Bianca lupa apa yang membuatnya sampai terdampar di tempat asing beraroma menyengat yang menusuk indera penciumannya. Seolah bangun dalam kondisi amnesia, ia sama sekali tak ingat apa-apa kenapa dirinya bisa terbangun di atas ranjang rumah sakit. Hingga pandangannya jatuh pada kedua pergelangan tangannya yang dibalut perban, barulah Bianca ingat apa yang menyebabkan dirinya sekarang berada di rumah sakit dalam pengawasan dokter dan seseorang yang begitu over protective mengkhawatirkannya.
Rasanya pelariannya jauh-jauh sampai ke Jogja berakhir sia-sia. Karena sejauh apa pun dirinya lari ataupun bersembunyi, orang-orang akan dengan mudahnya menemukan. Apalagi Sandra dengan segala previllage yang dimiliki, bukan hal sulit untuk menemukan dirinya. Bianca tak masalah, tapi yang jadi masalahnya bukan hanya Sandra yang berhasil menemukannya melainkan juga Nathan.
"San, please. Biarkan aku masuk, aku ingin bertemu dengan Bianca. Kumohon, hanya sebentar saja."
"Tidak, sekali tidak ya tidak. Apa kau tak dengar Nathan? Lagipula Bianca sendiri yang tidak mau menemuimu, jadi pergilah!"
"Aku nggak akan pergi sebelum bertemu dengan Bianca. Ada hal yang harus aku jelaskan, kumohon izinkan aku melihatnya, seenggaknya aku ingin memastikan dia baik-baik saja."
"Bianca akan jauh lebih baik-baik saja jika kau tak di sini. Apa kau belum paham juga? Pergilah dan jangan pernah ke sini lagi!"
Keributan itu lagi. Sudah tiga hari semenjak Bianca tersadar pertama kali di rumah sakit. Pagi, siang, sorenya tak luput dari mendengar keributan di luar ruang rawatnya. Selalu hal yang sama memicu kericuhan di depan sana, siapa lagi kalau bukan Nathan yang bersikukuh ingin menemuinya dan Sandra bersikeras melarang. Bahkan demi menghalangi kenekatan Nathan yang ingin menerobos ruang rawatnya, Sandra sampai harus menugaskan dua orang bodyguard-nya untuk berjaga di depan pintu. Tapi nyatanya hal tersebut tak membuat Nathan menyerah, malah semakin menggila dengan memaksakan diri untuk tetap masuk. Alhasil keributan pun selalu saja terjadi dan Bianca hanya bisa termenung di dalam sini mendengarkan.
"Nathan cukup!" Terdengar suara Sandra berteriak nyaring, pertanda wanita itu sudah sangat muak sekali dengan keadaan Nathan yang keras kepala. "Apa kau tak lelah?"
Sayangnya tidak. Nathan tak pernah lelah jika itu berkaitan dengan Bianca. Ia sudah bertekad untuk memperjuangkan Bianca, jadi ia tak akan menyerah begitu saja sekalipun banyak rintangan menghadangnya. Nathan tak akan berhenti, bahkan setelah mendapatkan penolakan dari Bianca sendiri. Ia tahu betul, Bianca masih belum bisa menerima keberadaannya sampai menolak untuk bertemu, tapi bukan berarti itu jadi alasan Nathan berhenti memperjuangkan cinta Bianca. Ia tahu kalau sebenarnya Bianca masih mencintainya, sangat mencintainya. Itu sebabnya ia tak akan menyerah dan akan terus memperjuangkan.
"Enggak, aku sama sekali nggak lelah. Aku tak akan berhenti sebelum aku bertemu dengan Bianca." Nathan menegaskan pada Sandra bahwa perjuangannya tak akan pernah usai.
Sandra menghela napas kasar. "Terserah, tapi intinya Bianca sudah tidak mau melihat batang hidungmu lagi. Jadi sebaiknya kau pergi, atau———"
"Atau apa?" sela Nathan, sudah bisa menduga apa yang akan dilakukan Sandra terhadap dirinya yang bebal ini. "Kau akan mengusirku lagi? Menyuruh anak buahmu menghajarku?" Nathan tersenyum sinis. "Aku tidak peduli, hal itu tidak akan menghentikan aku!"
"Sepertinya kau sudah mulai terbiasa. Kalau begitu jangan salahkan aku." Sandra sama sekali tak iba, meski wajah Nathan babak belur dengan bekas pukulan yang masih sangat membekas, ia kembali memerintah dua bodyguard-nya untuk mengurus Nathan.
Dan seperti yang sudah-sudah, Nathan akan memberontak sekalipun ia kalah tenaga. Laki-laki itu benar-benar gigih, masih berteriak memanggil nama Bianca meskipun tubuhnya tengah diseret paksa oleh dua orang berbadan besar.
"Bi, aku nggak akan menyerah. Aku akan datang lagi, nanti, besok, lusa, dan seterusnya sampai kau mau menemuiku. Aku tak akan berhenti, selagi napasku masih, aku akan terus berjuang mendapatkan maafmu!"
Bianca meremas selimut yang membungkus kakinya, matanya memanas dan tanpa bisa dihalau air matanya jatuh membasahi pipi. Selalu saja begini, ia akan menangis setiap kali mendengar Nathan meneriakkan kesungguhannya untuk memperjuangkan dirinya. Hatinya bereaksi setiap kali mendengarnya, tapi ego selalu melarangnya untuk luluh. Ia selalu menegaskan pada dirinya sendiri, bahwa wanita sepertinya tak pantas dicintai oleh laki-laki seperti Nathan. Ia terlalu bernoda untuk cinta Nathan yang begitu tulus padanya.
"Dasar bebal!"
Bianca buru-buru mengusap kasar kedua pipi dan sudut-sudut matanya, ketika derit pintu ruang rawatnya terbuka. Sandra masuk sambil menggerutu sebal karena ulah Nathan yang membuatnya jenuh dan tak tahan karena laki-laki itu seakan tidak ada kapoknya. Bagaikan hama bebal yang selalu tumbuh subur, padahal sudah diberi racun pestisida dan sebagainya.
"Maaf, kau pasti terbangun karena keributan barusan." Sandra berjalan menghampiri Bianca.
Bianca membalasnya dengan seulas senyum tipis. "Aku harusnya yang meminta maaf padamu karena harus membuatmu kelelahan menghadapinya setiap waktu. Itu pasti sangat melelahkan, ditambah keadaanmu sekarang, itu pasti merepotkan———"
"Tuh kan," sela Sandra, seakan sudah hapal apa yang akan dikatakan Bianca selanjutnya. Ia bosan mendengarnya karena memang Bianca selalu mengatakannya setiap kali ia selesai mengusir Nathan. "Berhenti bilang seperti itu. Aku sama sekali nggak keberatan, meski repot dan melelahkan, itu bukan masalah. Bagiku yang terpenting adalah kenyamanan kamu, Bi. Bagaimanapun aku ingin kamu cepat pulih, atau kamu mau mempertimbangkan tawaran aku kemarin? Di Jakarta kamu akan jauh lebih aman dan mendapat perawatan yang lebih baik. Aku bisa pesan kamar khusus buat kamu agar Nathan tak bisa mendatangimu seperti tadi. Tenang saja, Bara punya rumah sakit dengan keamanan super ketat, aku yakin Nathan tak akan bisa menerobosnya."
Tawaran Sandra memang cukup menjanjikan, jika tujuannya untuk menghindari Nathan. Namun, entah mengapa rasanya terlalu berat untuk kembali ke Jakarta dan membangkitkan seluruh kenangan yang sedang susah payah ingin ia lupakan. Di kota itu, banyak sekali kenangannya bersama Nathan dan Bianca takut kenangan-kenangan itu akan membuat pendiriannya goyah.
"Enggak." Maka keputusan Bianca tetap sama, menolak tawaran Sandra yang menurutnya bukan solusi tepat untuk sekarang. "Aku enggak apa-apa kok di sini."
Sandra menghela napas panjang, memberikan anggukan pasrah bahwa ia tak akan memperdebatkan walau sebenarnya ia sangat geregetan sendiri setiap kali mendapati penolakan Bianca atas solusinya. Menurutnya solusi yang ia tawarkan sangat tepat, mengingat betapa bebal dan nekatnya Nathan yang tak akan menyerah untuk bisa menemui Bianca. Tapi Sandra tak bisa memaksakan kehendaknya, bagaimanapun Bianca lebih tahu apa yang tepat untuk dirinya sendiri. Ia tak mau Bianca kabur lagi, maka Sandra sekarang tak akan mengekang dan memberi kebebasan Bianca untuk menentukan sendiri. Ia hanya akan memantau dan diam-diam membantu, seperti yang Leon sarankan kepadanya.
"Kau benar tidak mau menemuinya?" Sandra masih penasaran dengan Bianca yang menolak bertemu Nathan. Karena dari yang sering ia lihat, sebenarnya Bianca sangat tersiksa sendiri dan tampak merindukan Nathan. Sandra tahu kalau Bianca sama sekali belum move on, cintanya buat Nathan masih berkobar di dalam hatinya. Tampak jelas dari caranya yang diam-diam menangis setiap kali Nathan melakukan keributan agar bisa bertemu dengannya dan gumaman nama Nathan ketika Bianca tengah tertidur. Ya, Bianca selalu meracau dalam tidurnya dan selalu menyebut nama Nathan berulang kali.
Bianca menggelengkan kepala. "Tidak untuk sekarang ini," jawabnya.
"Why?" Meski sudah berkali-kali menahan diri, akhirnya Sandra tak tahan juga ingin tahu alasannya kenapa Bianca masih tidak mau menemui Nathan sekalipun ia sudah menceritakan semuanya perihal hubungan pura-pura Nathan dan Sera. "Apa karena rasa bersalah? Kalau iya, harusnya kau tak perlu merasa bersalah. Sudah aku jelaskan padamu kalau Nathan dan Sera cuma berhubungan pura-pura saja. Maaf, aku harusnya memberitahumu sejak awal. Aku terlalu egois karena mengedepankan ketidaksukaanku terhadap wanita itu dan Nathan yang mendadak memilih berhubungan dengannya, sampai-sampai aku menutup mata soal itu. Harusnya saat aku tahu kalau ternyata Nathan melakukannya karena suatu alasan, harusnya aku langsung memberitahumu."
Bianca tersenyum lembut, meraih tangan Sandra. "Enggak apa-apa, San. Aku sama sekali tak menyalahkanmu soal itu, lagipula alasannya bukan karena itu. Aku ... hanya belum siap saja bertemu lagi dengannya. Nanti saat aku siap, aku akan menemuinya."
"Kau akan memberinya kesempatan?" tanya Sandra, sangat penasaran.
"Entahlah," Bianca mengedikkan kedua bahunya, ragu, "aku belum memikirkannya. Tapi bisa jadi enggak." Ia tersenyum hambar, ada pedih yang tergambarkan jelas di kedua bola matanya. "Nathan laki-laki baik, harusnya dia mendapatkan wanita yang jauh lebih baik. Bukan wanita seperti aku, wanita yang sama sekali tak pantas bersanding dengannya." Bianca tersenyum kecut, selalu terngiang-ngiang apa yang pernah Sera ucapkan kepadanya sebelum ia memutuskan menyerah terhadap Nathan.
"Bi, sampai kapan kamu akan menganggap diri kamu serendah itu. Kata siapa kamu nggak pantas, kamu juga berhak mendapatkan cinta dari laki-laki baik yang tulus kepadamu. Meski aku sempat kecewa sama Nathan karena memilih berhubungan dengan Sera walau hanya sebatas pura-pura, tapi aku bisa melihat kalau sebenarnya Nathan sangat tulus padamu. Aku tak pernah melihat seseorang segigih itu memperjuangkan wanita yang dicintainya. Bahkan aku yakin Leon tak akan mau bertahan di posisi begitu, meski dia mencintaiku. Seandainya kamu lihat betapa putus asanya Nathan saat ini. Tapi semua memang kembali lagi padamu, Bi. Semua keputusan ada di kamu, aku hanya tidak mau terus-terusan melihatmu menyiksa diri sendiri."
"Menyiksa diri sendiri?" beo Bianca, seolah tidak mengerti maksud ucapan Sandra.
Sandra menatap lurus Bianca, tampak serius. "Berhenti berpura-pura di depanku, Bianca. Aku tahu, sebenarnya kau masih mencintai Nathan 'kan? Jangan batasi lagi perasaanmu, jangan buat batinmu tersiksa, kamu berhak bahagia, mungkin ini kesempatan yang tepat untukmu bahagia bersama orang yang tepat."
Bianca terdiam memangdang Sandra. Ia kaget karena ternyata Sandra bisa menebak isi hatinya, perasaan yang susah payah ia sembunyikan berhasil diketahui oleh Sandra. Entah Sandra yang terlalu hebat membaca perasaannya, atau memang Bianca yang terlalu bodoh menyembunyikan perasaannya pada Nathan. Kalau Sandra saja bisa membaca perasaannya segamblang itu, lantas Nathan pun pasti iya, mengingat Nathan sangat peka dalam membaca perasaannya. Apa karena itu juga Nathan mengatakan hal yang membuat Bianca kepikiran sampai saat ini?
"Sampai kapan kamu akan membohongi diri sendiri, Bianca? Sampai kapan kamu akan bertahan menyiksa diri seperti itu? Aku tahu apa yang kamu rasakan saat ini, jadi berhenti membatasi perasaanmu sendiri, Bi. Kamu berhak merasakaannya."
"Bi." Suara Sandra menginterupsi, menarik atensi Bianca sepenuhnya saat Sandra mengusap punggung tangannya. "Kamu tahu apa yang terbaik buat diri kamu. Kamu juga berhak bahagia, apa pun caranya, kamu berhak mendapatkan kebahagian itu. Aku tidak akan memaksamu, tapi kamu bisa memikirkannya, apakah dengan kamu menahan diri seperti sekarang kamu bahagia, atau kamu bisa mulai membebaskan perasaan itu. Aku yakin kamu bisa." Sandra tersenyum lebar, begitu tulus menyayangi Bianca yang sudah dianggap saudaranya sendiri. "Apa pun yang kamu pilih, aku akan selalu mendukungmu."
Bianca dilema, bingung dengan perasaannya saat ini yang mulai tak menentu. Ia mulai goyah dengan perasaannya sendiri, membuatnya semakin dilema. Haruskah aku membebaskan perasaan ini, atau melepasnya untuk selamanya.