapa jalan belakangan? Sini, lho!” “Lorong rumah sakit banyak yang lewat, Mas. Nanti ngehalangin jalan.” “Kan kosong.” Aku tersenyum. “Iya, sih.” Aku tiba-tiba teringat. Jika memang apa yang kulalui saat ini sama dengan apa yang pernah kulalui sebelumnya— jika benar aku terlahir kembali dan selagi aku tak melakukan perubahan, harusnya dari arah lorong kamar mayat akan ada anak kecil berbaju ungu terong lari dan memeluk kakiku. Mas Rendra akan jongkok, lalu berakhir menggendongnya. Namun, jika tidak, mungkin dugaan terlahir kembali akan kuragukan lagi. Bisa jadi aku hanya mengalami mimpi luar biasa yang bisa diingat dengan jelas. Saat hampir tiba di lorong kamar mayat, aku mulai menghitung dalam hati. Satu … dua … tiga …. Aku tersentak karena dugaanku benar terjadi. Tiba-tiba ada anak kecil berbaju ungu terong yang berlari ke arahku dan langsung memeluk kakiku. Mas Rendra pun langsung jongkok dan meraih anak itu. “Adek kenapa di sini?” “Ada hantu, Om!” “Mana?” “Di sana.” “Enggak ada, kok. Sini sama Om.” Mas Rendra mengangkat anak itu dan menggendongnya. Ini gila! Sama persis. Dulu juga begini. Setelah ini akan ada perawat yang lari mencari anak ini. Tidak harus menunggu lama, yakni hanya dalam hitungan detik saja— dan memang benar, kini ada perawat yang berlari menghampiriku dan Mas Rendra. “Maaf, Mas, maaf. Ini anak pasien di ruangan sana. Saya yang lalai. Ibunya nyari.” “Itu, Dek. Ibu nyari. Ikut Sus, ya?” Anak itu mengangguk dan mau dibawa. Sekali lagi, semua persis sama seperti yang pernah kualami sebelumnya. Sekarang, aku harus membuat perubahan— cukup dengan hal kecil saja. Aku ingin tahu jika aku mengubah yang sudah ada, apa semuanya akan berubah? “Mas Ren …” “Iya, Ma?” “Aku tiba-tiba kebelet, masa? Aku enggak bisa antar sampai parkiran.” “Oh, enggak papa. Aku bisa sendiri. Sana ke toilet aja.” “Oke. Maaf, ya, Mas!” “Santai.” Aku buru-buru pergi mencari toilet terdekat. Sebelum sampai, aku berhenti. Aku balik badan dan melihat Mas Rendra yang kini lanjut jalan menuju parkiran. Aku menyandar pada tembok, lalu memegangi d**a. Entah kenapa, saat ini jantungku berdebar sangat keras. “Seingatku, saat di parkiran Mas Rendra bakal ngajak aku makan malam dan aku mau. Sekarang aku enggak ikut dia, harusnya makan malam itu enggak ada. Iya, dong?” Aku bicara sendiri seperti orang tak waras. “Ah, ini pikir nanti aja. Lebih baik aku kembali ke kamar Ayah.” Aku berjalan cepat menuju ruangan tempat Ayah dirawat. Setibanya di sana, Ibu malah menatapku kaget. “Lho! Kok cepet banget, Ma?” “Barusan aku kebelet, Bu, jadi enggak bisa sampai parkiran. Mas Rendra pun maklum.” “Oh.” Aku segera duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Aku meraih ponsel, sekadar untuk mengecek pesan barangkali ada yang penting. Ternyata, sudah ada pesan masuk dari Mas Rendra. Itu dikirim baru saja. Mas Rendra Malam minggu ini kosong, kan, Ma? Kalau aku ajak makan malam di luar, apa bisa? Ada rumah makan baru launching, review-nya bagus banget. Mau, ya? Deg! Jantungku kembali berdetak kencang. Aku langsung menelan ludah, tetapi terasa susah payah. Tenggorokanku pun mendadak agak sakit. Kenapa Mas Rendra tetap mengajakku makan malam? Apa ini artinya, ending-nya akan tetap sama sekalipun dengan cara yang berbeda? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN