ALLJC.010 IA TELAH MERUSAK MASA DEPANKU
Aku dan Albert Ma menghabiskan waktu sore kami dengan bersantai bersama di pedestrian yang ada di Orchard Road. Kami juga makan siang yang terlambat di salah satu restoran yang ada di kawasan ini. Kami berbincang bersama layaknya dua orang yang berteman baik. Meski pembawaannya tenang dan tidak pernah mengawali pembicaraan terlebih dahulu, tapi ia cukup baik. Namun tetap saja sulit tertawa dan minim senyuman. Kami berada di kawasan Orchard Road hingga malam menjelang. Hingga akhirnya kami bergerak dari Orchard Road menuju tempat dimana Albert Ma janji bertemu dengan teman lamanya.
Jarak antara Orchard Road dengan Clarke Quay tidak terlalu jauh. Hanya butuh waktu 6 menit perjalanan dengan mobil hingga akhirnya kami sampai di tempat yang dituju. Aku yang duduk di kursi penumpang di samping driver meminta Albert Ma memarkirkan mobilnya di lahan parkir yang ada di dekat 3 River Valley Road, lalu kami berjalan menuju Clarke Quay yang ada di pinggir Singapore River.
Saat aku dan Albert Ma berjalan bersama dari tempat parkiran mobil menuju Clarke Quay, ponsel yang ada di dalam tas kecil yang menggantung di bahuku pun berbunyi. Nada ponsel yang terdengar itu adalah panggilan masuk dari Felix Liam, pria yang sedang aku rindukan yang kita tengah melakukan perjalanan bisnis dengan kakakku Armand Gibson.
“Hallo…” Aku menyapa orang yang ada di seberang telepon dengan lembut.
“Hallo, Allura… Bagaimana kabarmu?”
“Aku baik. Bagaimana denganmu?”
“Aku juga baik. Kamu sedang apa? Apa kamu sedang di luar?”
Seketika aku tertawa kecil, “Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku sedang di luar, Felix?”
“Aku mendengar suara deruan mobil. Apa kamu sedang jalan-jalan?”
“Ya. Aku sedang menemani Tuan Albert Ma menemui teman lamanya.” Aku menjawab sambil terus berjalan di dekat Albert Ma. Jarak aku dan ia kini sekitar 3 meter, namun kami berjalan beriringan. Sedangkan Albert Ma terus berjalan dengan santai menikmati suasana malam di pinggir jalan di trotoar.
“Dimana?”
“Di Clarke Quay.”
Orang yang ada di seberang telepon terdiam sejenak, dan aku pun kembali bersuara, “Felix, kenapa kamu diam?”
“Tidak. Tidak apa-apa. Hanya saja saat ini perasaanku tidak enak. Dari tadi aku terus memikirkanmu, makanya aku menelponmu. Aku merindukanmu.”
“Aku juga. Kapan kamu kembali?”
“Lusa. Urusan di sini hampir saja selesai.”
“Ya sudah, cepat pulang! Tidak ada teman yang mengajakku minum Latte sepertimu.”
Felix Liam yang ada di seberang telepon pun tertawa kecil, “Baiklah. Aku akan segera pulang. Kalau begitu kamu hati-hati di jalan dan jaga dirimu baik-baik. Aku ingin tidur dulu. Aku sudah lelah.”
“Apa Kakakku ada di sana?”
“Tidak. Ia ada di kamar sebelah.”
“Oh, ya sudah. Kalau begitu selamat tidur dan mimpi indah.”
“Thanks. Kamu jangan pulang terlalu malam ya.”
“Baiklah.”
“Bye-bye.”
“Bye-bye.” Setelah mengakhiri panggilan dan memasukan ponselku ke dalam tas, aku kembali merapat dan berjalan di samping Albert Ma. Ia tidak berkata apa-apa atau pun bertanya. Ia terus berjalan di sampingku, diam dan larut dalam pikirannya sendiri dengan satu tangannya di dalam saku celana.
Saat ini aku dan Albert Ma telah sampai di drop point kendaraan yang ada di depan gang utama Clarke Quay, tepatnya di pinggir River Valley Road. Dari depan gang ini geliat wisata malam telah nampak. Terlihat lampu-lampu menarik dari bar, pub dan restoran yang ada di sekitar Clarke Quay ini telah menyala. Payung-payung di sepanjang jalan juga telah diterangi dengan lampu berwarna-warni. Terdengar musik dari dalam bar tengah beradu. Ada yang live, ada juga yang hanya menggunakan playlist artis ternama.
Kami berdua berjalan memasuki kawasan Clarke Quay melewati payung-payung dan pohon-pohon yang di beri lampu hias untuk mempercantik suasana. Kerlap-kerlipnya seakan mengikuti irama dari music sekitar. Dan semakin malam kawasan ini akan semakin ramai. Tempat ini adalah tempat heng out popular di Singapore.
Clarke Quay berada di tengah kota, tepatnya di pinggir Singapore River. Sebuah destinasi unik untuk bersantap dengan suasana pesta yang sedikit lebih kental yang memiliki beberapa tempat untuk menikmati kehidupan malam yang paling digemari di kota ini. Kawasan ini dipadati oleh bar, club malam, dan café. Berada di persis di seberang pusat perbelanjaan Clarke Quay, kawasan ini melingkar dengan titik tengah yang di tandai dengan taman air mancur yang cantik.
“Albert, kamu dan temanmu berjanji untuk bertemu di mana?” Aku bertanya pada Albert Ma yang kini berjalan di sampingku. “Di sini ada banyak pub, café, dan club malam.”
“Apa kamu sering kemari?”
“Tentu saja. Ini adalah tempat hang out ku dengan teman-temanku selain di Orchard. Aku juga sudah pernah memasuki hampir semua tempat di sini. Di sini ada beberapa tempat yang terkenal. Seperti F.Club x Attica SG yang terkenal dengan penawaran malam khusus perempuannya. Jika kamu menyukai music aliran R&B kamu bisa mengunjungi lantai 1, namun jika kamu menyukai music house, progresif, atau tance kamu bisa ke lantai 2. Jika kamu menyukai lagu-lagu rock cadas secara live, kamu bisa ke Crazy Elephant. Jika kamu suka music latin dan berdansa, kita akan ke Cuba Libre Café & Bar.”
Albert Ma tersenyum tipis dan berkata, “Ternyata kamu penguasa kawasan ini. Sepertinya tidak salah jika aku memintamu menemaniku kemari. Sebentar, ada panggilan masuk.”
Albert Ma mengambil ponsel yang ada di saku celananya. Kemudian ia mengangkat panggilan masuk itu yang aku tidak tahu dari siapa. Ia berbincang dengan orang yang ada di seberang teleponnya sesaat, hingga akhirnya ia mengakhiri panggilan tersebut. Lalu ia menoleh padaku dan berkata, “Temanku menunggu kita di F.Club lantai 1.”
“Oke. Kalau begitu aku akan mengantarmu ke sana.” Aku menjawab sambil kembali melangkah membawa Albert Ma ke tempat yang akan kami tuju.
Tidak lama kemudian, kami pun sampai di club tersebut. Baru saja memasuki club, kami telah di suguhi oleh interior club yang menarik dan dentuman music R&B yang memenuhi ruang lantai 1 club. Albert Ma berjalan di depanku sambil mencari keberadaan temannya. Hingga akhirnya kami berhenti di sebuah meja yang ditempati oleh seorang pria dan wanita.
Pria itu bangkit melihat kedatangan kami. Ia tersenyum lebar dan memeluk Albert Ma layaknya sapaan hangat antara pria yang saling kenal. “Hai Albert, apa kabar? Sudah sangat lama kita tidak bertemu.”
“Kabarku baik, James. Sudah beberapa tahun terakhir kita tidak bertemu. AKhirnya kita kembali bertemu di sini.” Albert Ma menjawab sambil melepas pelukan teman prianya.
“Benar.” Pria itu memiringkan wajahnya menatapku yang masih berdiri di belakang Albert Ma dan bertanya, “Albert, apa ini kekasihmu?”
“Bukan. Ia adalah adik dari rekan bisnisku. Karena aku tidak tahu tempat ini, jadi aku memintanya untuk mengantarku.”
“Sangat cantik.” Pria itu menatapku dengan tatapan menggoda lalu kembali menoleh pada Albert Ma, “Oh iya, silahkan duduk.”
Aku dan Albert Ma pun duduk di hadapan pria itu dan juga wanita yang menemaninya. Saat ini aku merasa sangat risih dengan pria yang merupakan teman Albert Ma ini. Setelah ia memujiku dengan tatapan aneh, aku merasa tidak nyaman dengannya. Namun aku berusaha tenang, karena saat ini aku harus menemani Albert Ma menemui temannya. Lagi pula aku tidak mengenalnya, jadi aku bisa berpura-pura tidak peduli. Aku mengambil ponsel yang ada di dalam tasku, lalu memainkannya sambil menunggu Albert Ma dan temannya yang sedang berbincang-bincang.
“Ah… aku lupa menawari kalian minum. Albert, kamu mau minum apa?” pria itu bertanya pada Albert Ma.
“Aku ingin minum minuman yang terbaik yang ada di sini.” Albert Ma menjawab dengan santai.
Kemudian pria itu menoleh padaku, “Kamu ingin minum apa, Nona?”
“Coketail saja, Tuan.”
“Sebentar akan aku pesankan.” Pria itu pun memanggil pelayan club dan memesan minuman.
Saat Albert Ma tengah berbicara dengan temannya, wanita yang duduk di hadapanku dan juga di samping pria itu pun bersuara, “Sayang, aku ke toilet sebentar.”
“Baiklah.”
Setelah wanita itu berlalu pergi, Albert Ma pun bertanya, “James, bukankah kamu sudah menikah?”
“Ya, aku sudah menikah.”
“Lalu siapa wanita itu? Seingatku wanita itu bukanlah istrimu. Aku rasa istrimu bukanlah tipe wanita yang menyukai tempat seperti ini.”
Pria itu meneguk minumannya dan menjawab, “Ya, dia memang bukan Eleanor. Dia adalah wanita yang akhir-akhir ini aku sukai. Cantik, lembut dan sangat tergila-gila padaku.”
“Lalu bagaimana dengan Eleanor? Apa ia mengetahui hal ini?”
“Tidak. Ia tidak mengetahuinya.”
Aku hanya diam sambil memainkan ponselku mendengar pembicaraan mereka. Aku mendengar semua pembicaraan kedua pria yang duduk di dekatku dengan wajah acuh tak acuh. Melihat wajah pria ini dan mendengar nama istrinya Eleanor, membuatku ingat siapa pria ini sebenarnya. Ia adalah CEO pemilik perusahaan PL Technology yang sangat terkenal di Singapore. Namun istrinya jauh lebih lebih terkenal dari pria itu. Reputasi istrinya sangat terkenal di kalangan atas Singapore dengan kecantikan dan jabatannya. Sangat di sayangkan, pria sepertinya mau menghabiskan waktu di luar dengan wanita lain di bandingkan dengan istrinya yang jauh lebih cantik dan berkelas daripada selingkuhannya. Hal ini membuatku semakin tidak menyukai pria yang bernama James Phillip ini.
Tidak lama kemudian, wanita selingkuhannya pun kembali datang dan duduk di sampingnya. Minuman yang di pesankannya pun juga sudah datang dan terhidang di meja. Aku meminum coketail yang telah dipesankan untukku. Sedangkan Albert Ma meminum minuman beralkohol terbaik yang ada di club ini bersama temannya itu. Mereka minum sambil berbincang-bincang, sedangkan aku terus sibuk memainkan ponselku sambil menikmati music R&B yang mengalun. Dan wanita yang duduk di samping James Phillip pun meladeni mereka dengan terus menuangkan minuman ke dalam gelas masing-masing pria tersebut.
Saking sibuk dengan ponselku sendiri, tanpa terasa waktu cepat bergulir. Terlihat kedua pria yang duduk di meja yang sama denganku kini telah mabuk. James Phillip yang sedang mabuk terus bicara dengan wanita yang duduk di sampingnya dengan tubuh bersandar manja. Sedangkan Albert Ma yang juga mabuk, kini tumbang dengan kepala berada di atas meja dan mata terpejam. Aku menghela nafas panjang melihatnya yang telah mabuk karena terlalu banyak minum. Sudah dipastikan mala mini akulah yang akan menyetir dan mengantarnya pulang.
Malam semakin larut bahkan sudah dini hari. AKu yang sudah merasa lelah pun berkeninginan untuk pulang. Setelah berpamitan pada James Phillip, aku membawa Albert Ma yang tengah mabuk keluar dari club. Aku memapah tubuhnya yang tinggi besar itu berjalan di trotoar menuju parkiran. Dan di saat kami telah berada di parkiran, aku pun mendudukkannya di kursi penumpang depan mobil. Lalu aku mengendarai mobilku menuju alamat rumah Albert Ma untuk mengantarnya.
Beberapa menit kemudian, kami pun sampai di alamat rumah Albert Ma. Aku menekan bel gerbang rumahnya beberapa kali, hingga akhirnya seorang wanita paruh baya datang membukakan pintu gerbang untukku. Setelah pintu gerbang terbuka, aku mengendarai mobilku memasuki halaman rumah tersebut. Lalu membawa Albert Ma yang masih mabuk keluar mobil dan memasuki rumahnya di bantu oleh wanita paruh baya yang merupakan asisten rumah tangganya itu. Kami memapah Albert Ma yang berbicara seperti mengigau menyebutkan angka dan luas bangunan dan berjalan sempoyongan memasuki kamarnya.
Setelah berada di dalam kamar, kami membantu Albert Ma untuk naik ke atas tempat tidurnya yang empuk. Ia berbaring dengan posisi telentang dengan mata terpejam tanpa berkata apa-apa lagi. Melihat majikannya yang ia rasa sudah aman, pelayang itu pun berkata, “Nona, apa ada lagi yang bisa aku bantu?”
“Tidak, Bi. Biarkan saja ia tidur. Besok pagi ia akan bangun dengan sendirinya.”
“Baiklah, Nona. Kalau begitu aku permisi dulu.”
“Baik, Bi. Terima kasih telah membantuku.”
“Sama-sama.” Wanita paruh baya itu pun berlalu pergi dan menutup pintu kamar meninggalkanku bersama Albert Ma dalam kamar.
Melihat wanita itu yang sudah tua terbangun dini hari membuatku merasa kasihan. Jadi aku membiarkannya untuk pergi beristirahat. Aku berdiri sejenak melihat Albert Ma yang tengah berbaring tak beraturan. Saat ini tubuhnya berada di atas tempat tidur, namun kakinya menjuntai ke lantai. Sebelum pergi, aku pun membantunya melepas sepatu dan memperbaiki posisi tidurnya dengan baik. Aku membungkukkan tubuhku mengangkat kedua kakinya ke atas tempat tidur dan meluruskan tubuh serta posisi kepalanya.
Namun saat aku tengah memperbaiki posisi kepalanya, ia yang masih dalam keadaan mabuk pun menariku ke dalam pelukannya. Aku berusaha melepaskan diriku dengan mendorongnya, namun ia malah mempererat pegangannya. Ia memelukku begitu erat, lalu mencium bibirku tanpa perasaan dan tangannya pun bergerilya di tubuhku.
Seketika aku merasa ketakutan dan berteriak sambil mendoronganya, “Albert, lepaskan aku! Lepaskan aku! Apa yang kamu lakukan?”
Albert Ma yang masih dalam keadaan mabuk tidak menggubrisku. Tenaganya semakin kuat membuatku aku tidak bisa bergerak. Bahkan teriakanku tidak mampu menyadarkannya. Ia terus melancarkan aksinya dengan merusak pakaianku dan memaksaku melayaninya dengan paksa. Hingga akhirnya hal yang tidak diingan pun terjadi. Ia telah merusak masa depanku dengan merenggut kesucianku.