Nathan mengembuskan napas kasar, memandang keindahan kota Jogja dari kamar hotelnya. Ia sengaja memilih penginapan di dekat rumah sakit guna mempermudah setiap langkahnya, tak sedetik pun Nathan ingin melewatkan perkembangan soal Bianca yang masih dirawat di rumah sakit. Sudah seminggu berlalu, Nathan masih nekat mendatangi ruangan Bianca agar bisa bertemu dengan wanita itu. Walau hasilnya tetap sama, Nathan akan berakhir diusir, juga mendapatkan pukulan yang membekas dari kedua bodyguard Sandra jika dirinya memberontak ataupun melawan mereka.
Di sore hari, di dalam kamar hotelnya, Nathan menatap lurus bangunan rumah sakit yang ada di seberang jalan. Tepat berada lurus dengan pandangannya saat ini. Nathan terus memandanginya setiap kali ia berada di kamar hotel, seolah dari sini ia bisa melihat Bianca yang berada di salah satu ruangan VIP teratas dari bangunan tersebut.
"Aku akan pulang setelah pekerjaanku di sini selesai Pa." Nathan berucap kepada seseorang di telepon yang tak lain papanya. "Nathan usahakan secepatnya." Sang papa mempertanyakan kepergiannya yang mendadak dan meninggalkan segudang pekerjaan, mengingat tanggung jawab di perusahaan papanya kini sudah ia ambil alih sepenuhnya. "Nathan janji pa, secepatnya Nathan akan kembali."
Nathan pun merasa bersalah karena sudah mangkir dari pekerjaan dan membuat papanya harus kerepotan meng-handle semuanya sendiri. Namun, Nathan juga tak bisa meninggalkan Bianca yang ada di depan mata. Ia tak bisa harus kehilangan wanita itu lagi tanpa menjelaskan kesalahpahaman di antara mereka, juga memperjuangkan perasaannya. Tapi mungkin ini kali terakhir ia akan berjuang. Bukan, bukan berarti Nathan mau menyerah dan membiarkan Bianca pergi lagi darinya maupun membiarkan orang lain merebutnya. Nathan tidak akan membiarkan hal itu terjadi, hanya saja ia perlu memberi waktu pada Bianca untuk berpikir, merenungkan semuanya dan berakhir menentukan akan seperti apa hubungan mereka, seperti yang Leon katakan kemarin.
"Jangan membuatnya tertekan, itu malah membuat Bianca tak menyadari ke mana hatinya pergi. Beri dia sedikit ruang dan waktu untuk berpikir, jangan membuatnya malah stress karena harus mendengar keributan setiap hari. Kalau kau memang mencintai Bianca, jangan egois. Tolong pikirkan keadaan Bianca juga, dia harus pulih."
Leon benar, selama seminggu ini dirinya tak memberikan sedikitpun ketenangan buat Bianca yang sedang menjalani pemulihan. Setiap hari, setiap saat, pagi siang sore, Nathan tak pernah berhenti mendatangi dan mencoba menerobos masuk ruang rawat Bianca. Meskipun usahanya selalu saja gagal karena ketatnya penjagaan dua bodyguard Sandra. Wanita itu juga tak memberikan dirinya kesempatan untuk bertemu Bianca dan selalu mengatakan kalau Bianca sendiri menolak bertemu dengannya. Sebenarnya Nathan tak pernah mempercayai omong kosong Sandra tersebut, menganggap itu hanya akal-akalan Sandra agar dirinya pergi. Namun, setelah melihat rekaman yang Leon tunjukkan kemarin, Nathan tersadar jika memang benar Bianca yang menolak bertemu dengannya. Entah mengapa wanita itu seperti membangun tembok besar agar Nathan kesulitan melewatinya. Apa mungkin karena Bianca tak lagi mencintainya?
Tidak mungkin! Hati kecil Nathan menyangkal. Ingatannya juga mempertegas bagaimana ekspresi dan binar mata Sandra saat pertama kali mereka bertemu di pantai, hingga berakhir di atas ranjang saling menghangatkan satu sama lain malam itu. Nathan tak pernah lupa, bagaimana wajah cantik Sandra saat berkali-kali menggumamkan namanya dengan suara putus asa dan mengatakan kata-kata bermakna cinta. Nathan tahu, kalau sebenarnya Bianca masih sangat mencintainya, terlihat jelas dari sorot matanya. Lalu kenapa wanita itu bersikap seakan-akan membencinya? Nathan masih penasaran alasan Bianca menolak bertemu dan tak memberinya kesempatan sekali saja. Apa mungkin ini masih karena Sera?
"Nathan, kau dengar papa?" Suara dari seberang telepon menginterupsi. Nathan buru-buru menyahut.
"Iya Pa, Nathan dengar kok." Walau tidak sepenuhnya dengar apa yang diucapkan papanya barusan. Ia sempat melamun, pikirannya mendadak terbayang-bayang wajah Bianca sampai ia tak bisa fokus pada papanya yang tengah berbicara di telepon.
"Pokoknya papa nggak mau tahu, kamu harus pulang besok pagi. Papa keteteran urus ini sendiri. Dokter juga sebenarnya minta papa buat bedrest, tapi papa nggak bisa meninggalkan kekacauan di perusahaan begitu saja. Kamu tahu kan bagaimana usaha papa merintisnya dari nol, papa nggak mau usaha papa berakhir sia-sia karena bangkrut."
Sekali lagi Nathan merasa sangat egois, hanya mementingkan diri sendiri. Padahal saat ini sang papa sangat bergantung padanya, paska operasi usus buntu, harusnya sang papa memang istirahat total, itu kenapa perusahaan diambil alih sepenuhnya oleh Nathan. Tapi saat mengetahui keberadaan Bianca, Nathan tanpa pikir panjang meninggalkan pekerjaannya begitu saja demi menyusul wanita pujaannya.
"Iya Pa, aku akan pulang besok." Nathan terpaksa mengambil keputusan tergesa-gesa, karena ia tak mungkin membiarkan papanya kembali sibuk dengan pekerjaan di masa-masa pemulihannya. "Nathan akan ambil penerbangan pagi." Itu artinya Nathan harus menyelesaikan urusannya hari ini juga. "Iya, sementara pekerjaan biar Erik yang handle, papa istirahat aja. Oke?"
Nathan merasa lega setelah mengatakan dirinya akan pulang yang disambut senang sang papa. Meski rasanya berat harus mengakhiri perjuangannya sedini mungkin. Tapi Nathan juga tak bisa bersikap egois pada seseorang yang sudah mengorbankan banyak hal demi kehidupannya selama ini, yaitu papanya sendiri yang telah banyak berjasa. Jika saja tak ada beliau, mungkin Nathan akan berakhir diaborsi ataupun mati dalam kandungan sang mama.
'Aku ingin bertemu, ini terakhir kalinya, setelah ini aku tak akan mengganggumu lagi.'
Nathan mengirimkan pesan ke nomor Bianca, menyusul pesan-pesan sebelumnya yang tak pernah berbalas. Ia bersyukur karena Bianca tak memblokir nomornya kali ini, meski pesan-pesannya hanya dibuka tak kunjung dibalas. Setidaknya Bianca bisa melihat bagaimana frustrasi ia saat ini karena tak bisa menemuinya. Nathan sangat ingin bertemu, ingin memastikan sekali lagi perasaan Bianca padanya. Walau jika ternyata benar Bianca tak menaruh perasaan lagi padanya, Nathan tak akan menyerah begitu saja. Ia hanya akan pergi sementara waktu, memberikan ketenangan sebentar pada Bianca, saat waktunya sudah tepat ia akan memperjuangkan kembali. Ya, tekad Nathan sudah bulat, seiring dengan langkah kakinya menuju ruangan Bianca.
"Mau apa kau ke sini lagi?" Sambutan sinis Sandra menghentikan langkah kaki Nathan tepat di depan ruang rawat Bianca. "Pergi! Bianca tak mau menemuimu!"
"Sekali saja San, untuk yang terakhir kali. Besok aku akan kembali ke Jakarta, jadi izinkan aku bertemu dengan Bianca kali ini saja," ucap Nathan penuh harap. Berharap Sandra akan sedikit iba dan membiarkan ia bertemu dengan Bianca untuk terakhir kali.
Namun, bukan Sandra namanya kalau luluh secepat itu. "Aku tidak peduli!" Lihat, Sandra benar-benar keras kepala dan tidak peka. "Bianca sendiri yang menolak bertemu denganmu. Jadi sebaiknya kau berhenti Nathan, jangan datang-datang lagi karena jawabannya tetap sama. Tidak!" Sandra menekankan kata terakhirnya.
Nathan tidak bisa kembali berakhir diusir, lantas ia pun nekat berlutut di depan Sandra yang berdiri di depan pintu ruang rawat Bianca yang tertutup rapat. Tentu saja aksi Nathan membuat Sandra terkejut dan tak habis pikir.
"Nathan, apa yang kau lakukan? Kau sudah gila———" Sandra terkesiap, karen Nathan memohon kepadanya.
"San, please. Kasih aku kesempatan, biarkan aku sendiri yang mendengar langsung dari mulut Bianca. Setelah ini aku janji tak akan mengganggunya. Kumohon, setidaknya biarkan aku memastikan sendiri bahwa memang Bianca yang menginginkan aku pergi." Nathan benar-benar memohon, tak lagi peduli jika harga dirinya akan diinjak-injak karena memohon seperti ini.
"Heh, Nathan. Kau pikir aku mengada-ngada? Kau pikir aku yang mengarang cerita kalau Bianca tak mau bertemu denganmu. Kau gila? Untuk apa aku melakukan itu semua!" Sandra tersulut, tidak senang dengan ucapan Nathan yang secara tidak langsung menuduhnya mengada-ngada soal Bianca yang tidak mau bertemu. Padahal memang benar Bianca enggan bertemu dengannya.
"Bukan begitu, tapi——"
"Tapi apa?"
"San, please. Aku tak ingin membuat keributan, aku hanya ingin bertemu Bianca buat terakhir kali." Nathan berusaha sabar, meski respon Sandra cukup menjengkelkan.
Bianca yang tengah memandangi pesan dari Nathan, mendengar jelas keributan di luar ruangan. Sudah seminggu dan Nathan masih belum juga menyerah. Sepertinya Bianca memang harus mengambil sikap tegas seperti yang Adam katakan tempo hari kepadanya.
"Kau tak bisa membiarkan seseorang terus berjuang tanpa kepastian, juga membuatmu tersiksa sendiri seperti sekarang. Bukankah sudah waktunya kau mengambil sikap? Apa pun pilihannya, aku yakin kau lebih tahu mana yang terbaik untuk dirimu sendiri. Jangan khawatir, apa pun keputusan kau nanti, aku akan selalu mendukungmu, Bianca."
Bianca melirik selembar kertas di atas nakas, selembar kertas yang Nathan titipkan pada Sandra tempo hari. Bianca sudah selesai membacanya, di mana selembar kertas itu merupakan pesan terakhir yang Sera berikan pada Nathan. Seperti yang dikatakan, Nathan dan Sera memang hanya pura-pura bertunangan, tapi kenyataannya perasaan Sera pada Nathan terlampau nyata. Hal itu yang membuat Bianca kepikiran selama beberapa hari ini.
"Kalian berdua, kenapa diam saja! Usir dia!" Suara lantang Sandra di luar menginterupsi lamunan Bianca. Tahu apa yang tengah dilakukan Sandra terhadap Nathan, buru-buru Bianca menelepon Sandra yang langsung diangkat oleh sang empunya. "Halo."
"San, aku ingin bicara berdua dengan Nathan." Akhirnya dengan segenap keyakinan, Bianca mengambil keputusan untuk bertemu Nathan. Ia harus mengakhiri keadaan ini, keadaan yang sama-sama membuat ia dan Nathan begitu tersiksa satu sama lain. "Biarkan dia masuk."