Target

1621 Kata
Nathan duduk gelisah, gusar menunggu kabar dari orang suruhannya. Berkali-kali matanya melirik ponsel yang diletakkan di atas meja, berharap layar ponselnya akan menyala dan sebuah kabar bagus menyapa. Namun sudah berjam-jam berlalu, tak kunjung ada kabar juga. Sebenarnya Nathan sudah ada niatan untuk meninggalkan pulau ini, mencari sendiri keberadaan Bianca yang entah sekarang ada di mana. Tapi hati kecilnya menahan setiap langkahnya, meminta ia bertahan lebih lama karena berharap Bianca masih ada di pulau ini. Bisa saja Bianca sekarang sedang bersembunyi di suatu tempat, sengaja mengecoh dirinya agar pergi. Lalu setelah ia pergi, wanita itu akan kembali ke kamarnya. Pikir Nathan. Itu sebabnya ia memilih bertahan meski hari sudah petang dan waktu berjam-jam sudah ia habiskan dengan duduk menunggu kabar dari orang suruhannya yang sedang mencari Bianca di luar pulau ini. Nathan yang tak tahan lagi untuk menunggu, lantas segera mengambil ponselnya. Ia berniat menghubungi orang suruhannya, tapi hal itu terpaksa diurungkan ketika suara gaduh dari luar menginterupsi. Puncaknya saat pintu kamar dibuka secara paksa, dibarengi suara derit pintu yang begitu nyaring memekakkan telinga menarik atensi Nathan. Untuk sesaat Nathan yang spontan beranjak dari duduknya, seketika terpaku saat melihat siapa yang menerobos masuk ke kamar. Tanpa ba-bi-bu orang itu berjalan tergesa-gesa menghampirinya dan melayangkan tamparan keras tepat pada pipi Nathan. Plak! Suaranya begitu keras, menunjukkan seberapa kencang wanita itu menampar Nathan dengan kekuatan penuh. Diperkuat dengan pipi Nathan yang seketika memerah akibat bekas dari tamparan tersebut. "Sandra!" Seorang laki-laki yang sedari tadi mengikuti di belakang wanita itu langsung berseru, tak menyangka akan menyaksikan adegan barusan. "Sandra." Laki-laki itu Leon dan wanitanya sudah dipastikan Sandra. Leon berusaha menahan Sandra yang bersiap untuk melayangkan tamparan sekali lagi pada Nathan. "Sayang cukup, please, kamu udah janji buat nggak ngamuk-ngamuk begini." "Tapi Leon, dia harus dikasih pelajaran. Berani-beraninya dia datang kemari, terus sekarang bikin Bianca kabur!" teriak Sandra, begitu lantang sampai suaranya memenuhi ruang kamar yang tak begitu luas. Leon menghela napas panjang, berusaha sabar dan terus membujuk istrinya yang tengah dilanda emosi menggebu-gebu. "Aku tahu, tapi kita bisa bicarakan ini baik-baik sayang. Ingat, kamu lagi hamil, marah-marah begini nggak baik buat kehamilan kamu." "Tapi Leon---" Sandra tetap tidak setuju, ia tak akan puas jika belum memberi Nathan pelajaran. Karena gara-gara laki-laki itu sekarang Bianca kabur, tanpa ia tahu ke mana sahabat yang sudah ia anggap sebagai saudara sendiri itu pergi. "Nggak ada tapi-tapian, ingat kata dokter, kamu nggak boleh sering marah-marah, itu bisa berpengaruh ke kandungan kamu. Nggak mau kan kalau anak kita sampai kenapa-napa? Gimana kalau nanti anak kita punya darah tinggi?" Leon sengaja menakut-nakuti Bianca, supaya istrinya menurut dan usahanya berhasil. "Leon!" Bianca cemberut, tidak suka kalau Leon sudah mulai menakut-nakutinya dengan hal-hal yang berkaitan dengan calon buah hati mereka. "Yaudah, makanya jangan marah-marah. Ingat, aku turutin kamu ke sini bukan buat marah-marah. Tapi buat mastiin keberadaan Bianca," pungkas Leon, berhasil meredam amarah istrinya secara perlahan. Nathan mengembuskan napas kasar. Sejujurnya ia tidak ada waktu untuk menonton drama rumah tangga seperti yang ada di hadapannya. Tapi kenapa ia justru terjebak dan terpaksa melihat bagaimana dua orang suami istri itu saling memeluk. Sial! "E-eeh, mau ke mana kamu?" seru Sandra saat melihat Nathan yang hendak berjalan menuju pintu. Sontak ia melepas rengkuhan tangan Leon, memasang ekspresi garang lagi saat Nathan menoleh pada dirinya. "Jangan kabur kamu, urusan kita belum selesai!" Nathan mendengkus kasar, malas meladeni. Ia yang berniat mengabaikan Sandra dan siap melangkah lagi, berhasil dihentikan oleh wanita itu. Tangan Sandra mencengkram erat bahu Nathan, menariknya, memaksa Nathan berhenti dan mau tidak mau berbalik menghadap Sandra. "Kamu dengar nggak sih, urusan kita belum selesai!" bentak Sandra, emosi. Beruntung Leon dapat mencegahnya, jika tidak ia bisa saja nekat menampar Nathan lagi. Nathan memejamkan mata, merutuk aksi Sandra yang menghambat perjalanannya. Padahal ia harus cepat-cepat mencari Bianca sebelum wanita itu pergi jauh. Nathan tak akan membiarkan dirinya kembali kehilangan Bianca lagi. "Apa lagi sih, San? Aku pikir kita nggak ada urusan sejak awal. Aku benar-benar kecewa sama kamu, San. Nggak nyangka kamu bisa bohongi aku selama ini," ucap Nathan, menatap Sandra dengan sorot mata penuh kecewa. Ia masih tak menyangka jika ternyata Sandra di balik semuanya. "Iya, emang. Aku emang bohongi kamu selama ini. Karena aku lakuin itu semua demi Bianca, demi kebaikan Bianca," balas Sandra, tegas. "Kebaikan apa San? Kebaikan dengan membiarkan Bianca jadi pecandu alkohol dan rokok? Itu yang kamu bilang kebaikan? Mengisolasi Bianca di pulau terpencil seperti ini?" Nathan tersenyum sinis saat melihat Sandra terdiam, terperangah oleh ucapannya yang berhasil menyudutkan wanita itu. "Apa maksud kamu?" Sandra tampak terkejut, sepertinya ia tidak tahu apa yang terjadi pada Bianca selama ini tentang wanita itu yang sering melampiaskan kesedihannya pada minuman laknat. "Nggak mungkin Bianca seperti itu. Aku selalu memantaunya dan dia jauh lebih baik setelah di sini, bahkan dia bisa lupain kamu dengan cepat Nathan." "Oh ya?" Nathan mendecih, makin menunjukkan kesinisannya. Tak peduli jika yang ada di hadapannya itu Sandra, wanita yang dulu pernah ia dambakan juga sebelum hatinya memilih untuk berlabuh pada Bianca. "Tapi sepertinya kamu tidak benar-benar memantaunya. Seandainya kamu tahu betapa putus asanya Bianca ...," Nathan mengembuskan napas kasar, merasa hanya buang-buang waktu saja untuk berbicara panjang lebar dengan Sandra yang jelas-jelas menentang hubungannya dengan Bianca. "Sudahlah, percuma aku beritahu, orang egois seperti kamu nggak bakal ngerti!" tukas Nathan. "Heh, jaga ucapanmu!" Leon langsung bereaksi keras, tak terima atas sikap Nathan barusan terhadap Sandra. Ia sudah akan maju untuk memberi pelajaran pada Nathan yang berani-beraninya mengatai Sandra egois, tapi Sandra yang tak ingin suaminya berkelahi dengan Nathan pun sontak menahan langkah Leon. Leon jelas protes, memberikan tatapan tak terima pada istrinya. Tapi mata sayu Sandra yang berkedip memohon, membuat ia perlahan luluh dan menurut. Sementara Nathan sudah melangkah menuju pintu. Selangkah lagi ia akan keluar dari ruang kamar ini. Tapi ucapan Bianca berhasil menahan langkah kakinya tetap di dalam ruangan. "Kenapa baru sekarang kamu cari Bianca? Kemarin-kemarin ke mana aja? Sibuk ngurusin tunangan kamu? Mentang-mentang tunangan kamu sekarang udah enggak ada, terus kamu cari Bianca lagi gitu? Kamu pikir Bianca ban serep yang bisa kamu jadikan cadangan sama pelampiasan kamu doang, Nathan!" Sandra tidak tahan lagi untuk mengutarakan unek-uneknya, meski ia tahu kalau tunangan Nathan baru saja berpulang seminggu yang lalu. Bahkan mungkin tanah kuburannya masih basah, tapi Sandra tidak tahan untuk mengucapkan kalimat yang selalu ia tahan setiap kali Nathan mendatanginya untuk menanyakan keberadaan Bianca. Nathan berbalik. Menatap Bianca dengan sorot mata tajam. Kedua tangannya terkepal erat dan napasnya begitu memburu. Hal tersebut sukses membuat Sandra ketakutan, tapi Leon yang memeluknya dari samping mampu membuatnya tetap bertahan di posisinya saling bertatapan dengan Nathan. "Aku enggak tahu kamu akan sepicik ini San. Padahal kamu tahu jelas alasan aku bertahan dengan Sera dan bagaimana aku selama ini masih memperjuangkan Bianca. Bukan aku yang tidak berusaha mencari Bianca, tapi kamu yang sengaja menjauhkan aku dari Bianca. Seharusnya kamu malu telah mengucapkan kata-kata seperti tadi. Apa sekarang kamu puas? Rencana kamu berhasil, kamu sudah berhasil memisahkan aku dari Bianca. Tapi asal kamu tahu, aku nggak akan nyerah buat memperjuangkan Bianca, apa pun resikonya," pungkas Nathan, mengakhiri percakapan penuh emosi itu dengan melenggang pergi meninggalkan ruangan. Saat Nathan keluar, ia berpapasan dengan seorang laki-laki yang sebelumnya ia temui sebagai penanggung jawab atas proyek resort di sini. Dengan sopan, ia menganggukkan kepala, tanpa berkata apa-apa dan berlalu pergi. Sementara orang itu yang tidak lain adalah Adam langsung masuk ke kamar saat mendengar tangisan Sandra. "Pak Leon, Bu Sandra!" Adam terpaku saat melihat Sandra tiba-tiba tak sadarkan diri. "Adam, cepat bantu saya!" Leon yang panik karena Sandra tiba-tiba saja pingsan pun langsung meminta Adam membantunya mengangkat tubuh Sandra. Adam tanpa banyak bertanya langsung membantu Leon, mengangkat tubuh Sandra dan membawanya ke atas tempat tidur. Ia bingung apa yang telah terjadi sampai Sandra pingsan seperti ini, lalu laki-laki tadi sebenarnya siapa? Kenapa laki-laki itu keluar dari kamar ini? Banyak pertanyaan bercokol dalam kepala Adam, tapi ia tahu diri kalau itu semua bukan kapasitasnya untuk tahu. "Dam, apa ada dokter di sini?" tanya Leon, begitu khawatir. Suaranya yang parau berhasil membuyarkan lamunan singkat Adam. "Ada Pak," jawab Adam cepat. "Kebetulan kami memiliki satu dokter umum yang memang disediakan buat merawat jika ada pekerja yang sakit." "Kalau begitu suruh dia kemari sekarang untuk mengecek keadaan Sandra. Aku takut kandungannya kenapa-napa," pinta Leon sesegera mungkin. Adam mengangguk. Ia lantas mengubungi nomor dokter yang dimaksud. Tapi tidak mendapat jawaban, kemudian Adam pun berinisiatif untuk mendatangi ruang kesehatan di mana dokter itu biasa stand bye. "Pak, biar saya panggil langsung saja. Soalnya tidak diangkat teleponnya," kata Adam, meminta izin pada Leon. "Iya, jangan lama-lama Dam." Leon mengizinkan dan membiarkan Adam bergegas keluar. Ia memegangi tangan Sandra, perasaannya benar-benar kalud. "Bertahan ya sayang, sebentar lagi dokter dateng." Sementara Nathan yang saat ini sudah tiba di dermaga, tak sengaja melihat Adam berlarian dari kejauhan. Ia memandangi sesaat, saat pertanyaan tiba-tiba muncul dalam benaknya. Apa ada yang terjadi? Namun, Nathan tak begitu menghiraukan pertanyaan yang cukup mengusik pikirannya itu, saat sebuah pesan menarik perhatian sepenuhnya. Agen satu Target terpantau di bandara satu jam yang lalu. Sekarang sudah naik pesawat tujuan Yogyakarta. Video diterima. Nathan tersenyum lebar saat mendapati sebuah pesan yang sudah ia tunggu-tunggu sejak tadi. Pesan berisi laporan tentang keberadaan Bianca sekarang, ditambah sebuah rekaman CCTV yang diperoleh dari CCTV bandara. Senyuman Nathan seketika pudar saat melihat rekaman tersebut. "Dia!" Mata Nathan melebar, tak percaya. Saat dilihatnya laki-laki di rekaman tersebut yang sedang duduk berdampingan dengan Bianca, ia mengenal laki-laki itu. Laki-laki yang tak pernah ia pikirkan akan jadi rivalnya. "Sialan!" Nathan mengumpat, langsung menghubungi orang suruhannya. "Halo." Telepon tersambung. "Sekarang juga pesankan saya tiket tujuan Yogyakarta dan kirim Yatch kemari, secepatnya!" Nathan memutus sambungan telepon, menggenggam erat ponsel genggamnya. Aku nggak akan pernah biarin kamu pergi dari aku, Bianca. Apalagi membiarkan laki-laki lain merebutmu. Kamu milikku dan selamanya hanya jadi milikku. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN