Hubungan Sebenarnya

1291 Kata
Tanpa membuang waktu, Regan berbalik dan berjalan keluar kantin. Hans berdiri terpaku, tubuhnya masih kaku seperti patung. “Ger …” bisik Hans dengan suara nyaris tak terdengar. “Apaan?” jawab Gerry, menatapnya sambil mengusap keringat yang entah kapan mulai bercucuran. “Kalo gue beneran pindah ke Austria, titip pacar gue di Bandung, ya?” Gerry hanya menghela napas panjang sambil menatap Hans. Agak kasihan, tapi gimana lagi. Ini juga ulahnya sendiri. Sudah tau bosnya Killer anti julid. “Gue sih lebih khawatir, lu pindah ke sana, terus bos tetap naksir bini orang lain. Jangan-jangan, urusan lu tambah ribet di benua baru.” Hans menatap Gerry dengan tatapan kosong. Sumpah, kalimat itu seperti tambahan beban di atas pundaknya yang sudah nyaris patah. "Ger, jangan ngelawak. Ini serius! Gue bisa mati berdiri kalo sampe beneran diusir ke Austria," gerutu Hans sambil menjambak rambutnya sendiri. Gerry menggeleng sambil menahan senyum. "Ya udah, mending lu cepat lapor soal apa pun yang lu tau ke bos. Biar dia reda dikit. Gue gak mau liat lu nangis di pesawat ke Vienna." “Emang dasar, temen laknat!” *** Setelah adegan di kantin yang cukup bikin Hans kapok, mereka kembali ke kantor dengan lemas tak bertenaga, mirip narapidana yang habis sidang vonis. Gerry juga terus ngoceh, buat Hans tambah stres. Begitu sampai di ruang kerja Regan, suasana terasa seperti ruang interogasi. Lampu di dalam ruangan menyala terang, tapi hawa dingin AC justru membuat semuanya terasa mencekam. Regan duduk di kursi kulitnya, bersandar dengan tangan terlipat di d**a. Tatapannya tidak lepas dari Hans. Hans cuma bisa berdiri kaku di depan meja Regan, seperti terdakwa yang siap dihakimi. Gerry dengan cekatan menutup pintu dan memilih keluar dari ruangan, takut kena dampak kemarahan bos. “Jadi?” suara Regan memecah keheningan. Hans menelan ludah, berusaha mengatur napas sebelum akhirnya membuka map yang dia bawa. “Saya sudah dapat informasi awal soal Kenan dan Lula, Tuan,” katanya, suaranya dibuat setenang mungkin, persetan soal tangannya gemetar. “Tapi … ini belum terlalu lengkap.” Regan mengangkat alis, wajahnya tetap dingin. “Apa yang belum lengkap?” “Maksud saya, informasi tentang mereka masih samar-samar. Dari hasil pengamatan, mereka memang ada hubungan, seperti … balas budi,” jelas Hans agak hati-hati. “Balas budi?” Regan mengulang kalimatnya. Hans mengangguk. “Orang tua Lula meninggal dalam kecelakaan. Katanya, mereka sempet nolong ayah si Kenan ini.” Regan tidak bereaksi langsung, hanya mengerutkan dahi sedikit. ‘Katanya.’ Itu berarti, masalah ini belum pasti dan Hans hanya mendapat informasi dari sumber, belum ada bukti akurat. Hans melanjutkan lagi. “Itu alasan Kenan lebih perhatian pada Lula, bahkan seminggu ini menjaganya di rumah sakit. Tapi … Tuan, ada hal lain yang perlu Anda tahu.” Regan mengangkat pandangannya, memberi isyarat agar Hans tidak berlama-lama. “Lula sebenarnya sudah menikah, dan suaminya bekerja sebagai konsultan di SM Land. Seminggu lalu, dia pergi ke pusat, atas panggilan dari Ayah Anda,” ucap Hans. Masalah ini lah, yang sebenarnya buat Hans ragu untuk segera melapor. Dia masih ingin mengorek lebih detail lagi. Setidaknya memastikan kalau ini bukan trik dari ayah Regan untuk memaksa anaknya segera menikah. Namun demi menyelamatkan nyawanya, demi bisa tetap di Indonesia dan tidak kembali ke Austria, Hans terpaksa mengungkapkan semuanya. Mata Regan langsung menyipit tajam, tatapannya seperti pisau yang mencoba menembus segala kebetulan yang terdengar terlalu sempurna. Kebetulan macam apa ini? Memangnya dunia sesempit itu? pikirnya dengan sinis. SM Land. Nama itu membawa Regan kembali ke masa lalu—masa ketika dia bekerja untuk perusahaan besar keluarganya yang berpusat di Austria. Dia pernah menjadi salah satu aset paling berharga di sana, hingga keadaan kakeknya yang memburuk memaksanya meninggalkan semuanya dan pulang ke Jakarta. Kini, dia menjalankan bisnis sang kakek di bidang desain interior, jauh dari glamornya SM Land. Namun, siapa sangka, jejak SM Land kembali menyusup ke hidupnya. Tidak disangka, dia menemukan sesuatu yang menarik lagi di sini. “Jadi, suaminya adalah konsultan di SM?” tanya Regan, memastikan nada Hans yang terdengar ambigu. Hans mengangguk pelan. “Benar, Tuan. Dia sudah bekerja di SM Land Indonesia selama sepuluh tahun. Namun...” “Namun apa?” desak Regan, sorot matanya mulai dingin. Hans menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Masalah ini, sepertinya tidak sesederhana kelihatannya.” Regan menyipitkan mata. “Apa maksudmu?” Hans membuka ponsel, beberapa ketukan cepat pada layar sebelum sebuah file terkirim ke ponsel Regan. “Kenan dulu pernah menyatakan perasaannya ke Lula. Tapi ditolak mentah-mentah. Setahun setelah itu, Lula nikah sama Carlos. Menariknya, mereka menikah sebulan setelah Carlos diangkat jadi konsultan SM,” jelas Hans sambil melirik ekspresi bosnya yang mulai berubah. Regan menatap layar ponselnya dengan intens, tetapi pikirannya melayang jauh. Carlos... Lula... Kenan. Semua nama ini seperti potongan puzzle yang perlahan terangkai, tetapi belum jelas gambarnya. Matanya nanar, tatapannya kosong seolah menembus ruangan itu. Hening menyeruak di antara mereka, suasana terasa menekan. Beberapa menit berlalu tanpa sepatah kata pun, hanya Hans yang berdiri serba salah, menunggu instruksi lebih lanjut. Akhirnya, Regan memecah kesunyian dengan suara dingin. “Selidiki lagi!” Dia berdiri dengan tiba-tiba, membuat kursinya berderit. Langkahnya cepat menuju meja, tangannya mengambil asbak dari atas sana. Lalu … BRAK! Hans terlonjak kaget ketika Regan membanting asbak hingga pecah berkeping-keping. “Tuan, Anda ngapain?!” serunya panik. Namun, Regan tak menjawab. Dengan gerakan cepat, dia meraih pecahan asbak, menggores punggung tangannya hingga darah mengucur deras. “BOS!!!” Hans hampir berteriak, wajahnya pucat. Regan hanya menyeringai kecil, tatapannya gila, tetapi agak tajam. Hans sampai merinding di tempat. “Bawa aku ke IGD! IGD rumah sakit Royal,” katanya, nada suaranya tenang, hampir santai, seolah tak peduli dengan darah yang mengalir deras di tangannya. Hans masih terpaku, syok, tetapi langsung sigap bergerak. Situasi ini semakin membuatnya yakin—bosnya sedang memasuki fase … bucin, tapi maksa. **** Sebelum memutuskan melukai tangannya, Regan sudah memastikan satu hal penting—jadwal kerja Alora. Dia tahu pasti, wanita itu sedang dinas hari ini. Benar tebakannya, Alora memang sedang bertugas. IGD siang ini jauh lebih tenang dibanding kunjungannya sebelumnya. Tak ada suara sirine atau pasien berdarah-darah yang dibawa masuk tergesa-gesa. Hanya dirinya yang menjadi pusat perhatian, dengan darah mengalir dari tangan yang terbalut kain seadanya. “Saya sudah memastikan mereka menugaskan Nona Alora, Tuan,” bisik Hans, suara nyaris tak terdengar. Regan melambai singkat, menyuruh Hans segera pergi. Dia tak butuh penonton untuk drama yang akan dia buat. Hans juga menurut saja. Dari pada mood bosnya hancur lagi, lalu menyuruhnya pergi ke Austria hari itu juga. Tak lama setelah Regan duduk di bed pasien, seorang perawat mendekatinya. Wajahnya kaget melihat tangan Regan yang dibalut kain penuh darah. “Pak, ini tangannya kenapa? Ya Allah, darahnya banyak sekali,” ucap suster panik, tangan sibuk merapikan peralatan, siap mengobati. Suster yang bicara itu Danila, salah satu teman Alora. Senyum tipis tersungging di wajah Regan. Pas sekali, bukan? “Kena pecahan kaca,” jawab Regan singkat, nada suaranya datar, nyaris tanpa emosi. Danila memperhatikan kain yang sudah basah berlumur darah. Dari pengalaman, dia bisa menebak lukanya cukup dalam. “Bapak lagi ngapain tadi? Pecahan kaca ini bisa dalam banget, lho,” tanya Danila sambil memakai sarung tangan steril. Sebelum Regan sempat menjawab, suara familiar terdengar dari arah belakang. Suaranya mengalun lembut, membuat Regan tersenyum kecil, seolah menunggu momen ini tiba. “Siang, Pak. Saya dokter jaga di sini. Gimana, Pak? Tangannya kenapa?” suara Alora terdengar ramah seperti biasa, dengan nada profesional khas dokter muda yang siap membantu siapa saja. Regan mengangkat kepalanya perlahan, pandangannya bertemu dengan mata Alora. Sebuah senyuman santai menghiasi wajahnya. “Halo, Dokter,” sapanya. Alora terpaku di tempatnya, butuh beberapa detik untuk mencerna siapa pria yang sedang duduk di depannya. “Eh???” Matanya membelalak, apalagi saat menatap darah segar mengucur dari kain yang baru saja dibuka Danila.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN