Aku menyadari satu hal. Perubahan-perubahan kecil yang kulakukan memang membuat hal besar jadi berubah. Dengan penolakan soal makan malam, maka hubunganku dan Mas Rendra masih stuck di tempat.
Seingatku, saat dia mengantarku ke stasiun untuk UKMPPD— di masa sebelumnya, hubungan kami sudah melesat jauh. Kalau tidak salah ingat, benar-benar tinggal bertunangan.
Namun, kali ini tidak. Saat Mas Rendra mengantarku ke stasiun, hubungan kami masih sekadar dua orang yang berusaha saling mengenal.
Ya, hari ini aku berangkat ke Jakarta. Mas Rendra menawarkan ingin mengantarku ke stasius. Tentu, tidak akan kutolak. Justru memang sengaja kumanfaatkan. Lumayan, irit ongkos ojol. Toh paling setelah mengantarku, dia akan menemui kekasih gelapnya.
“Hati-hati, ya, Ma. Kabari aku kalau udah sampai Jakarta,” ujar Mas Rendra ketika mengantarku sampai pintu masuk Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta.
“Iya, Mas. Nanti kalau udah sampai aku kabarin.”
“Jam berapa sampai Jakarta?”
“Kurang lebih jam delapan malam.”
“Lama juga, ya?”
“Soalnya kereta yang mau aku naiki ini banyak berhenti di stasiun berbagai daerah. Makanya lama.”
“Mau aku pesenin pesawat enggak mau, sih!”
“Enggak usah. Ujiannya toh masih lusa. Besok aku masih bisa istirahat.”
“Oke. Ya udah, sana masuk. Aku pulang dulu.”
“Hati-hati, Mas.”
“Ya.”
Setelah Mas Rendra pergi, aku segera masuk ruang tunggu stasiun. Aku duduk di kursi panjang dekat peron. Tujuannya jika nanti saat kereta datang, aku tidak harus jalan terlalu jauh.
Ngomong-ngomong, sekalipun aku berniat mengubah alur agar tak sesuai ingatanku di masa lalu, bukan berarti aku akan semena-mena mengubah semuanya tanpa perhitungan. Beberapa kusengaja agar tetap sama. Justu aku ingin mengubah bagian-bagian inti saja. Ini karena aku merasa jika harus mengubah semua-muanya, aku takut akan mengubah hal-hal yang sudah terlanjur baik.
Aku ambil contoh kecil, misal aku mengiyakan Mas Rendra memesankan tiket pesawat. Bagaimana jika pesawatnya ada masalah, atau lebih tepatnya kecelakaan? Aku tidak mau. Aku ingin tetap naik kereta dan selamat sampai Jakarta.
Bagaimanapun, setelah kuamati baik-baik selama beberapa minggu terakhir ini, jika aku tak mengubah bagian inti, maka yang terjadi akan hampir sama persis dengan yang pernah kualami. Paling tidak, intinya sama. Maka yang ujungnya baik, akan tetap kupertahankan.
Kuakui, aku memang tidak benar-benar ingat seluruhnya. Hal-hal yang numpang lewat benar-benar kulupakan. Namun, bagian-bagian yang dulu membekas, itu bisa kuingat dengan cukup detail.
Di tengah-tengah aku menunggu kereta datang, tiba-tiba ponselku bergetar. Ah, ini langsung ada contohnya. Aku ingat kalau Jani menelepon. Akan tetapi, aku lupa dengan isi percakapan kami karena sepertinya bahasannya tidak terlalu penting.
Bicara Jani, dia adalah teman satu kelompokku saat koas di stase bedah. Stase yang menurutku paling membekas dari seluruh stase yang pernah kujalani. Dan teman-temanku di stase itu ada Risa, Jani, Mita, Fikri, dan Faishal.
“Hallo, Jan?” sapaku setelah panggilan terhubung.
“Hallo, Kak! Jadi ke Jakarta hari ini?”
“Yes. Aku naik kereta, nanti malam jam delapan sampai.”
“Besok kosong, dong!”
“Kenapa? Aku mau istirahat, ya!”
“Yaaah! Aku ada dua free tiket nonton bioskop. Aku ngajak temanku enggak ada yang bisa. Termasuk Mita. Siapa tahu Kak Salma bisa.”
“Enggak bisa, Jan. Sorry! Besok mau full istirahat buat persiapan lusa.”
“Oh, ya udah. Aku cari yang lain aja.”
“Fikri, coba!”
“Ih, enggak mau. Masa aku ngajak kencan Mas Fikri?”
“Ya enggak kencan juga, kali.”
“Enggak mau, pokoknya. Ya udah, nanti aku cari orang lagi. Aku tutup, Kak. Aku telepon cuma buat nawarin ini.”
“Yoi!”
Apa, aku bilang? Benar-benar telepon tidak penting. Pantas saja aku tidak ingat sama sekali detail percakapanku dan Jani saat di stasiun. Saat itu aku terlalu fokus dengan UKMPPD. Aku hanya ingin segera melaluinya, lalu pulang. Sudah.
Berselang beberapa menit, kereta akhirnya datang. Aku pun langsung naik. Sekadar informasi saja, sampai Jakarta nanti, aku duduk sendiri. Kursi sampingku kosong sejak awal sampai akhir.
***
Akhirnya, UKMPPD berhasil kulalui dengan baik. Mau itu CBT ataupun OSCE, aku merasa mampu menjawab seluruhnya.
Kalau hasil akhir masih sama dengan yang dulu, harusnya peringkatku cukup baik. Masih tiga puluh besar. Kalaupun berubah, harusnya tidak terlalu jauh.
“Salmaaa!” aku berjengit kaget ketika tiba-tiba mendengar ada yang memanggilku dengan suara nyaring. Senyumku langsung merekah begitu sadar kalau Risa-lah yang memanggilku.
“Ris!”
Risa kini berlari ke arahku. “Gimana tadi? Lancar, Buuuk?”
“Optimis, sih. Kamu sendiri gimana?”
“Jelas optimis. Alhamdulillah. Hehehe.”
“Kamu boleh berekspektasi setinggi-tingginya untuk hasil hari ini, Ris. Beneran!”
Aku bilang begini karena di ingatanku, Risa mendapat skor tertinggi Nasional. Baik di CBT maupun OSCE. Untuk OSCE, yang tertinggi ada dua orang. Yang satu lagi anak kedokteran kampus Jogja.
Kalau tidak salah ingat, namanya Alaric Zidan Wiraatmaja. Aku ingat nama ini karena aku memang sengaja menghafalnya. Biasa, aku kagum dengan orang-orang pintar. Malah dulu aku berniat ingin mencarinya dan mengajak berteman. Sayang sekali, sebelum aku menemukan orang itu, aku sudah dibunuh.
Rendra Wijanarka memang bajingaaaan!
“Eyyy! Enggak beranilah. Cukup optimis bisa oneshot.”
“Jawara nasional, tenang aja.”
“Karena doa baik, aku aminin. Tapi enggak juara nasional juga. Berlebihan, itu, mah.”
“Dibilangin enggak percaya.”
Cukup segini saja spoiler-nya. Kalau aku menyinggung tentang apa yang aku alami, Risa pasti akan menuduhku gila.
“Jangan-jangan, kamu alih profesi jadi cenayang betulan, Ma?”
“Iya, nih. Satu ramalan, sepuluh juta kalau benar. DP lima puluh persen dulu enggak papa. Pelunasan di akhir.”
“Dasar orgil!”
Aku kembali tertawa, kali ini lebih keras. Ini untuk menutupi betapa aku merasa lucu dengan hidupku yang sekarang ini. “Emang udah kaya orang gila, aku ini.”
“Perasaan dari dulu, deh.”
“Ini makin-makin! Ya udah, Ris. Aku mau balik apart, lalu siap-siap pulang. Gampang kalau mau ke Jakarta lagi—”
“Lah, lah, lah! Secepat ini?” Risa segera menahan tanganku ketika aku hendak pergi.
“Iya. Kan aku sekarang warga Jogja.”
Selama UKMPPD, aku menempati apartemenku yang sudah terlanjur dibayar sampai akhir tahun. Ada bagusnya dulu Ayah ngotot bayar tahunan. Jadi, andai aku butuh bolak-balik, aku tidak perlu risau soal tempat tinggal.
“Masih pengen bareng, Maaa!” Risa mulai mengayun-ayunkan tanganku. “Jangan pulang dulu!”
“Lagian kamu mau nyusul suamimu, kan?”
“Kan masih besok malam, Ma. Hari ini aku free.”
“Beneran bukan malam ini?”
“Bukan. Aku ambil besok malam soalnya cari yang ada penerbangan langsung. Malam ini aku fokus packing. Sebenarnya udah mulai, sih, tapi belum beres.”
“Nah, itu. Fokus packing aja.”
“Ih, kamu ini! Emang kamu balik ke Jogja jam berapa, Ma?”
“Malam nanti, sih. Tengah malam naik kereta. Sekarang aku harus ngirit budget, jadi ambil kereta yang lebih ekonomis. Yang paling oke, ya, yang berangkat tengah malam itu. Dan bagus juga, sampai Jogja besok pagi.”
“Nah … toh masih nanti malam. Sore ini makan bareng dulu, ayo? Aku traktir, deh—"
“Enggak, Ris.”
“Ayolah, Ma. Setelah hari ini, aku ragu kita bisa ketemu kapan lagi. Cuma makan doang.”
Aku terdiam sesaat.
Sejujurnya, aku tidak ingin apa yang kulakukan terlalu mengubah kehidupan Risa. Di masa sebelumnya, aku menolak ajakan ini karena aku ingin membelikan hadiah untuk Mas Rendra yang mau ulang tahun.
Kali ini aku tidak akan membeli hadiah itu. Dan kalau aku mengiyakan ajakan Risa, harusnya kehidupan dia tidak terlalu berubah, kan?
“Baiklah. Habis ini langsung aja, ya? Kamu enggak usah pulang dulu,” ujarku akhirnya.
“Oke.”
Akhirnya, Risa mengajakku ke resto ramen kesukaan kami. Ramen dengan porsi jumbo dan rasa yang enak. Pemiliknya orang asli Jepang, tetapi rasanya sudah disesuaikan.
“Gimana kabar Pak Dosen?” tanya Risa tepat setelah pesanan kami datang.
Aduh! Risa ini selalu saja penasaran dengan Mas Rendra. Wajar, sebenarnya. Hanya saja, aku kesal tiap ingat dia.
“B-baik, kok. Kemarin dia yang antar aku ke stasiun.”
“Cieee … diantar ayang. Spill orangnya, dong, Ma!”
“Enggak mau.”
“Pelit banget, heran! Bukannya udah mendekati lamaran?”
“Itu kalau jadi.”
“Lah!”
“Enggak papa.” Aku menggeleng pelan. Justru lamaran ini akan sangat kuhindari. Dan sebelum itu, aku harus mengulur-ulur— entah dengan cara apa. “Tiba-tiba aja, aku ngerasa kaya belum pengen nikah. Pengen fokus ngerawat Ayah dulu. Ayah masih sering sakit-sakitan, Ris. Sebentar-sebentar sehat, sebentar-sebentar sakit lagi.”
“Hm … aku dukung aja kalau alasannya orang tua. Cuma kalau kamu udah yakin sama Pak Dosen ini, enggak ada salahnya iyain. Orang baik enggak datang dua kali, loh, Ma. Kan kamu juga pernah bilang ini.”
“Orang baik, ya? Nanti, deh, aku pikir lagi.”
Orang baik apanya! Itu hanya kamuflase. Dia baik padaku karena ada maunya. Lebih tepatnya, satu keluarga kompak punya watak seperti setan.
“Heee? Story Mas Gala lagi di Jogja, masa, Ma!” seru Risa tiba-tiba.
“Ya, kan emang Mas Gala asli Jogja. Kamu yang ngasih tahu aku soal ini. Eh, Mita sama Jani juga, ding.”
“Iya, sih. Aku cuma kaget aja tahu-tahu dia udah di sana.”
“Bikin story apa, dia, Ris?”
“Ya cek sendirilah! Atau kamu enggak nyimpan nomornya?”
“Ya nyimpen, cuma lagi males buka hape.”
“Story dia itu gambar Tugu Jogja. Caption-nya … lama tak jumpa, tanah kelahiran. Gitu!”
“Dia jarang pulang, kayaknya. Sampai orang-orang mulanya enggak tahu kalau dia orang sana.”
“Bener. Awalnya kupikir yang orang Jogja itu ceweknya aja.”
“Ceweknya cantik, pasti, ya?”
“Harusnya, sih. Soalnya Mas Gala juga ganteng. Meski gantengan Mas Arga kalau buat aku.”
“Yeee, itu mah menurut situ!”
“Ya emang. Suamiku yang terganteng sedunia.”
“Geliii!”
“Biarin.” Risa mengibaskan rambut. “Ngomong-ngomong Mas Gala, nih, Ma. Kata Mas Arga, dia itu anak tunggal kaya raya.”
“Harus disebutin banget, kaya rayanya?”
Risa tertawa pelan. “Iya, soalnya kata Mas Arga kaya raya itu bukan intinya. Masih ada yang lebih.”
“Apa, tuh?”
“Entah. Aku juga belum dikasih tahu— eh, waktu itu bukannya kamu juga bilang kalau Mas Gala bukan orang sembarangan?”
“Kan aku dikasih tahu Mita. Dia dapat info dari kakaknya. Saat itu dia enggak jelasin banyak. Intinya orang kalangan atas, kali.”
“Bangsawan Jogja, gitu? Atau keturunan keraton? Atau malah orang tuanya petinggi rumah sakit di Jogja?”
Aku mengedikkan bahu. “Meneketehe!”
“Dasar, lu!”
Kalau bagian background Mas Gala, aku benar-benar belum tahu pasti. Maksudku, tidak sampai mendetail. Aku hanya pernah dengar dari Mita kalau Mas Gala bukan orang sembarangan. Kalau tidak salah, ayahnya petinggi rumah sakit besar. Dan kalau Mita yang bilang, biasanya valid. Namun, sampai detik ini aku belum mengonfirmasi itu.
Saat Mas Gala mengajakku menikah— dulu, alasan insecure sebetulnya hanya alasan tambahan. Alasanku lebih karena aku sudah menerima lamaran Mas Rendra. Pikirku saat itu, menikah dengan Mas Rendra terasa lebih realistis. Ternyata malah ZONK!
Namun, kali ini benar-benar berbeda. Aku harus segera mencari tahu dengan pasti siapa Mas Gala sebenarnya. Bukan orang sembarangan yang seperti apa, dia itu. Apa hanya anak petinggi rumah sakit, atau jauh lebih dari itu?
“Yang jelas, orang sebaik Mas Gala semoga dapat jodoh yang setara,” ujarku kemudian.
“Andai kamu belum ada Pak Dosen, sama dia kan setara—”
“Setara dari Hongkong! Dia bentar lagi udah lulus spesialis, sementara aku jadi dokter aja belum. Terus katamu dia anak orang kaya raya. Nah, aku kan anak orang yang nyaris bangkrut. Langit dan inti bumi, Ris. Ngawur, kamu!”
Aduh! Jika mengingat bagian ini, apa aku sanggup kalau menikah dengannya?
Tapi daripada berakhir mati lagi, bukannya ini lebih baik?
“Kamu enggak boleh gitu, loh, Ma.”
“Ini aku bicara fakta yang ada. Jadi, jangan bahas Mas Gala lagi. Selain karena udah ada eee … calonku yang ini, aku juga enggak cukup percaya diri kalau punya suami dia.”
Lain di mulut, lain di hati. Padahal aku sudah bertekad akan menerima Mas Gala, tetapi mulutku sok menolak keras. Ya, ini kulakukan untuk menghindari Risa curiga ada yang aneh denganku.
“Sorry, Ma, sorry. Kayaknya aku emang salah banget. Kamu udah punya calon, tapi masih aja jodoh-jodohin sama Mas Gala. Maaf, ya?”
Aku mengibaskan tangan di depan wajah. “Santai aja.”
Saat akhirnya aku dan Risa kembali melanjutkan makan ramen, aku tergelitik ingin melihat story Mas Gala. Risa benar, story-nya adalah gambar tugu Jogja.
Dia pasti pulang untuk mendatangi wisuda pacarnya itu. Dia bahkan sudah mentransfer uang yang telah kukeluarkan untuk pesanannya. Padahal di sini mereka kelihatan baik-baik saja, tapi kenapa tiba-tiba putus?
Sejujurnya, dari banyaknya pertanyaan tentang Mas Gala yang berkelebat di otakku, ada satu yang paling membuatku penasaran.
Kenapa dari sekian banyak opsi perempuan di muka bumi ini, yang Mas Gala ajak nikah saat itu adalah aku? Kenapa bukan orang lain saja? Apa pertimbangannya sampai aku dipilih?
***
Keesokan hari …
Aku tiba di Stasiun Lempuyangan kisaran pukul tujuh. Mas Rendra menawari ingin menjemputku, tetapi aku bilang tak usah. Selain dia harus ngajar, aku juga ingin mampir membeli jajanan pasar sebelum pulang.
Pada kehidupan sebelumnya, aku mau-mau saja dan berujung kami sarapan bersama. Kalau saat ini, rasanya tak sudi makan berdua.
Aku sengaja berkunjung ke Alun-Alun Utara. Di sana ada kedai kecil yang menjual aneka jajanan pasar. Aku pernah beli saat tak sengaja lewat, dan ternyata baik Ayah maupun Ibu sama-sama suka.
Mereka suka sekali dengan serabi kocor-nya. Kalau aku pribadi, aku suka dengan risol mayo dan lumpia isi suwir ayam. Ah, kue lapis dan ketan serundeng juga juara. Pokoknya enak-enak semua.
Dengar-dengar, Sultan sering beli jajan di situ. Entah ini valid betulan atau hanya S3 marketing dari si pemilik kedai.
“Beli opo, Nduk?” tanya penjual begitu aku mulai memilih. Kebetulan, lapak sedang sepi. Sebelumnya, saat aku ke sini selalu sedang ramai.
“Serabi kocornya dua porsi, Bu. Yang isi empat. Lumpia dan risol masing-masing lima. Sama … eee … apa, ya?” aku melihat-lihat. “Oh, sama ini … eh, ini isi apa, Bu?”
“Itu dalamnya bihun, Nduk.”
“Lah? Tahu isi bihun?”
“Iya, tahu Malang. Itu yang nitip asli orang Malang - Jawa Timur. Enak, kok.”
“A-ah, oke. Aku coba ini, Bu. Lima juga.”
“Ya. Itu aja?”
“Sama nagasari lima juga, deh.”
“Siap!”
“Total berapa, Bu?”
Si Ibu menghitung sejenak. “Tujuh puluh lima.”
“Oke.”
Aku baru saja hendak mengambil uang di dompet ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki yang berdiri menjulang di sampingku. Dia berujar pelan. “Seperti biasa, Bu.”
“Oke, Mas. Sudah saya siapin. Tumben enggak sama pastel? Sultan, kan, suka.”
“Lagi pengen yang lain, katanya.”
Saat aku menoleh, orang itu juga menoleh. Aku tersentak kaget. “M-mas Gala?”
“Salma? Kamu udah pulang?”
“Ini baru banget. Tuh, koperku masih kubawa. Aku mampir sini dulu karena Ayah sama Ibuku suka sama jajanan di sini.”
“Oh—”
“Mas, ini pesanannya. Meski enggak minta, tetap saya bonusin pastel tiga buat Sultan—”
“Ehm!” Mas Gala tiba-tiba berdehem sangat keras. “Ini uangnya, Bu. Kembaliannya ambil aja.”
Mas Gala menyerahkan uang seratus ribuan, lalu menjauh. Dia tersenyum padaku.
“Ma, aku enggak bisa lama-lama. Aku masih ada urusan. Next time aku ajak ngopi atau ke mana gitu!”
Aku belum sempat menjawab, tetapi Mas Gala sudah lari meninggalkanku. Kebetulan, baju yang dia kenakan saat ini adalah kostum olahraga. Kemungkinan besar, dia baru saja jogging.
“Mbaknya kenal Mas Gala?”
“Kenal, Bu. Satu kampus di Jakarta.”
“Oh, gitu.”
“Tadi dia manggil Sultan, apa maksudnya Sultan keraton?”
Si Ibu malah tersenyum, tidak menjawab. Aku ingin bertanya lagi, tetapi keburu berdatangan pengunjung lain. Alhasil, aku mengurungkannya.
Akhirnya, aku menepi untuk pesan ojol. Sembari menunggu, aku terus kepikiran Mas Gala. “Itu beneran jajannya Sultan Keraton? Atau dia punya teman namanya Sultan?”
***