bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

book_age18+
1.4K
IKUTI
18.4K
BACA
billionaire
HE
heir/heiress
sweet
bxg
city
like
intro-logo
Uraian

WARNING 21++ AREA DEWASA. HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN!!

.

Mencintai istri orang.

.

Bukan cuma perkara tidak punya adab, keterlaluan, atau kurang ajar. Anggap saja Regan Farrez Miller terlalu berani dan nekat.

.

Hidupnya selama 35 tahun terlalu sempurna, tapi terasa monoton baginya. Sebagai pria dengan definisi ‘gapura kabupaten’ yang punya badan tegap berotot serta wajah tampan, bahkan harta berlimpah, dia malah belum pernah naksir anak orang, apa lagi jatuh cinta. Tapi sekalinya naksir, malah sama istri orang.

.

Alora Mahika, 26 tahun. Seorang dokter IGD yang sukses membuat hidup Regan berwarna, penuh adrenalin. Status Alora yang ternyata istri seseorang tidak membuat Regan menyerah. Apalagi saat dia melihat bagaimana Kenan Altair mengaku sebagai suami dari wanita lain di depan istrinya sendiri.

.

“Suaminya sendiri yang menyia-nyiakan dia, gak salah kalau kurebut kan?”

.

Pernikahan Alora sendiri baik-baik saja selama dua tahun ini, sampai kedatangan seorang wanita yang mengaku saudara membuat semuanya berantakan. Kenan— suaminya, juga selalu berpihak dan mengutamakan wanita itu. Bahkan tiap malam memilih menemaninya dari pada istrinya.

.

Lalu bagaimana cara Regan merebut Alora dari Kenan yang tidak menghargainya sama sekali?

chap-preview
Pratinjau gratis
Boleh kurebut istrimu?
"Ahh …." "Membosankan." Sudah terhitung tiga kali, Regan Farraz Miller menghela napas panjang, berusaha mengusir rasa bosannya. Pria ini selalu merasa hidupnya hampa. Monoton. Tidak ada yang benar-benar menarik atau memicu adrenalin selain rutinitas pekerjaan. Dulu, Regan pernah berpikir, mungkin kembali ke Indonesia setelah sepuluh tahun menetap di Austria akan menghidupkan kembali gairahnya. Memberinya sesuatu yang baru, sesuatu yang berwarna. Tapi nyatanya, sama saja. Berdiri di rooftop sebuah gedung rumah sakit, Regan diam mematung, matanya menatap jauh ke cakrawala. Aneh rasanya, Jakarta hari ini terlihat berbeda. Langit cerah, dihiasi awan putih yang bergerak perlahan, seperti menawarkan jeda kecil dari polusi dan kebisingan kota yang seolah tak pernah tidur. Dia menarik napas panjang, lalu melangkah perlahan hingga ujung sepatunya menyentuh tepi pembatas beton. Kedua tangannya terentang, seperti hendak memeluk angin yang berhembus lembut. Perlahan, dia memejamkan mata, membiarkan hembusan angin mengusap wajahnya, membawa rasa damai yang sudah lama tak mampir dalam hidupnya. Namun, kedamaiannya tiba-tiba hancur. "Hei! Kamu mau ngapain?" Teriakan melengking memecah keheningan. Regan tersentak dan menoleh. Di ujung rooftop, seorang wanita berdiri, napasnya memburu, wajahnya gelisah. "Nasi pecel masih enak! Di gang depan ada nasi padang cuma dua belas ribu. Kalau mau yang lebih gurih, ada ketoprak!" Suara wanita itu meninggi, terdengar canggung, tapi juga mendesak. Regan terdiam. Sebelah alisnya terangkat, sedikit bingung sekaligus amused. Mata tajamnya menyipit, mencoba melihat lebih jelas wajah wanita yang baru saja berteriak heboh. Sayangnya, silau matahari menghalanginya. "Turunlah," lanjutnya lagi. Regan sudah membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu, tetapi wanita itu menyela lagi. "Jangan begini. Bunuh diri bukan solusi." Regan hampir tertawa. Tentu saja dia tidak berniat bunuh diri seperti yang dituduhkan. Dia hanya sekedar menikmati langit cerah, pemandangan langka di Jakarta. Tapi wanita di depannya ini... apa dia serius menuduhnya ingin bunuh diri? "Turun," ulangnya, nada makin tegas. "Apa pun masalahmu, aku yakin nasi padang dua belas ribu bisa membantu. Atau nasi pecel, kalau kamu suka pedas,” katanya sambil memasang wajah waspada, seperti siap melompat dan menyelamatkan Regan jika pria itu melangkah setengah inci lebih dekat ke tepi. Regan tidak bisa menahan tawanya. Wanita itu jelas salah paham. Tapi anehnya, dia malah merasa suasana hatinya yang hampa tadi perlahan berubah. Mungkin hidupnya tidak se-monoton yang dia pikirkan, atau, dia baru menemukan hal menarik? “Saya tidak bunuh diri,” jawab Regan setelah diam membisu sejak tadi. “Saya tidak ingin bunuh diri!” “Ya, ya, ya.” Wanita itu memotong cepat, mengangkat tangan seolah-olah sudah tahu apa yang akan dikatakan. “Mereka juga bilang gitu, tapi tetap terjun.” “Aku sudah lihat banyak orang seperti itu. Putus asa, seolah dunia mengabaikan mereka. Tanpa tahu, keluarga mereka histeris saat mendengar kabar kematian. Jadi, tolong, jangan lakukan ini.” Suara lembut itu terdengar penuh emosi, menggema di udara yang sunyi. Regan membisu, matanya berkedip lambat. Wanita di depannya ini ternyata cukup cerewet. Kalau dia tidak turun, mungkin telinganya bisa meledak karena terus mendengar ceramah dadakan. Dan pada akhirnya, Regan turun dari bibir pembatas. Saat kakinya menjauh, sinar matahari yang menyilaukan tak lagi menghalangi pandangannya. Dia sudah bisa melihat wanita itu lebih jelas. Rambutnya kecoklatan, tergerai lembut dengan sedikit gelombang. Kulitnya putih, bersih, hampir bercahaya—memantulkan sinar matahari dengan indah. Wajahnya? Cantik, tanpa diragukan lagi. Regan terpaku. Dadanya berdebar tanpa ia sadari. Apa yang dia lihat bidadari? “Siapa namamu?” tanyanya, suaranya dalam sedikit serak. Wanita itu tampak tersentak mendengar pertanyaannya. Matanya melebar sedikit, kemudian bibirnya bergerak, seolah berusaha memutuskan apakah ia harus menjawab atau tidak. Harus diakui, dia terkejut. Pria di depannya ... terlalu tampan untuk seseorang yang ia kira ingin bunuh diri. Apalagi sorot matanya yang tajam, seperti pisau yang menusuk langsung ke dalam hati. “Ara…” jawabnya pelan, hampir tidak terdengar. Regan mengangguk kecil, tapi matanya sempat turun, memeriksa bordiran nama yang tertera di seragam – tepat di atas d**a sebelah kanan. Pintar juga wanita ini berbohong. Namun, sepertinya wanita itu salah paham. Dengan tergesa-gesa, dia menyilangkan kedua tangannya di d**a, menatap Regan nyalang. “Hei, matamu lihat kemana?! m***m!” Mesum? Seorang Regan, pria normal yang hidup selama 35 tahun tanpa pacaran dikatai m***m cuma karena matanya terfokus pada nama di seragam — yang posisinya memang di atas d**a? Mata Regan membulat sesaat. Antara kaget, lucu dan agak jengkel. Tapi dia tidak marah, malah tertawa. Seumur-umur baru ini dia berhadapan dengan wanita unik yang menuduhnya seenak jidat. “m***m? Saya cuma baca nama kamu. Tapi kalau kamu memang pengen saya lihat yang lain, tidak masalah juga, Dokter Alora.” Wajah Alora memerah mendengar perkataan Regan, kesal bukan main. “Mulut ya! Kamu gak cuma m***m, tapi kurang ajar!” omel Alora menggelegar, tapi Regan hanya menatap sambil menyungingkan senyum. “Susah payah saya ingatkan, tapi balasan kamu malah menghina! Tidak sopan —” Belum selesai bicara, dering ponsel di tangan menghentikan omelannya. Alora mengintip sedikit, melihat nama tertera di layar, dia tidak bisa mengabaikannya. “Ada kecelakaan beruntun. Semua korban dibawa ke sini. Cepat kembali!” suara di seberang telepon terdengar tegas, tanpa basa-basi. Wajahnya Alora langsung berubah. Setelah menjawab, dia mengakhiri panggilan telepon, lalu kembali menatap Regan. “Pak —” Bersumpah, dia sangat ingin melanjutkan omelannya, setidaknya untuk perbuatan Regan barusan. Tapi dia tidak punya banyak waktu, ada keadaan darurat di IGD. Setelah mengambil napas panjang, Alora mengambil uang seratus ribu di dalam saku. Lalu tanpa basa-basi menarik tangan Regan dan menyelipkan uang di tangan pria itu. “Di depan rumah sakit, ada ayam geprek enak! Makan yang banyak!” ucapnya singkat, lalu bergegas pergi, membiarkan Regan melonggo di tempatnya tanpa bisa membalas atau menolak. “Apa-apaan ini?” gumamnya pelan melihat uang seratus ribu di tangannya. “Dasar!” Regan menggerutu, tapi tangannya sudah sibuk mengetik pesan singkat pada anak buahnya. “Cari tahu siapa Alora Mahika. Sekarang!” *** Hiruk pikuk memenuhi ruang IGD. Jeritan kesakitan, suara alat medis, dan langkah kaki tergesa-gesa bercampur menjadi satu. Alora menyelesaikan cuci tangan di wastafel kecil dekat pintu, lalu melangkah masuk ke dalam “Caos banget, ada ibu hamil fraktur kaki, kemungkinan patah tulang serius.” Dania, salah satu perawat senior, menyambutnya. Alora langsung mengambil alih. Sebagai dokter IGD, dia sudah terbiasa dengan situasi darurat seperti ini. Ia mendekati ranjang tempat seorang wanita hamil terbaring dengan wajah pucat, berkeringat menahan sakit. Kaki kirinya terlihat tidak dalam posisi normal. “Fraktur femur, butuh operasi segera,” gumamnya usai memeriksa. “Hubungi ortopedi, obgyn juga. Pastikan ruang operasi siap. Ada yang bisa menghubungi keluarganya?” Alora menoleh, tatapannya tajam mencari Danila. “Suaminya datang!” teriak Lidia. Seorang pria melangkah masuk terburu-buru, wajahnya pucat, langkahnya gelisah. “Saya suaminya, Dok—” Alora membeku di tempat. Menatap wajah pria — yang tak asing di matanya. Tentu saja tidak asing, sebab beberapa jam lalu, keningnya sempat dikecup amat mesra olehnya, Kenan Altair, suaminya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
175.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
216.0K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
297.2K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
4.8K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
153.2K
bc

Ketika Istriku Berubah Dingin

read
3.7K
bc

TERNODA

read
193.7K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook