Sore itu, langit kelabu menggantung rendah di atas kota, seolah mencerminkan perasaan Lumina saat kakinya melangkah masuk ke dalam mansion tempat Nigel berada.
Udara terasa pengap, dan setiap langkahnya di koridor marmer yang dingin terasa seperti menyeret beban yang tak terlihat.
Dia seharusnya langsung menuju kamar Nigel—tempat di mana dia mengajar les dan nenemani bocah kecil itu bermain.
Tapi nasib berkata lain.
Saat melewati ruang kerja Jadynn, suara keras memecah kesunyian mansion. Langkahnya otomatis terhenti dan suara pertengkaran itu terdengar sangat jelas didengarnya, meskipun dia tak berniat menguping.
*
"Kau tidak akan pernah bisa melupakannya, kan? Anna selalu ada di antara kita! Kenapa kau mrnemuinya lagi??" teriak Annie, suaranya pecah oleh tangisan.
"Kau yang memulainya!! Kau mengancamnya dengan video itu bertahun tahun dan dia meminta bantuanku. Bisakah kau tak mengusiknya lagi? Aku sudah mengikuti semua keinginanmu!!” balas Jadynn, suaranya menggelegar penuh frustrasi.
Lumina membeku. Anna? Nama itu asing di telinganya, tapi dari nada percakapan itu, jelas Anna bukan sekadar nama biasa. Mungkin itu masa lalu Jadynn.
Dari balik pintu yang tak sepenuhnya tertutup, Lumina melihat Annie berdiri dengan wajah basah oleh air mata, tubuhnya gemetar.
Jadynn, yang biasanya selalu tenang, kini berdiri dengan tangan terkepal, urat lehernya menegang.
"Anna adalah musuhku meskipun dia kakakku! Aku sangat membencinya! Dia selalu mendapatkan apa pun yang dia inginkan!! Aku ingin membuatnya menderita dan kau selalu menghalangiku!!!" jerit Annie.
Lumina menahan napas. ‘Oh Tuhan. Jadi, Anna adalah mantan tunangan Jadynn—dan kakak Annie sendiri,’ batin Lumina.
Jadynn menghela napas panjang, “Sampai kapan kau akan menerornya? Berapa lama lagi kau akan terus mengganggunya? Dia sudah bahagia dengan suaminya!!”
“Aku tak suka melihatnya bahagia!! Dan aku tahu bahwa kau masih mencintainya!! Kau selalu memikirkan kebahagiaannya, dan tak pernah memikirkan kebahagiaanku!”
Lumina tidak ingin terlihat sedang menguping. Dengan hati berdebar, dia bergegas menjauh, langkahnya semakin cepat menuju kamar Nigel.
Pikirannya berputar-putar. ‘Apakah ini rahasia yang membuat rumah tangga Jadynn dan Annie begitu tegang? Apakah karena Anna, dan apa yang membuat Jadynn tak bisa menceraikan Annie? Apakah sebuah video yang tadi dikatakan oleh Annie? Tapi, video apa?’
Saat pintu kamar Nigel tertutup di belakangnya, Lumina bersandar ke pintu, mencoba menenangkan diri.
“Itu bukan urusanku,” bisiknya.
*
*
Nigel, yang sedang duduk di dekat jendela dengan buku di tangan, langsung menatapnya penuh perhatian.
“Miss Lumi? Akhirnya kau datang,” ucapnya dengan lega.
Lumina perlahan mendekati Nigel. Dan bocah kecil itu langsung memeluknya.
“Mommy datang,” lirihnya. “Tapi, aku tak suka. Kenapa dia pulang? Aku ingin dia tak pulang karena kau tak akan menginap di sini jika dia pulang.”
Lumina mengusap rambut tebal Nigel. “Kau tak boleh seperti itu. Dia ibumu dan dia pasti merindukanmu.”
“Dia tak merindukanku. Dia marah pada daddy dan berteriak-teriak. Aku takut, Miss Lumi.”
Suara Nigel bergetar dan itu membuat Lumina semakin sedih melihatnya. Lumina memeluknya lebih erat namun tetap lembut.
“Kau akan aman bersamaku, Nigel. Jangan khawatir.”
Nigel mengangguk dan merasa aman jika ada Lumina di sisinya.
*
*
Jam dinding di ruang makan besar mansion itu berdentang delapan kali, suaranya menggema di ruangan yang nyaris kosong.
Hanya ada dua kursi yang terisi—Lumina dan Nigel duduk bersebelahan di ujung meja makan sepanjang lima meter, dikelilingi oleh kursi-kursi kosong yang seakan menatap mereka dengan hampa.
"Nyonya Annie pergi lagi sore tadi," bisik salah satu pelayan tua sambil menata sup krim di depan Lumina. "Dia tidak mengatakan kemana."
Lumina mengangkat pandangannya ke Nigel. Bocah itu menyendok makanannya dengan wajah datar, seolah kepergian ibunya bukan hal baru dan dia tak peduli dengan hal itu.
"Nigel," Lumina mencoba memecah kesunyian, "Setelah makan, maukah kau main piano bersamaku?”
Nigel mengangguk semangat. Matanya yang biru berbinar tertuju pada Lumina dan kemudian kembali memakan kentang tumbuk di piringnya. "Aku mau.”
Lumina tersenyum, dia hanya berusaha membuat Nigel melupakan kesedihan atas keluarganya yang berantakan.
Saat mereka hampir menyelesaikan makan malam, pelayan kepala—Paman Henry—menghampiri dengan wajah suram.
"Miss Lumi, kami kehilangan dua pelayan hari ini. Mereka ikut mobil Nyonya Annie dan sepertinya akan dibawa sementara olehnya."
Lumina mengerutkan kening. "Ini sering terjadi?"
Darwis mengangguk pelan, matanya melirik ke arah Nigel yang sedang asyik memainkan sendoknya. "Setiap kali Nyonya pergi cukup lama, selalu ada pelayan yang ikut. Jadi, bisakah kau tetap di sini untuk menjaga Nigel?”
Lumina mengangguk tanpa berpikir lagi. Dia tak bisa meninggalkan Nigel sendirian dalam situasi seperti ini.
*
*
Malam itu, setelah makan malam yang sunyi, Lumina menatap Nigel yang sedang memainkan sendoknya di atas taplak meja dengan ritme acak.
Suara logam kecil berdentang di ruangan kosong, seolah menjadi musik pengiring kesepian mereka.
"Ayo kita main piano,” kata Lumina, mencoba memecah keheningan.
Nigel menoleh dan matanya berbinar ketika Lumina menunjuk ke arah piano di sudut ruang tengah. “Ayo.”
Piano itu terlihat mewah, tuts-tusnya mengkilap dan terlihat tak pernah dipakai. Tapi saat jari-jari Lumina menyentuhnya, instrumen itu seakan hidup kembali.
Nigel duduk di sebelahnya dan sesekali menekan tuts nya dengan random, tapi Lumina tersenyum melihatnya meskipun nadanya jadi tak beraturan.
Lumina cukup pandai bermain piano. Di panti asuhannya dulu, ada piano tua yang selalu dipakai Nyonya Rose—pengurus panti—untuk menghibur anak-anak di hari Minggu.
Saat anak lain bermain di luar, Lumina sering duduk diam di samping Ibu panti, menghafal setiap gerakan jemarinya.
“Musik itu seperti cerita, Lumi," bisik Rose kala itu. “Kadang sedih, kadang riang. Tapi selalu jujur."
Jari-jari Lumina sekarang menari di atas tuts, memainkan lagu sederhana yang dulu sering didengarnya. Nigel masih duduk di sampingnya, matanya lebar dan kini tangannya diam di atas pahanya, tak ingin merusak nada piano yang dimainkan oleh Lumina.
"Letakkan jari-jarimu seperti ini," bimbing Lumina, mengatur posisi tangan Nigel yang hanya diam.
Bocah itu mencoba menekan tuts C, tapi suaranya keluar terlalu keras. Lumina tertawa.
"Tidak apa-apa. Mozart pun awalnya begini."
Nigel tersenyum kecil—ekspresi yang membuat hati Lumina hangat. Mereka mulai bermain melodi sederhana bersama, suara piano yang sumbang perlahan mulai menemukan harmoninya.
*
*
Di tengah permainan, kulit tengkuk Lumina tiba-tiba meremang. Ada perasaan sedang diawasi.
Dia menoleh pelan. Di balik bayangan tangga kayu besar, berdiri sosok tinggi dengan siluet yang dikenalnya dengan baik—Jadynn.
Pria itu berdiri bersandar, segelas anggur merah di tangan kanannya. Sorot matanya terlihat dingin dan lelah.
Jadynn tidak bergerak, tidak juga bersuara. Hanya menatap mereka dari kejauhan, seperti penonton di gedung opera yang enggan bertepuk tangan.
Nigel tiba-tiba berhenti bermain saat menyadari kehadiran ayahnya. Suasana langsung berubah.
"Daddy," bisiknya, suara kecilnya gemetar.
Jadynn mengangguk pelan. "Teruskan." Hanya satu kata, tapi membuat Nigel segera menunduk kembali ke piano seakan ingin membuat ayahnya terkesan.
Lumina memperhatikan bagaimana Jadynn meminum anggurnya perlahan, matanya tak melihat ke arah Nigel, melainkan dirinya. Dan itu membuat Lumina mulai canggung.
Tanpa disadari, jari-jari Lumina mulai memainkan lagu yang lebih dalam—sebuah nocturne Chopin yang pernah dia dengar.
Dari sudut matanya, dia melihat Jadynn tiba-tiba menegang. Gelas anggur di tangannya bergetar hampir tak kasat mata.
Saat lagu berakhir, Jadynn sudah menghilang.