Sandra terbangun setelah beberapa saat tak sadarkan diri. Di sampingnya Leon menunggui sejak tadi, mengkhawatirkannya, menggenggam erat salah satu tangannya. Wajahnya yang layu seketika berseri saat melihat kelopak mata Sandra yang perlahan terbuka.
"Sayang." Leon beranjak dari duduknya, mencegah Sandra yang hendak bangun. "Mau ke mana? Istirahat aja dulu."
"Aku harus cari Bianca, Leon. Aku nggak bisa diem aja di sini tanpa tahu di mana Bianca sekarang," ucap Sandra, begitu mencemaskan Bianca.
"Kamu tenang aja, aku udah minta tolong Bara buat cari Bianca. Dia udah kerahin anak buahnya buat nyari, jadi kamu nggak perlu khawatir, Bianca pasti ketemu," ujar Leon, berusaha menenangkan Sandra yang begitu menggebu-gebu ingin mencari Bianca. "Sekarang kamu istirahat, pikirin kandungan kamu juga, sayang. Kamu nggak boleh---"
"Aku baik-baik saja Leon, kandungan aku kuat. Dan aku ingin mencari Bianca sendiri sampai ketemu. Kalau kamu mau istirahat, silakan. Tapi aku mau cari Bianca, jadi tolong jangan larang aku." Sandra memang keras kepala. Bagaimana ia tak menghiraukan ucapan suaminya dan bersikeras untuk tetap mencari Bianca. Bahkan ia juga tak memikirkan kandungannya, karena yang ada di pikirannya saat ini hanyalah Bianca. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan wanita itu yang masih belum diketahui keberadaannya sampai sekarang.
"Sandra!" Leon yang tak tahu lagi harus bagaimana mencegah Sandra agar tidak pergi, akhirnya lepas kontrol membentak istrinya. Sandra yang tersentak seketika diam, matanya memerah menahan tangis dan Leon menyesal telah meninggikan intonasi suaranya. "Maaf, aku enggak bermaksud---"
"Kamu jahat!" Sandra memukuli Leon, disusul tangisan histeris seperti anak kecil mengamuk.
Semenjak hamil, Sandra memang mudah menangis. Hatinya pun mudah rapuh, itu kenapa ia langsung menangis histeris hanya karena Leon membentaknya. Pengaruh hormon membuat Sandra jadi cengeng dan tambah keras kepala.
"Kamu jahat, Leon. Aku benci kamu!!!" Sandra makin membabi buta memukuli d**a Leon.
Leon tak membalas, membiarkan dirinya dijadikan samsak oleh sang istri. Tapi ia juga tidak tinggal diam saja, Leon berusaha membujuk Sandra, menenangkan istrinya itu dan perlahan mendekapnya.
"Maafkan aku," ucap Leon, saat berhasil mendekap Sandra dan istrinya itu perlahan luluh. "Maaf karena udah bentak kamu. Aku nggak bermaksud begitu."
"Kamu jahat." Sandra masih tetap menangis, meski tubuhnya seakan sudah lemas tak berdaya. "Leon, aku mau cari Bianca. Aku nggak mau Bianca kenapa-napa." Dan ujung-ujungnya kembali meracau tentang Bianca.
Adam yang sedari tadi duduk di sofa, seakan tak terlihat eksistensinya. Ia bagaikan penonton yang sedang menyaksikan adegan drama rumah tangga. Sejujurnya, ada rasa iba melihat Sandra sampai sepanik itu mengkhawatirkan Bianca. Membuatnya tidak tega, tapi ia juga tidak mungkin memberitahukan keberadaan Bianca pada Sandra karena ia sendiri sudah berjanji pada wanita itu untuk merahasiakannya dari siapa pun termasuk Sandra dan Leon. Ia tak mau mengkhianati kepercayaan Bianca pada dirinya.
"Dam." Suara Leon menginterupsi Adam, memaksa atensinya tertuju pada laki-laki itu.
"Iya Pak Leon." Adam langsung menyahut, bersiap-siap jika Leon akan memberinya perintah.
"Kamu beneran nggak tahu di mana Bianca?" tanya Leon untuk yang kesekian kalinya sejak beberapa jam yang lalu.
"Benar Dam, kamu nggak tahu Bianca pergi ke mana? Masa sih kamu nggak tahu? Kamu kan ditugaskan untuk menjaga Bianca, kok bisa kecolongan sih!" Sandra langsung mencecar Adam. Wanita itu memberikan tatapan seakan memvonis Adam bersalah. Ya, Adam memang dianggap salah karena telah lalai akan kewajibannya menjaga Bianca.
"Sayang, tenang dulu. Kamu tenangin diri kamu ya, biar aku aja yang tanya Adam. Kalau kamu cecar dia begini pun percuma, kalau Adam emang nggak tahu ya mau gimana lagi. Kamu nggak bisa nyalahin dia begitu. Lagian tugas utama Adam di sini ngurus resort, bukan Bianca," ucap Leon, menenangkan sekaligus memberikan pengertian pada Sandra.
"Tapi Leon ...." Tapi Sandra tetaplah Sandra, si keras kepala.
"Maaf Pak, Bu." Adam menginterupsi. "Saya benar-benar tidak tahu. Kebetulan seharian ini saya berada di luar pulau untuk berbelanja keperluan pribadi. Jadi saya tidak tahu ke mana perginya Bianca. Karena memang saya juga nggak kepikiran kalau Bianca bakal kabur begini." Adam beralibi, mengarang cerita bohong supaya Sandra dan Leon tidak lagi mencecar dirinya dan sepertinya cara ini berhasil membuat keduanya menyerah. .
"Iya Dam, nggak apa-apa. Maafkan Sandra ya, dia nggak bermaksud buat nyalahin kamu. Dia cuma lagi kalud aja, soalnya Bianca kan sudah dianggap seperti saudaranya sendiri. Jadi wajar kalau Sandra benar-benar mencemaskan Bianca sampai seperti ini," kata Leon, meminta maaf atas kesalahan Sandra dan meminta Adam memberikan pengertian agar memaklumi sikap Sandra tersebut. "Apalagi Sandra juga lagi hamil, jadi hormon emosionalnya lebih meledak-ledak." Leon menambahkan, sedikit mendramatisir supaya Adam semakin memaklumi Sandra.
"Iya Pak. Nggak apa-apa." Adam tersenyum sopan.
Sandra mengembuskan napas kasar. Sebenarnya ia tidak suka mendengar penuturan suaminya yang melebih-lebihkan itu. Seakan-akan emosinya emang sering meledak-ledak begitu. Tapi Sandra juga enggan meralat ataupun menyanggah pernyataan Leon, ia lebih memilih untuk mencoba mengubungi Bianca.
Mata Sandra berkedip saat ia membuka room chat Bianca. Matanya seketika berbinar melihat pesan-pesan yang sebelumnya dikirim kini sudah berstatus terbaca. Ditambah satu pesan masuk yang membuatnya kegirangan.
"Bianca kirim pesan!" serunya, menarik atensi Leon dan Adam.
Adam tampak terkejut, tak menyangka kalau Bianca tak mematuhi ucapannya. Padahal ia sudah mewanti-wanti agar Bianca tidak menghidupkan ponselnya supaya tidak terlacak. Tapi yang terjadi wanita itu malah mengirimkan pesan pada Sandra.
"Yah, kok nggak aktif sih." Sandra yang langsung menghubungi Bianca pun terpaksa harus menelan kekecewaan karena ternyata nomor Bianca sudah tidak aktif. "Leon, gimana nih? Nomornya nggak aktif lagi." Sandra merengek pada Leon.
Leon pun mengambil alih ponsel milik Sandra. "Kamu tenang aja. Aku bakal suruh orang buat lacak keberadaan Bianca lewat ponselnya," ujar Leon, langsung menghubungi seseorang.
"Halo, saya ada pekerjaan buat kamu Surya. Tolong lacak nomor yang saya kirimkan, secepatnya berikan laporan dan langsung kerahkan orang ke TKP buat cek lokasi."
Adam yang mendengar Leon berbicara dengan orang di telepon pun seketika panik. Tak ingin keberadaan Bianca terlacak oleh Leon. Adam pun segera mengirimkan pesan pada Johan, orang yang dipercaya menjaga Bianca selama di Jogja.
Namun naasnya pesan itu tidak terkirim dikarenakan nomor Johan tidak aktif. Adam menahan erangannya, mencengkram ponselnya penuh emosi. Ia berusaha tetap tenang meski kepanikan melanda. Lalu ia teringat akan ponsel yang ia minta berikan untuk Bianca. Adam pun segera mengirimkan pesan ke nomor di ponsel itu.
To Bianca
Bi, sebaiknya kamu pergi sekarang juga dari sana. Leon sudah lacak keberadaan kamu, cepat atau lambat dia bakal nemuin kamu. Jadi sebaiknya kamu pergi sekarang juga. Minta Johan buat antar kamu cari tempat yang aman.
Haruskah Adam mengumpat?
Rasanya Adam tak hanya ingin mengumpat, tapi juga membanting ponselnya saat melihat tanda ceklis satu di pesan yang ia kirimkan pad Bianca. Ia tak dapat berbuat apa-apa, selain berharap Bianca dan Johan akan segera membaca pesan yang ia kirimkan sebelum anak buah Leon berhasil menemukan lokasinya.
———————
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Bianca. Ia bergegas beranjak dari duduknya, menuju pintu. Saat pintu dibuka, Johan muncul dengan satu kantung keresek di tangannya.
"Ini Mbak." Johan memberikan titipan yang diminta Bianca, lalu menyodorkan kartu ATM dan sepuluh lembar uang tunai seratus ribuan. "Dan ini uang sama kartu ATMnya."
"Makasih ya, Johan. Maaf merepotkan," ucap Bianca, tersenyum tipis sembari menerima kartu ATM dan uang tunai yang diberikan Johan.
"Tidak apa-apa Mbak. Kalau begitu saya pamit pulang." Johan pun undur diri. Ia mengambil ponselnya di saku celana lalu menggerutu pelan dalam bahasa jawa, saat mendapati baterai ponselnya habis. "Uallah, modar hapene. Ndadak entek batune."
Bianca memandangi Johan sampai masuk ke mobil, memastikan laki-laki itu pergi barulah ia masuk kembali. Bianca meletakkan kantung keresek ke atas meja, disusul mendaratkan bokongnya di sofa. Seperti rencana awal, ia akan menghabiskan malam panjang ini dengan menenggak minuman laknat dan membakar belasan batang rokok. Sembari meratapi nasibnya yang menyedihkan.
Seakan hidupnya tak lagi berarti, Bianca menghancurkan diri sendiri dan membiarkan dirinya semakin tenggelam dalam keterpurukan. Seolah hidupnya tak lagi memiliki tujuan, hanya ada kehampaan yang menyelimutinya setiap detik dan rasanya ia ingin mati saja.
Tiga bungkus rokok telah Bianca hisap sampai menyisakan puntung-puntung yang berserakan di meja. Ditambah botol-botol yang telah kosong isinya, memenuhi meja. Sedangkan Bianca sendiri kini sudah terkapar di atas sofa saat suara ketukan pintu terdengar begitu keras. Disusul suara teriakan seseorang yang memanggil namanya.
"Mbak Bianca!"
"Mbak!"
"Mbak, buka pintunya. Ini saya Johan." Dan orang di luar pintu yang ternyata Johan, tampak panik bercampur gelisah terus memanggil-manggil nama Bianca. "Mbak, buka. Mbak Bianca. Ini darurat, tolong buka pintunya."
Berkali-kali Johan mengetuk pintu, tapi tak ada sahutan dari dalam. Padahal ia sudah mengetuknya dengan tempo sangat keras, ditambah suaranya yang begitu lantang. Tapi tetap saja tak ada sahutan dari dalam rumah, hanya ada kesunyian yang membuat Johan makin khawatir. Selain takut Bianca kenapa-napa, ia juga takut tak bisa membawa kabur Bianca tepat waktu.
Dua jam yang lalu, ketika Johan mengaktifkan ponselnya setelah diisi daya. Ia mendapatkan pesan dari Adam yang memintanya untuk segera membawa Bianca kabur. Belum sempat paham akan pesan bernada perintah itu, ponselnya langsung berbunyi dan itu panggilan masuk dari Adam.
"Johan. Sekarang juga bawa Bianca pergi dari situ. Pastikan dia nggak bawa ponselnya, pokoknya kamu bawa pergi ke tempat yang aman untuk malam ini. Besok saya akan kirimkan tiket buat dia pergi ke Bali. Untuk malam ini kamu bisa carikan tempat aman untuknya dan pastikan tidak ada seorang pun yang bisa melacak keberadaannya."
Kata-kata Adam yang terus terngiang dalam pikiran Johan. Ia membawa amanat dari Adam untuk menyelamatkan Bianca. Tapi permasalahannya sekarang wanita itu tidak merespon panggilannya. Padahal waktunya tidak banyak, karena Adam sudah memberitahu jika seseorang dalam waktu dekat akan menyatroni rumah ini. Meski Johan tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi, tapi ia tetap melaksanakan perintah Adam.
"Mbak Bianca, buka, Mbak. Ini saya Johan. Tolong buka, Mbak." Johan mulai putus asa. Selain berpacu dengan waktu yang terus berputar, ia juga mulai kalud, takut terjadi sesuatu pada Bianca di dalam sana.
Lantas Johan pun menghubungi Adam untuk melaporkan keadaan di sini. "Halo, Mas Adam. Mas ini Mbak Bianca kok nggak mau bukain pintunya. Padahal sudah saya ketok-ketok dari tadi, saya panggil-panggil juga nggak nyahut. Terus ini gimana, Mas?"
"Apa? Kamu nggak punya kunci cadangannya? Kalau gitu dobrak saja!" Adam di seberang sana pun terdengar panik, sampai-sampai menyuruh Johan untuk mendobrak pintu rumah dikarenakan takut Bianca kenapa-napa.
"Waduh, mana berani saya, Mas. Ini kan rumah sewaan. Kalau enggak saya ke rumah pemiliknya saja dulu buat nanyain apa punya kunci cadangannya." Johan yang menolak opsi dari Adam pun menawarkan opsi lain yang jauh lebih aman dan tidak beresiko.
Namun, Adam di seberang telepon tidak setuju dengan hal itu. "Kelamaan Johan. Ini darurat, lebih baik kamu dobrak saja sekarang. Nanti saya yang akan tanggung jawab untuk semua kerusakannya."
"Tapi Mas ...."
"Enggak ada tapi-tapian Johan. Tunggu apa lagi, cepat lakukan. Kalau sampai Bianca kenapa-napa, kamu mau tanggung jawab?"
Johan dilema, tapi akhirnya mengiyakan perintah Adam. Ia pun memberanikan diri untuk mendobrak pintu rumah yang ditempati Bianca. Dengan beberapa kali dobrakan, ia berhasil membukanya dan mendapati Bianca yang sudah terkapar tak sadarkan diri.
"Mbak Bianca!" Johan melotot, panik. Lalu bergegas menghampiri Bianca dan mencoba membangunkannya. "Mbak, bangun. Mbak Bianca, bangun, Mbak. Duh, kok begini."
Johan mengusap kasar wajahnya. Lalu ia kembali menghubungi Adam. Saat telepon tersambung, Adam langsung menanyainya. "Gimana? Bianca baik-baik saja kan?"
Johan dengan gugup menjawab. "Mas piye iki, Mbak Bianca nggak sadarkan diri." Lalu matanya melihat ke bawah dan menemukan banyak darah berceceran di lantai. Johan sedikit mendongak dan akhirnya menemukan sumber darah tersebut yang ternyata dari pergelangan tangan Bianca yang tergores cukup dalam. Sontak Johan pun semakin panik dan langsung melapor pada Adam. "Mas, darah, Mbak Bianca berdarah-darah tangannya. Gimana ini Mas?"
"Apa?" Hening sesaat, sepertinya Adam sangat terkejut. Hingga akhirnya ia kembali mampu mengontrol diri dan berkata, "Sekarang juga kamu bawa Bianca ke rumah sakit, aku akan langsung ke sana."
"Baik mas," sahut Johan. Ia pun mengakhiri panggilannya dengan Adam dan kemudian bergegas membawa Bianca ke rumah sakit sesuai perintah dari Adam.
Tanpa Johan sadari jika sejak tadi ada seseorang yang sedang memantau di dalam mobil yang terparkir tidak jauh dari rumah tersebut. Orang di dalam mobil pun langsung menghubungi seseorang ketika melihat Johan berlarian keluar rumah seraya membawa Bianca yang tak sadarkan diri.
"Lapor bos, target sedang meninggalkan lokasi. Sekarang juga saya akan mengikutinya dan menginfokan lokasi terbarunya." Lalu orang itu mengakhiri panggilan, bertepatan dengan mobil Johan yang lewat di sampingnya. Tanpa menunggu, orang itu pun langsung tancap gas mengikuti mobil Johan.