Salah Mendidik Istri

910 Kata
“Kamu kok makan malam di sini? Kalau Wulan masak gimana? Kasian dia sudah capek-capek kerja terus masak buat kamu tapi kamunya enggak makan,” tegur ibu tidak ada maksud melarang putra semata wayangnya melarang makan di restoran miliknya. “Archi kangen makan di sini, Bu.” Archio berdusta. Wulan tidak pernah masak, jika pulang ke rumah belum makan malam maka Archio akan kelaparan jadi dia memutuskan mampir ke sini sambil melihat kondisi ibu. Karena jangan harapkan Wulan untuk masak, bahan makanan pun tidak ada. Archio memberikan uang bulanan di luar uang jajan Wulan untuk membeli pakaian, skin care dan kebutuhan pribadinya. Tapi kulkas dan kabinet kitchen set selalu kosong, rumah mereka sudah seperti hotel hanya untuk tempat menginap saja. Archio tidak pernah menceritakan kekurangan istrinya kepada ibu, dia menutup rapat prahara rumah tangganya. “Ya sudah, tapi jangan banyak-banyak … sampai rumah kamu harus makan lagi ya.” Ibu berpesan agar hati menantunya tidak terluka. Archio menatap wajah tua ibunya lekat, hatinya bergetar mengetahui betapa sayang beliau kepada Wulan sementara Wulan hanya berakting setiap kali memperlakukan ibu dengan baik. Buktinya, sudah sebulan Wulan tidak datang mengunjungi ibu baik ke rumah maupun ke restoran barang sebentar saja padahal jalan ke kantornya melewati restoran milik ibu. Wulan selalu beralasan kalau dia sangat sibuk. “Iya Bu.” Archio menyahut. “Kalau gitu Ibu pulang ya, pak Tono udah nunggu di mobil … Ibu titip salam sama Wulan ya, bilang sama dia kalau Ibu kangen.” Hati Archio terasa ngilu, dia menganggukan kepala sambil tersenyum lalu bangkit dari kursi. Meraih tangan ibu mengecup bagian punggung tangannya. “Hati-hati ya, Bu.” Archio juga tidak lupa mengecup kening ibu. Archio menatap punggung ibu yang menjauh dengan sorot mata sendu. Sudah lima tahun pernikahannya dengan Wulan tapi mereka belum juga diberi momongan. Meski Archio tahu kalau ibu sangat menginginkan cucu tapi tidak sekalipun satu kata terucap dari mulut ibu menanyakan perihal anak. Bahkan ibu berusaha menegarkan Wulan sewaktu Wulan keguguran dan mengatakan kalau yang terpenting sekarang Wulan sehat dan selamat. Archio jadi merasa bersalah karena telah keliru mencari istri. Setelah menyelesaikan makan malamnya, Archio pamit kepada mbak Natalia yang merupakan Manager restoran. Wanita yang beda usia lima tahun darinya itu adalah orang kepercayaan ibu untuk menangani operasional di restoran cabang utama ini. “Mbak, aku pulang ya.” “Kamu sendiri saja? Istri kamu mana?” “Sibuk, Mbak.” Archio berdusta. Sesungguhnya dia juga tidak tahu apakah Wulan sudah sampai ke rumah atau belum karena mereka jarang bertukar pesan bila tidak ada urusan penting. “Masa sibuk terus sih? Udah sebulan lho, Mbak enggak liat batang hidungnya … ibu pernah bilang, dia khawatir kamu sama Wulan sedang memiliki masalah rumah tangga karena Wulan udah lama enggak dateng untuk bertemu ibu.” Natalia sudah seperti kakak bagi Archio, dia bekerja semenjak lulus SMA bahkan ibu yang membiayai kuliahnya dan untuk membalas budi, dia bukan hanya meng-handle restoran cabang utama saja tapi juga turut masuk dalam kehidupan keluarga Byantara yang hanya tinggal Archio dan ibu Prita saja sepeninggalan mendiang ayah Archio sepuluh tahun lalu. Archio tidak menanggapi ucapan Natalia, dia hanya tersenyum tipis dan saat melihat sorot mata Archio—Natalia tahu kalau firasat ibu yang pernah diadukan kepadanya adalah benar. Archio sedang memiliki masalah rumah tangga dengan Wulan. “Ada masalah apa kamu sama Wulan? Cerita sama Mbak, biar Mbak yang negur dia.” Archio tersenyum getir. “Siapa bilang Wulan yang salah? Gimana kalau aku yang salah, Mbak?” Archio sering instropeksi diri, dia tidak pernah langsung menyalahkan Wulan. Dia beranggapan perubahan sikap Wulan pasti disebabkan oleh kesalahan dirinya. Jadi Archio terus mencari-cari kesalahannya sendiri agar bisa dia perbaiki dan Wulan bisa menerimanya kembali. “Karena kalau kamu salah, kamu enggak akan semenderita ini … cepet cerita!” Natalia memang agak galak, ketus dan jutek. Tapi dia sangat sayang kepada ibu dan Archio. Meski dia adalah seorang perempuan namun dalam hal melindungi ibu dan Archio, Natalia akan selalu maju paling depan. “Memang keliatan banget ya, Mbak?” “Keliatan banget, Archi … kamu loyo, mata kamu sendu, kamu juga seperti enggak bersemangat … dan kalau Mbak tahu, ibu juga pasti tahu.” Archio mengusap wajahnya, dia yang sudah akan pergi malah duduk lagi di meja dekat sana. “Ceritakan sama Mbak, apa yang terjadi … siapa tahu Mbak bisa bantu.” Natalia duduk di depan Archio, memfokuskan diri mendengar cerita pria itu. “Entah lah Mbak, aku juga bingung … rumah tangga kami semakin ke sini semakin dingin, kita cuek-cuekan bahkan jarang bertegur sapa … awalnya mungkin karena kami sibuk kerja pergi pagi pulang malam tapi weekend pun Wulan lebih suka menghabiskan waktu bersama teman-temannya ….” “Ya dilarang donk Archi, kamu kepala rumah tangganya, tegas donk!” Natalia jadi gemas. “Aku enggak mau berantem, Mbak … karena Wulan pasti marah.” “Sudah Mbak duga, kalau sifat asli Wulan itu jelek, dia kalau di depan kita aja kaya malaikat … Pantesan, kalau enggak tulus itu berasa ya.” Natalia misuh-misuh. “Soalnya dulu, saat memulai usaha … aku menghabiskan banyak waktu dan pikiran sampai melupakan Wulan … jadi ketika dia ijin pergi sama teman-temennya ya aku ijinin bahkan sampai liburan ke luar kota atau luar Negri aku kasih ijin juga biar dia bahagia.” Natalia menggelengkan kepala. “Udah salah kamu ngedidik istri, segera perbaiki … ambil kendali, melarang bukan berarti jahat dan enggak sayang ….” Natalia memberikan nasihatnya sampai beberapa jam ke depan dan malam semakin larut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN