2. Pasti dan Tanpa Tapi

1718 Kata
Aku tidak membiarkan makan malam antara aku dan Mas Rendra terjadi. Tentu, ini kulakukan untuk mengubah alur sebisaku. Karena aku ingat betul, pada makan malam itu, Mas Rendra mulai membicarakan pernikahan kami dengan serius. Kalau diingat lagi, hubungan kami saat ini belum ada status resmi. Pacaran, bukan. Tunangan, apalagi. Kami hanyalah dua orang yang dikenalkan orang tua untuk saling tahu satu sama lain dengan tujuan menikah. Jika tidak cocok, tidak menikah tak apa. Jika cocok, maka keempat orang tua kami akan bahagia. Sudah, itu saja. Dan andai tiba-tiba salah satu di antara kami justru cocok dengan yang lain, maka tidak bisa disebut selingkuh. Bagian ini ada plus dan minusnya. Maksudku begini. Jadi, saat aku dan Mas Rendra— dulu— menikah, dia tidak hanya KDRT, tetapi juga selingkuh. Aku tahu, nama selingkuhannya adalah Valen. Aku menyadari hubungan mereka saat kami sudah menikah satu bulan. Jika saat ini aku ingin membawa-bawa Valen, maka tidak memungkinkan. Selingkuh tidak bisa kujadikan alasan untuk memutus rencana perjodohan karena pada dasarnya kami belum ada hubungan. Aku harus mencari cara lain. “Saat makan malam itu, aku kagum dan terkesan sama cara Mas Rendra rayu aku biar mau diajak ke hubungan serius. Dia pinter ngomong. Aku harus lebih hati-hati kali ini. Jangan sampai luluh untuk yang kedua kali. Enggak akan!” Mulai saat ini, aku sudah tidak lagi peduli dengan apa yang sebenarnya kualami. Mau itu mimpi atau memang benar-benar terlahir kembali, aku tidak mempermasalahkan itu. Kini aku memilih untuk percaya pada satu hal— yakni, semesta memberiku kesempatan kedua untuk jangan salah mengambil keputusan. Aku tidak ingin lewat keputusanku yang gegabah itu membuatku dan kedua orang tuaku celaka. “Ma, Salma!” Lamunanku langsung buyar ketika mendengar panggilan dari Ibu. Aku segera berlari ke arah pintu dan membukanya. “Kenapa, Bu?” “Kamu udah enakan atau belum? Kata Rendra, dia ajak kamu makan di luar, tapi kamunya enggak bisa karena kurang sehat. Padahal tadinya udah oke.” Ah, bagian ini memang aku mulanya mengiyakan dulu. Ini agar Mas Rendra tidak menyusun rencana lain. Aku membatalkan baru tadi siang. Aku mengaku kalau aku mendadak tak enak badan. “Tadi badanku enggak enak banget, Bu. Masuk angin, kayaknya. Kalau maksa keluar, takutnya malah makin sakit.” “Kebanyakan belajar, ya? Jangan terlau forsir, Ma. UKMPPD itu penting, tapi kesehatanmu juga enggak kalah penting.” “Iya, Bu. Aku enggak forsir, kok.” UKMPPD— alias Ujian Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter— memang diselenggarakan sebentar lagi. Karena kampusku di Jakarta, maka jelas aku akan ke sana. Tidak hanya sehari, melainkan semingguan. Pasalnya, UKMPPD dibagi menjadi dua sesi. Pertama, CBT, itu tes berbasis komputer untuk menguji pengetahuan teori. Kedua, OSCE, itu ujian praktiknya. Ya, tinggal satu langkah lagi untuk diriku resmi disebut dokter. Pada masa sebelumnya, aku berhasil dalam sekali percobaan. Aku tidak boleh mengacaukan bagian ini. “Ya udah. Ibu barusan cuma nanya aja. Kalau kamu membaik, ya, syukur.” “Iya, Bu. Aku baik-baik aja, kok.” “Besok-besok kalau Rendra ngajak lagi, kamu harus mau, ya? Biar hubungan kalian ada peningkatan.” “I-iya, Bu. Aku usahain.” “Kalau gitu, Ibu balik dapur lagi.” “Butuh bantuan atau enggak, Bu?” “Enggak. Kamu istirahat aja. Biar cepat sehat.” “Oke, Bu.” Setelah Ibu pergi, aku kembali merebah di ranjang. Aku kembali melamun sembari menatap langit-langit kamar. Ngomong-ngomong, aku ini belum lama menetap di Yogyakarta, yakni kota kelahiran Ibu. Aku sendiri lahir di Temanggung— kabupaten kelahiran Ayah, lalu besar di Jakarta. Kami harus pindah karena usaha Ayah di Jakarta nyaris bangkrut. Selain itu, kami juga kena tipu dalam jumlah yang sangat besar— mencapai miliaran. Uang untuk memutar usaha tidak ada, makanya kami harus putar otak. Nah, sebelum benar-benar bangkrut, kami memutuskan untuk pindah dan memulai lagi dengan usaha yang lebih kecil agar bisa menekan modal. Kebetulan, di sini juga ada tanah warisan untuk Ibu dari orang tua beliau. Kami bisa memanfaatkan itu untuk melanjutkan hidup. Kalau dari yang aku ingat, orang tua Mas Rendra menjebak Ayah dan Ibu. Mereka pura-pura membeli tanah warisan dengan harga yang sangat tinggi— jauh melebihi harga umum. Pada akhirnya, yang mereka bayarkan tidak ada setengah. Mereka beralasan kalau uang sisanya akan dipakai untuk modal aku dan Mas Rendra hidup. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Uang itu tidak pernah diberikan pada Mas Rendra ataupun aku. Mereka hanya ingin mengambil tanah itu untuk kepentingan diri sendiri. Bahkan sejak hari pertama menikah, Mas Rendra langsung berubah. Dia tidak pernah mencintaiku. Jangankan mencintai, menyukaiku saja sepertinya tidak. Aku bahkan tidak pernah dia sentuh, hanya selalu dibentak dan disuruh-suruh. Mau langsung keluar dari kubangan itu, aku tidak bisa. Pasalnya, Ayah dan Ibu mengira hubunganku dan Mas Rendra baik-baik saja. Itu karena Mas Rendra jago akting. Belum lagi, jika aku jujur, aku juga takut kalau penyakit ayah kambuh karena banyak pikiran. Kebetulan, Ayah punya penyakit asma— turunan dari kakek. Aku tidak tega tiap kali melihat Ayah kesulitan bernapas. Maka dari itu, aku berusaha bertahan sampai batas terakhir. Terkesan naif, memang, tapi aku benar-benar tidak bisa membuat kedua orang tuaku semakin tersiksa batinnya. Mereka sudah cukup tersiksa selama ini. Dan ya … batas terakhir adalah ajalku sendiri. Sangat ironi, kan? “Tenang, Ma …” aku mengusap dadaku pelan. Tanpa kusadari, air mataku kini sudah merembes keluar. “Pokoknya jangan ulangi kesalahan yang sama. Minimal, tetaplah hidup untuk Ayah dan Ibu. Mereka harus selalu bahagia sampai ajal menjemput.” Beberapa hari terakhir ini aku sangat lelah. Bukan fisik, melainkan mental. Tentu, disebabkan banyak pikiran yang tak masuk akal ini. Namun, di sela-sela rasa lelah, terselip rasa syukur yang teramat sangat. Pokoknya, entah apa pun yang kulalui pagi itu, aku berterima kasih karena telah diberi kesempatan untuk hidup sekali lagi. *** “Salma, itu hape kamu nyala terus!” terdengar teriakan Ibu dari arah ruang tengah. Aku yang sedang masak untuk sarapan, seketika berlari menghampiri ponsel. “Bu, aku lagi goreng tempe. Ibu yang lanjutin, ya! Takut gosong.” “Ya.” Saat aku menatap layar ponsel, senyumku langsung terbit. Pasalnya, yang meneleponku adalah Mas Gala. Ya, Janggala Rakyandanu. Asisten dokter pembimbingku dulu, sekaligus orang yang pernah tiba-tiba mengajakku menikah. Sejujurnya, aku tidak tahu kenapa saat itu Mas Gala mengajakku menikah. Pokoknya ajakan itu sangat tiba-tiba dan tak ada konteks apa pun. Dia bahkan siap menjemputku ke rumah saat itu juga. Aku yang tahu sekilas seperti apa background keluarganya— yang mana jauh dari keluargaku, memutuskan untuk langsung menolak. Tolakanku halus dan dengan gaya semi bercanda. Belum lagi, saat itu aku juga sudah ada Mas Rendra. Ya, sekalipun aku tidak mengungkit itu di depannya. Setelah melamarku dan berujung ditolak, hubunganku dan Mas Gala jadi renggang dan tak lagi saling berkabar. Sama sekali. Aku bahkan tak yakin dia tahu aku menikah. Aku pun tahu dia menikah juga dadakan. Aku malah tidak sempat tahu siapa calonnnya saat itu. Entah mantan, atau orang baru. Keburu aku sudah kembali ke titik ini. “Ehm!” aku berdehem pelan untuk menetralkan suaraku. Panggilan itu sempat mati, tetapi kemudian datang lagi. Panggilan kedua segera kuangkat. “Hallo, Mas?” Sebenarnya, aku tahu inti dari percakapan kami setelah ini. Akan tetapi, aku tidak ingin menebak-nebak seperti yang telah kulakukan pada Risa dan Mas Rendra. Biarkan saja obrolan kami mengalir. “Iya, hallo.” “Ada apa, Mas?” “Kamu sehat, Ma?” “Kenapa, nih?” “Basa-basi dulu.” Aku tertawa. “Sehat, dong! Alhamdulillah. Mas Gala gimana?” “Sehat juga.” “Sekarang saatnya to the point, Mas. Ada apa?” “Itu, Ma. Risa bilang, kamu sekarang pindah Jogja. Apa benar?” “Yes, betul. Kok tiba-tiba Risa bahas ini?” “Enggak tiba-tiba, sebenarnya. Waktu itu, tepatnya saat aku kondangan, aku nanyain kamu kok enggak kelihatan. Kalian, kan, dekat.” “Aku jadi bridesmaid, tahu, Mas. Cuma emang enggak sampai acara berakhir karena keburu disuruh pulang.” “Nah, itu. Kebetulan, aku kondangan sore. Dia bilang, kamu harus pulang ke Jogja karena ayahmu masuk rumah sakit. Katanya, sekarang kamu jadi warga Jogja.” “Iya, betul. Belum lama, sih, pindahnya. Orang tuaku dulu, baru aku.” “Jadi tetanggaku, dong, Ma?” “Iya, nih, Mas. Aku belum lama tahu kalau Mas Gala ternyata orang Jogja. Kupikir asli Jakarta.” “Jogja tulen, aku. Ayah dan Ibu semuanya asli sini. Beda kabupaten aja.” Aku tersenyum. “Jadi? Mas Gala ada gerangan apakah sampai meneleponku?” “Bentar! Rumahmu di Jogja mana kalau boleh tahu?” “Masuk kotanya, Mas. Umbulharjo.” “Dekat, dong. Aku juga masuk Kotanya. Beda kemantren— maksudku, kecamatan. Nah, kebetulan, aku butuh bantuanmu.” “Buat pesenin selempang dan buket bunga di Kedai Melati?” “Lah? Kok kamu tahu?” Aku langsung menutup mulut. Aduh! Malah keceplosan. “E-eee … nebak aja, aku. Soalnya aku dengar Mas Gala punya pacar. Dan salah satu univ besar di sini mau ada wisuda minggu depan.” Mas Gala tertawa. “Peka banget, Ma.” “Tebakanku bener, Mas?” “Iya, bener. Aku butuh buket bunga sama selempang buat dia. Aku udah chat tokonya, tapi enggak dibalas. Takut enggak kekejar kalau nunggu aku pulang dulu.” “Biaya pesan mahal, ya, Mas.” “Siap!” “Bercanda, bercanda. Nanti aku kirim notanya. Mas Gala kirim aja nama ceweknya plus ucapannya mau kaya apa.” “Oke. Habis ini aku kirim.” “Tapi nanti ambil sendiri, kan, Mas? Soalnya bertepatan aku lagi di Jakarta buat UKMPPD. Di sana aku semingguan.” “Iya, pasti kuambil sendiri. Penting pesan dulu. Takut enggak cukup waktunya kalau dadakan. Soalnya selempang di situ laris. Memang bagus, sih.” “Okayyy! Nanti aku pesenin.” “Makasih banyak, ya, Ma.” “Sama-sama, Mas. Habis ini jangan lupa langsung kirim.” “Iya.” Panggilan akhirnya dimatikan. Aku menghitung dalam hati, pesan dari Mas Gala akan segera datang. Dan benar, dia mengirim nama ceweknya. Savira Nandita, S.Si, M. Sc. Aku tersenyum getir. “Kenapa dulu aku enggak mikir kalau ada yang janggal dari hubungan mereka berdua, ya? Apa jangan-jangan Mas Gala ngajak aku nikah karena putus sama pacarnya? Tapi masa gara-gara itu aja?” Dulu aku boleh saja menolak, tetapi kali ini tidak. Tak peduli apa pun alasannya, jika Mas Gala sampai kembali mengajakku menikah, aku pastikan akan menerimanya. Benar-benar pasti, dan tanpa tapi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN