Apakah ini saatnya aku menyerah?

1449 Kata
Bianca pikir, ia sudah siap untuk bertemu Nathan. Tapi nyatanya tidak, kesiapan yang ia bangun perlahan seketika lenyap berganti kegugupan luar biasa ketika pintu ruang rawatnya terbuka dan menampilkan sosok yang selama tiga bulan terakhir ia hindari. Bianca pikir dirinya bisa menghadapi tatapan Nathan yang menunjukkan sorot mata penuh cinta, sayangnya ia gagal dan tak mampu menahan gejolak di d**a. Spontan Bianca membuang muka, menghindari kejaran mata Nathan yang tak beranjak sedikitpun dari dirinya. Kamu harus bisa Bianca! Bianca menegaskan sekali lagi pada dirinya sendiri, bahwa ia harus bisa melakukannya meski batinnya tak sanggup. Ia akan mengakhiri semuanya di sini, hari ini dan mulai menata kembali hidup masing-masing setelah ini. Ya, aku pasti bisa. "Hai." Sapaan lembut yang pertama kali Nathan ucapkan saat tiba di hadapannya. "Sudah mulai membaik?" Dan bertanya akan keadaan Bianca, terdengar seperti basa-basi tapi Nathan bersungguh-sungguh saat menanyakannya. Ia lega bisa melihat keadaan Bianca mulai terlihat membaik, meski setiap kali melihat kedua pergelangan tangan Bianca membuat batinnya menjerit-jerit sakit. Nathan merasa jika dirinyalah yang menjadi penyebab atas kesakitan Bianca tersebut. "Aku senang kamu akhirnya mau menemuiku. Aku——" "Langsung to the point saja." Bianca menyela ucapan Nathan, mengalihkan pandangan ke sekeliling demi menghindari kontak mata dengan laki-laki itu. Ia tak mau pendiriannya akan goyah jika ia beradu tatap dengan Nathan. "Langsung ke intinya saja, aku mau kamu berhenti." "Why?" Nathan sontak mempertanyakan ketika mendengar permintaan tidak masuk akal dari Bianca. Bagaimana bisa Bianca langsung to the point memintanya berhenti tanpa mempedulikan pengorbanannya untuk memperjuangkan cinta Bianca. Bahkan ia rela meninggalkan semua hal yang selama ini penting baginya, termasuk tanggung jawab terhadap perusahaan milik papanya. Lalu sekarang di saat ia masih berjuang mati-matian, mendadak Bianca minta dirinya berhenti. What the hell!!! Tentu saja Nathan tidak bisa. "Beri aku alasan kenapa aku harus berhenti," lanjut Nathan, meminta kejelasan atas permintaan Bianca yang menyuruhnya berhenti memperjuangkannya. "Alasannya sudah jelas, aku tidak mencintaimu." Bohong! Ucapan Bianca bertentangan dengan perasaannya saat ini. Jantungnya saja masih berdebar hanya karena keberadaan Nathan di dekatnya, darahnya berdesir setiap kali mendengar napasnya yang terdengar berat dan aroma maskulin yang membuat Bianca tak bisa membendung gejolak dalam d**a. Ditambah bayangan saat mereka bercinta terakhir kali, mana mungkin keyakinan Bianca tak goyah. Namun, sekali lagi Bianca harus melawan semua itu. Ia harus mengenyahkan semua perasaannya dan mengalah demi kebaikan bersama. Ia merasa jika dirinya dan Nathan tidak akan berhasil dalam sebuah hubungan, Bianca merasa kalau Nathan belum selesai dengan masa lalunya dan Bianca juga belum selesai dengan bayang-bayang wanita itu. Wanita yang sempat bertunangan dengan Nathan, Bianca merasa jadi orang jahat jika dirinya tetap menikah dengan Nathan sekalipun wanita itu telah tiada. Nathan berdecih, tak habis pikir. Bagaimana bisa ia mempercayai omong kosong yang barusan Bianca lontarkan. Ia berani bersumpah kalua Bianca sebenarnya masih mencintainya dan entah untuk alasan apa Bianca mengatakan hal itu. Mungkin karena keadaan mereka yang berbeda membuat ia tak bisa meneruskan hubungan yang bahkan belum pernah dimulai. "Bohong!" sergah Nathan, menarik kedua bahu Bianca dan memaksa menghadapnya. "Katakan sekali lagi kalau kamu memang benar tak mencintaiku." Nathan tahu Bianca berbohong, lantas ia memaksa wanita itu mengulangi ucapannya di saat kedua sorot matanya berhasil ia kunci. Bianca menelan ludah, gelagapan. Bagaimana bisa ia mengatakannya, dengan tatapan yang tak bisa lepas dari pesona Nathan di hadapannya. Mata itu, mata beriris hitam yang begitu tegas, Bianca menyukainya. Hidung mancung, bibir tipis dan alis yang agak tebal, Bianca mana bisa mengabaikan segala hal indah yang ada pada diri Nathan, hal-hal yang dulu pernah ia kagumi. Batinnya menjerit terluka, tak ingin pisah. Tapi bayangan Sera terus muncul di dalam pikirannya, kata-katanya terus terngiang-ngiang membuat Bianca ingin menyerah detik ini juga. "Tolong pergi dari hidup Nathan, tolong berhenti menjadi bayang-bayang di hubungan kami. Aku dan Nathan saling mencintai, tapi keberadaanmu selalu membuat Nathan sering kali goyah. Kumohon, pergilah dan jangan temui Nathan. Sampai kapan pun, aku tak akan melepas Nathan, sekalipun aku mati nanti, aku akan selalu mencintainya." "Katakan," suruh Nathan menggebu-gebu. "Katakan kalau kamu memang tidak mencintaiku, Bianca. Kau tak bisa 'kan?" Sudah Nathan duga, Bianca tak akan bisa mengatakannya karena memang wanita itu masih mencintainya sepenuh hati, seperti dirinya yang mencintai Bianca segenap perasaan yang ia miliki. Semuanya buat Bianca. Bianca membuang muka, kalah dalam peperangan. Tapi bukan berarti ia menyerah dan mengakui apa yang Nathan katakan, sampai akhir Bianca masih menyangkal perasaannya kepada Nathan. "Aku tak mencintaimu, Nathan. Kumohon, akhiri semua ini. Kamu membuatku tidak nyaman, aku merasa tersiksa." Rengkuhan Nathan pada kedua bahu Bianca seketika terlepas, tepat saat ucapan dari bibir Bianca terlontar. Nathan terpukul, tak menyangka Bianca akan berkata seperti itu padanya. Entah jujur ataupun bohong, tapi cara Bianca mengungkapkannya jelas bertujuan agar Nathan menyerah dan berhenti. Sebegitunya Bianca ingin Nathan berhenti. "Tersiksa?" gumam Nathan, tersenyum miris. "Kamu tersiksa karena cintaku atau karena keberadaanku?" Meski batinnya menjerit perih, Nathan masih berusaha tetap tegar dan terlihat tenang berkharisma. Ia sama sekali tak kehilangan ketampanannya walau ekspresi kesedihan bercampur kecewa begitu kentara di wajahnya. "Beri aku jawaban yang tepat." Bianca meremas selimut yang membungkus kakinya, matanya terasa perih, genangan di pelupuk mata merangsek keluar. Tapi Bianca berusaha menahannya, tak akan menunjukkan kelemahannya di depan Nathan. "Keduanya," jawab Bianca, tak peduli lagi jika jawabannya mungkin saja akan melukai perasaannya. "Sudahlah Nathan, mari akhiri semua sampai di sini. Kita harus tetap hidup, jadi mari lepaskan beban masing-masing." Beban? Nathan tersenyum pedih, siapa kira jika perasaan cintanya dianggap beban oleh Bianca. Haruskah Nathan menyerah? "Kenapa?" Hanya itu yang berhasil Nathan katakan, dari banyaknya pertanyaan yang bermunculan di dalam pikirannya. "Karena aku ingin hidup tenang, aku ingin kembali damai, tanpa perlu merasa terbebani oleh apa pun itu," ungkap Bianca, semakin kuat mencengkram selimut. Percayalah, hatinya terasa terkoyak saat mengatakan hal ini pada Nathan. Sejujurnya ini berat buat Bianca, tapi ia percaya bahwa ini yang terbaik buat ia dan Nathan. Nathan mengembuskan napas kasar, sedikit mendongak demi menghalau air mata yang seolah memaksa menerobos keluar. Sepertinya keputusan Bianca sudah bulat, maka Nathan tak akan memaksa. Namun, Nathan masih belum ingin menyerah pada Bianca, ia masih ingin memperjuangkan perasaannya pada wanita itu. "Baiklah, aku akan memberimu waktu untuk itu. Aku tidak akan berhenti, aku hanya akan menjedanya. Maaf, aku egois. Tapi aku tak bisa menyerah padamu Bianca, enggak bisa. Mari saling berjanji beberapa hal," ucap Nathan. Bianca sontak menoleh, mata beningnya berair. Wanita itu tak bersuara, tapi tatapannya cukup menandakan bahwa ia merespon ajakan Nathan. "Jangan lagi kabur dan melarikan diri, berhenti bersembunyi dan jalani kehidupanmu dengan nyaman mulai dari sekarang. Jangan sekali-kali kamu coba buat menyakiti diri sendiri, sesulit apa pun berjanjilah untuk tetap hidup." Bianca tertegun mendengar permohonan Nathan terhadap dirinya. Dengan suara bergetar, Bianca meresponnya. "Sampai kapan?" Menatap lekat-lekat mata Nathan, mencari kebenaran pada sorot mata lelaki itu. "Sampai kapan kamu akan bertahan? Bukankah lebih baik akhiri sekarang saja?" "Satu tahun, aku pikir itu waktu yang sangat lama. Mari bertemu lagi setelah satu tahun, jika setelah satu tahun perasaan kita masih sama, berhenti memintaku untuk menyerah padamu, Bianca. Aku harap selama satu tahun, kamu bisa menata kembali kehidupanmu, bukan sibuk berlari mencari tempat sembunyi dan jangan cari pelarian. Aku berjanji, selama satu tahun aku tak akan mengganggumu, bahkan jika kita tak sengaja bertemu, aku akan pura-pura tak melihatmu. Aku tahu itu sangat menyiksa nantinya, tapi jika itu bisa membuatmu tenang dan tidak berpikir singkat seperti sekarang, aku akan berusaha melauinya. Kamu bersedia?" Bianca ragu. Haruskah ia menyanggupi janji itu? Mampukah Bianca melaluinya? Ketika mati selalu jadi solusi paling tepat menurutnya. "Kamu harus bersedia jika ingin aku berhenti sejenak." Nathan tak memberi kesempatan Bianca menolak, ia meraih tangan Bianca dan menjabatnya sebagai tanda kesepakatan. "Setahun lagi, di tanggal dan jam yang sama aku akan menemuimu." Bianca tak bisa berkata-kata, pikirannya mendadak ngeblang saking banyaknya hal bermunculan di dalam kepala saling merongrong satu sama lain. Bianca tak bisa mencerna apa pun yang Nathan katakan, karena fokusnya terambil sepenuhnya oleh tatapan laki-laki itu yang seakan menghipnotis dirinya dan seolah merenggut seluruh kewarasan. Hingga tanpa bisa dibendung lagi, keinginan untuk merengkuh pun ia realisasikan. Nathan terkesiap saat tangan Bianca satunya yang terbebas justru menarik kerah kemejanya, memaksanya memangkas jarak dan merenggut ciumannya tanpa izin. Nathan tak menyangka akan mendapatkan ciuman dari Bianca, di saat dirinya mati-matian menahan agar tidak mencium paksa wanita yang dicintainya itu. Gerakan amatir dan terburu-buru Bianca, menarik sisi intim Nathan untuk menuntun, mendominasi dan mengambil alih kendali sepenuhnya. Tanpa memikirkan di mana mereka saat ini berada, Nathan memimpin tarian lidah yang membuat keduanya lupa diri, hingga tak sadar jika aksi keduanya tengah menjadi tontonan seseorang. Adam yang baru saja tiba, dengan menenteng paper bag berisi makanan kesukaan Bianca, hanya bisa terpaku di depan pintu ruangan yang tertutup rapat, memandang penuh luka lewat kaca pada pintu, pemandangan yang merusak pandangan dan perasaannya. Apakah ini saatnya aku menyerah?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN