Bianca menggeret kopernya keluar dari bandara. Setengah jam yang lalu ia tiba di bandara Yogyakarta International Airport dan menunggu sampai orang suruhannya Adam menjemput. Orang itu terlambat lima belas menit dengan dalih ada keperluan mendesak yang harus dikerjakan terlebih dahulu, sebelum datang menjemputnya. Bianca tak mempersoalkan hal tersebut, karena berkat keterlambatan itu juga dirinya bisa beristirahat sejenak. Meski selama hampir enam jam di pesawat pun ia habiskan untuk tidur. Tapi nyatanya rasa lelah seperti tak ada habisnya menggerogoti tubuhnya dari dalam.
"Mbak." Seorang laki-laki berperawakan kecil, kurus dengan tatanan rambut klimis dan berlogat jawa menginterupsi langkah Bianca.
"Ya?" Bianca mengalihkan pandangannya yang sedari tadi sibuk memperhatikan sekeliling jalanan yang dilewati, menuju parkiran yang ada di lantai dua. Sepertinya sudah sampai, karena lelaki di depannya berhenti di samping sebuah mobil Avanza bewarna hitam.
Laki-laki yang memperkenalkan namanya sebagai Johan itu mengambil sebuah paper bag dari dalam mobil dan menyerahkannya kepada Bianca. "Ini untuk Mbak Bianca."
Bianca mengernyit, memandangi paper bag tersebut. Lalu kembali menatap Johan dengan alis mengkerut, kebingungan. Pasalnya ia sendiri tidak tahu apa isi di dalam paper bag itu dan untuk apa Johan memberikan pada dirinya. Secara mereka baru mengenal beberapa saat yang lalu, jadi mustahil kalau Johan langsung memberinya hadiah sebagai sambutan. Pikir Bianca.
"Apa ini?" Akhirnya Bianca bertanya.
"Ini titipan dari Pak Adam. Beliau minta tolong agar diserahkan kepada Mbak Bianca. Tolong diterima ya Mbak, nanti saya bisa dipecat kalau sampai titipannya tidak disampaikan, apalagi sampai ditolak." Johan memasang wajah memelas, menyodorkan paper bag agar Bianca mau menerima.
Sejujurnya Bianca emang enggan menerima paper bag tersebut. Selain karena belum tahu isinya, ia juga merasa tidak membutuhkan sesuatu lagi. Jadi untuk apa Adam repot-repot menitipkan sesuatu untuk dirinya. Bukankah sudah cukup laki-laki itu memberinya kartu debit. Namun, wajah memelas Johan berhasil mengetuk pintu hatinya, Bianca jadi tidak tega dan terpaksa menerima paper bag itu.
"Alhamdulillah, makasih ya Mbak udah mau terima. Ngalamat bisa dipecat saya kalau sampe Mbak nggak mau nerima." Johan terlihat senang sekali karena paper bag-nya diterima Bianca. Senyum sumringahnya begitu tulus, apalagi saat ia membukakan pintu belakang untuk Bianca. "Monggo Mbak. Biar kopernya saya yang masukkan ke bagasi," tutur Johan seraya mengambil alih koper milik Bianca.
"Makasih ya, Johan. Maaf merepotkan," kata Bianca, seraya masuk ke mobil.
"Ndak apa-apa Mbak, saya senang bisa melayani calonnya mas Adam." Johan cengengesan, tersenyum penuh arti.
Awalnya Bianca ingin meralat ucapan Johan, tapi tak jadi karena laki-laki itu sudah berjalan ke belakang untuk memasukkan kopernya ke bagasi. Bianca menghela napas panjang, memandang keluar jendela. Ia berpikir, tak apa juga jika tidak meralatnya. Toh mungkin ia tak akan bertemu lagi dengan Johan dan lagipula apa gunanya menjelaskan pada laki-laki itu yang sepertinya juga tak begitu ingin tahu soal hubungan macam apa yang terjalin antara dirinya dan bosnya. Padahal Bianca hanya menganggap Adam sebagai sahabat, semacam kakak bertemu besar, ya seperti itulah ia menganggap semua bentuk perhatian yang dicurahkan oleh Adam kepadanya. Sebatas kakak, tidak lebih.
Matahari sudah kembali ke peraduan, saat mobil yang ditumpangi Bianca melaju di jalanan, membaur dengan kendaraan lain. Emang tidak semacet Jakarta, tapi jalanan terpantau padat oleh orang-orang yang kemungkinan baru pulang bekerja. Bianca sibuk memandangi lampu-lampu jalan yang mulai menyala, menggantikan sinar matahari sebagai penerang. Kebisingan knalpot dan suara klakson jadi backsound pengiring musik koplo yang tengah diputar di radio.
Sepanjang perjalanan, Johan banyak berbicara, dari mulai bertanya-tanya soal Bianca sampai menceritakan banyak hal tentang Jogja, termasuk Malioboro yang sangat terkenal di Yogyakarta. Ketika mobil mereka melewati jalanan tersebut.
"Mbak mau mampir dulu? Mungkin mau belanja-belanja gitu?" tawar Johan, melirik Bianca yang duduk di belakang lewat kaca spion di atasnya.
Bianca menggeleng. "Langsung saja, saya sudah sangat lelah, mau langsung istirahat," jawabnya.
Bagaimana tidak lelah, setelah menempuh perjalanan hampir enam jam di pesawat. Bianca masih harus menempuh perjalanan nyaris dua jam dari bandara menuju lokasi tempat yang akan ditinggalinya. Ia tak menyangka jika posisinya akan sejauh ini dan memakan waktu begitu lama. Tapi meski begitu Bianca tak menyesali kepergiannya, karena ini emang jauh lebih baik ketimbang ia harus menghadapi Nathan. Hatinya selalu tak berdaya jika dihadapkan pada laki-laki itu. Ia terlalu lemah dan itu membuatnya semakin benci pada diri sendiri.
"Baik Mbak kalau begitu. Tapi ngomong-ngomong Mbak Bianca sudah makan? Mau makan dulu atau pesanannya bisa dibungkus buat di rumah nanti kalau mau? Kebetulan di sini ada pecel ayam yang enak banget, kalau Mbak mau bisa tak belikan dulu," ujar Johan, menawarkan Bianca untuk makan terlebih dahulu.
Namun Bianca sekali lagi menggeleng, ia sudah sangat lelah. Benar-benar lelah. Kepalanya terasa begitu berat dan rasa kantuk kembali menyerang, mengalahkan rasa lapar. Johan yang melihat lewat kaca spion di atasnya pun paham, tak lagi berbicara dan membiarkan Bianca beristirahat. Benar saja, lima menit kemudian Bianca sudah terpejam, tidur dengan sangat pulas. Hingga tak terasa akhirnya mobil yang dikendarai Johan tiba di sebuah pemukiman penduduk.
"Mbak, sudah sampai," kata Johan saat melihat gelagat Bianca yang mulai terbangun dari tidur nyenyak.
Bianca yang terbangun pun sontak mengedarkan pandangan pada sekelilingnya. Tampak banyak berjejer rumah-rumah di kanan kiri, seperti komplek perumahan di Jakarta tapi bedanya rumah-rumah di sini cukup sederhana dan suasananya masih asri. Tidak begitu mencolok seperti perumahan di Jakarta. Kesan asrinya masih sangat terasa, apalagi banyak rumah-rumah yang dipenuhi dengan tanaman-tanaman hias dan pepohonan di sepanjang jalan yang tetap dibiarkan tumbuh menjulang sampai ke atas.
"Ini rumahnya?" tanya Bianca, memperhatikan satu rumah yang ada di kiri jalan.
Johan mengangguk, lalu bergegas turun mengambilkan koper Bianca di bagasi. Bianca ikut turun, matanya tak berhenti mengamati rumah-rumah di sekelilingnya. Ia bersyukur karena tempat tinggalnya berada di perumahan penduduk, setidaknya ia tidak perlu khawatir jika tinggal sendirian. Padahal sebenarnya jika tinggal sendirian pun tak apa, karena Bianca sudah terbiasa sendiri sejak kecil.
"Mari Mbak." Johan membawakan koper Bianca, memasuki gerbang sebuah bangunan rumah sederhana yang tampak terawat. Halamannya tidak begitu luas, tapi sangat bersih dengan ditumbuhi rerumputan dan beberapa tanaman hias. Suasananya sangat sejuk, asri dan nyaman untuk ditinggali.
Baru pertama melihat saja Bianca sudah langsung jatuh hati pada tempat ini. Setidaknya di sini tidak ada kebisingan, dan juga tidak terlalu sepi. Sepertinya ia akan betah tinggal di sini.
"Maaf Mbak, cuma begini, mas Adam soalnya bilangnya dadakan, jadi saya tidak sempat cari tempat yang lebih bagus lagi," ucap Johan, sembari mempersilakan Bianca memasuki rumah.
"Tidak apa-apa, ini juga sudah bagus. Makasih ya." Bianca tersenyum lembut pada Johan yang berdiri di dekat pintu setelah membawakan koper Bianca masuk. Sementara Bianca sibuk melihat-lihat isi rumah tersebut.
Benar-benar sederhana. Rumah ini hanya ada satu ruang tamu, dua kamar tidur dan satu kamar mandi bersebelahan dengan dapur yang menyatu sama ruang makan. Tidak ada sekat antara dapur dan ruang tamu, sehingga Bianca bisa melihatnya. Meski begitu rumah ini tetap nyaman, karena penataan barang-barang yang sesuai dan juga tidak terlalu banyak furnitur. Hanya ada sofa set meja dan satu televisi LCD di ruang tamu. di dapur pun tak banyak barang, hanya ada kulkas satu pintu, kompor dan kitchen set. Model meja makannya pun menyatu dengan bar kitchen sehingga tidak memakan banyak tempat. Sederhana dan juga simpel.
"Syukurlah kalau Mbak tidak keberatan tinggal di sini. Oh ya, Mbak, ini kuncinya." Johan memberikan kunci rumah pada Bianca yang langsung menerimanya. "Untuk kebutuhan Mbak beberapa hari ke depan sudah saya siapkan. Kulkasnya sudah saya isi dengan sayur-sayuran dan kebutuhan lainnya juga sudah saya masukkan di lemari. Nanti Mbak Bianca bisa cek sendiri, misalkan ada yang kurang Mbak bisa langsung kabari saya. Nomor saya sudah di-save di ponsel yang tadi."
Ponsel?
Bianca mengerutkan keningnya, lalu menyadari tatapan Johan yang tertuju pada paper bag di tangannya. Lantas Bianca pun mengecek isi paper bag yang memang dari tadi belum ia lihat isinya. Ternyata isinya ponsel baru, pantas saja Johan menyebut ponsel.
"Mas Adam berpesan buat kasih nomor saya dan juga simpan nomor mas Adam di ponsel itu. Katanya buat jaga-jaga kalau ada apa-apa, atau Mbak Bianca butuh bantuan," terang Johan, menyadari raut kebingungan yang tergambar jelas di wajah Bianca.
Bianca mengangguk, mengerti. "Makasih ya." Ia pun berterima kasih pada Johan. Meski sebenarnya ia tidak butuh bantuan ataupun ponsel ini. Tapi demi kesopanan ia menerimanya.
"Kalau begitu saya permisi ya Mbak———"
"Johan tunggu." Bianca menahan Johan yang sudah akan pamit undur diri.
"Iya Mbak? Ada apa? Mbak Bianca butuh sesuatu?" tanya Johan, kembali berbalik menghadap Bianca.
Bianca tersenyum canggung, lalu mengangguk pelan. "Saya boleh minta tolong belikan sesuatu?"
Johan menautkan kedua alisnya. "Belikan apa ya Mbak?"
"Saya butuh rokok dan vodka. Kamu bisa belikan?" Bianca lalu merogoh isi tasnya, menyodorkan kartu ATM yang pernah diberikan Sandra. Selama ini ia tidak pernah memakainya, karena semua kebutuhannya sudah terpenuhi dan kali ini ia terpaksa memakainya karena ia tak memegang uang cash. "Sekalian ambilkan uang di ATM, kebetulan saya nggak megang uang cash." Bianca tanpa ragu meminta tolong pada Johan, karena ia yakin kalau laki-laki itu orang baik. Apalagi orang itu bawahannya Adam, jadi mustahil orang itu akan berbuat buruk ataupun nekat membawa kabur kartu ATMnya.
"Tapi Mbak ...." Johan terlihat enggan. Pasalnya ia sudah diwanti-wanti oleh Adam untuk mengawasi Bianca supaya tidak membeli minuman laknat dan juga rokok. Tapi sekarang malah ia sendiri yang disuruh beli. Alhasil Johan dilema, ia bingung harus menolak permintaan Bianca atau menurutinya. Terlebih emang seharusnya ia tidak menerima permintaan Bianca, karena jika Adam tahu maka dirinya yang akan kena getahnya. Tapi bagaimana ia harus menolaknya, Johan tidak berani karena takut menyinggung Bianca.
"Kalau ini soal Adam, kamu nggak perlu khawatir. Adam nggak akan tahu selagi kamu nggak ngadu," ucap Bianca, seolah bisa membaca isi kepala Johan. "Please, saya butuh itu, kecuali kamu mau belikan saya obat tidur. Soalnya saya kesulitan tidur di malam hari." Bianca beralibi, meski ia tidak sepenuhnya berbohong. Selama ini ia memang kesulitan tidur nyenyak di malam hari dan menggantungkan diri pada minuman laknat agar bisa terlelap sampai pagi.
Johan awalnya ingin menolak, tapi Bianca memaksa dengan menyerahkan kartu ATMnya ke genggaman Johan. Alhasil laki-laki itu mau tidak mau menurut saja. Ia pun pamit undur diri untuk membelikan pesanan Bianca tersebut.
Selepas kepergian Johan, Bianca mendaratkan tubuhnya di sofa panjang. Membiarkan tubuhnya yang lelah untuk beristirahat sejenak. Bianca menghela napas panjang, matanya yang terpejam lalu terbuka menatap langit-langit ruangan bewarna putih. Tiba-tiba saja ia teringat pada Sandra. Bagaimana jika wanita itu khawatir karena mengetahui dirinya kabur.
Bianca lalu buru-buru mengambil ponsel di tasnya. Ia segera menghidupkan ponselnya yang sengaja dimatikan. Meskipun Adam sudah melarangnya untuk mengaktifkan ponselnya selama pelarian, tapi setidaknya ia harus mengirimkan satu pesan saja pada Sandra supaya sahabatnya itu tidak khawatir. Mengingat Sandra sedang hamil, seharusnya ia tidak menjadi beban pikiran yang bisa membahayakan kandungan Sandra.
"Astaga." Bianca mengembuskan napas kasar. Seperti dugaannya, Sandra pasti sudah mengetahui kalau dirinya kabur dan wanita itu sangat khawatir. Banyak panggilan tak terjawab dari Sandra, Leon, Bara dan juga Gita. Serta pesan-pesan dari keempatnya. Terutama Sandra yang terus mengiriminya pesan singkat bernada khawatir.
Bianca, kamu di mana?
Are you okay?
Please kabari aku. Di mana pun kamu berada, setidaknya beritahu aku kalau kamu baik-baik saja.
Bianca tersenyum getir membaca deretan pesan dari Sandra, terutama pesan terakhir sahabatnya yang tampak begitu putus asa. Tak ingin membuat Sandra terus-terusan khawatir, Bianca pun lantas membalas pesan Sandra tersebut.
To Sandra
Aku baik-baik saja, San. Kamu nggak perlu khawatir. Thanks karena selama ini sudah merawatku dengan baik. Tapi sekarang aku ingin mengurus diriku sendiri, aku tak mungkin terus bergantung padamu. Tapi kamu tenang saja, di mana pun aku berada, aku akan pastikan aku selalu baik-baik saja. Please, jangan cari aku, biarkan aku sendiri. Jika sudah waktunya tiba, aku akan mengunjungi kalian. Jaga diri, juga kandungan kamu. Aku harap suatu saat nanti aku bisa melihat anakmu lahir.
Tanpa sadar Bianca meneteskan air mata. Ia tak menyangka kalau pada akhirnya akan menuliskan pesan perpisahan ini pada Sandra. Padahal ia berharap bisa hidup rukun berdampingan dengan wanita itu, wanita yang sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri. Tapi keadaan memaksa Bianca harus pergi dan melewatkan semua mimpi-mimpinya.
Bianca menghela napas, berusaha tegar, meski hatinya tidak karuan. Ia mengusap pipinya yang basah, menyugesti diri sendiri untuk tidak bersedih. Bianca keluar dari room chat Sandra, berniat untuk mematikan kembali ponselnya. Namun, sebuah pesan singkat yang baru saja masuk menghentikan jemari Sandra. Matanya berkedip saat melihat pesan yang sudah terlanjur dibuka itu.
Unknown.
Seberapa jauh pun kamu pergi, aku pasti akan menemukanmu, Bianca. Aku nggak akan menyerah buat perjuangin kamu, apa pun yang terjadi, apa pun resikonya. Aku akan datang kepadamu dan buktikan ke kamu kalau aku benar-benar mencintaimu. Akan aku buktikan kalau mencintaimu bukanlah sebuah kesalahan, tapi sebuah anugerah dari Tuhan untuk aku dan juga kamu.
Love you, Bianca.
Jantung Bianca seakan berhenti berdetak. Semua yang ada di sekelilingnya seolah berhenti bergerak, seakan waktu pun ikut berhenti. Bianca membaca kata demi kata pesan tersebut, hatinya kembali nyeri merasakan sakit luar biasa menggores perasaannya. Tanpa perlu mencari tahu, Bianca sudah tahu siapa yang mengirim pesan kepadanya.
Dia, Nathan.
Nathan Denandra Ariawan. Laki-laki yang pernah dan masih Bianca cintai sampai detik ini.