Tak Bisa Mengelak

1815 Kata
Tiga hari telah berlalu sejak pertengkaran sengit antara Annie dan Jadynn mengguncang mansion megah itu. Suasana masih terasa tegang, meskipun tidak ada lagi teriakan atau benda yang berterbangan. Lumina berdiri di depan jendela kamar tamu, memandang halaman yang sepi. Tangannya memegang ponsel, menatap transferan uang yang baru saja diterimanya—nominal yang jauh lebih besar dari gajinya selama beberapa bulan. “Ini gila. Dia bahkan tak bertanya padaku apakah aku menyetujuinya atau tidak,” gumamnya berbisik. Pesan dari Annie singkat saja. [Tinggallah di mansion untuk sementara. Jaga Nigel. Gaji sudah kutransfer dan jumlahnya berkali kali lipat dari gajimu. Jangan tanya apapun dan terima saja] Tidak ada penjelasan. Tidak ada tenggat waktu. Hanya perintah egois, lalu Annie menghilang begitu saja. Lumina menghela napas. Dia punya hidup sendiri—kuliah yang harus diselesaikan, tugas akhir yang menumpuk. Tapi uang itu terlalu besar untuk ditolak. “Apa yang akan terjadi jika akh tinggal di sini terlalu lama? Oh God … aku tak menginginkan ini.” Lumina menghela napas panjang dan matanya menatap sendu ke arah luar jendela. Dia hanya ingin kehidupan yang luruh dan tak terjebak dalam drama keluarga penuh intrik itu. * * Nigel tak pernah bertanya di mana ibunya dan sepertinya itu sudah menjadi kebiasaan karena Annie sering pergi meninggalkannya tanpa penjelasan apa pun. Dan parahnya lagi, Nigel selalu melihat Annie membawa pria pria selingkuhannya ke mansion. Tapi, Nigel menganggap itu adalah teman-teman Annie. "Apakah mommy akan kembali?" tanya Nigel suatu pagi, saat Lumina membantunya mengenakan sepatu. Lumina berhenti sejenak. "Dia akan kembali." “Aku berharap dia tak kembali agar Miss Lumi selalu ada di sini.” “Nigel, kau tak boleh bicara seperti itu. Kau adalah salah satu anak yang beruntung karena memiliki keluarga yang lengkap dan seorang ibu.” Lumina mengusap rambut Nigel. “Aku lebih suka bersamamu.” Nigel berdiri dan memeluk Lumina. Ikatan keduanya semakin hari semakin kuat dan Lumina jelas tak akan tega jika harus meninggalkan Nigel dalam situasi keluarga yang begitu kacau. “Jangan pernah tinggalkan aku, Miss Lumi,” lirihnya. “Aku tak akan pernah meninggalkanmu, Nigel. Aku sangat menyayangimu. Kau sudah seperti adikku sendiri.” Nigel mendongak. “Kalau begitu, aku akan memanggil Kakak Lumi saja. Apakah boleh?” Lumina tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja boleh. Ayo, kita berangkat sekolah.” Lumina berharap Annie segera kembali dan nendekatkan dirinya dengan Nigel. Tapi apakah Annie benar-benar akan kembali? * * Matahari pagi menyinari beranda mansion ketika Lumina menuntun Nigel menuruni tangga marmer. Bocah lima tahun itu berseragam rapi, tas kecil tergantung di pundaknya, wajahnya berseri-seri. Tapi kemudian, suara mesin halus memecah kesunyian pagi. Sebuah mobil mewah hitam—Rolls Royce Phantom—berhenti persis di depan tangga. Jendela otomatis turun perlahan, memperlihatkan sosok Jadynn dengan kacamata hitamnya yang membuatnya semakin terlihat tampan dan cool. "Daddy!" Nigel berseru gembira, langsung berlari ke arah mobil. Lumina menggigit bibir bawahnya. ‘Aku tidak siap untuk ini,’ batinnya. Jadynn tak tersenyum, namun dia mengusap kepala Nigel sebelum menatap Lumina. "Aku akan mengantar Nigel ke sekolah hari ini. Sekalian mengantarmu ke kampus." Suaranya datar, tapi ada tekanan di baliknya—sebuah perintah yang tak boleh ditolak. Lumina ingin menolak. Tapi Nigel sudah membuka pintu mobil, melambai-lambaikan tangannya. "Kak Lumi, ayo naik!" Dia tidak punya pilihan. * Interior mobil berbau kulit baru dan aroma kayu mahoni. Nigel duduk di kursi belakang, sibuk mengoceh tentang rencananya bermain sepak bola di sekolah. Jadynn menyetir sendiri—tidak seperti biasanya yang selalu menggunakan sopir. Lumina duduk di sampingnya, tangannya erat menggenggam tasnya. "Kau tidak perlu canggung," ujar Jadynn tiba-tiba, suaranya rendah. "Aku hanya ingin mengantar karena supir sedang sakit hari ini." Lumina mengangguk kaku tanpa mengatakan apa pun. Jadynn fokus menyetir dan kemudian Lumina menoleh ke arahnya. "Annie memberitahumu kapan dia kembali?" “Tidak,” jawabnya datar dan dingin. Ada sesuatu dalam nada suaranya—amarah yang tertahan, atau mungkin ... kepedihan? Lumina diam sepanjang perjalanan. * * Setelah menurunkan Nigel di sekolah—dengan pelukan hangat dari Lumina dan janji akan menjemputnya nanti—mobil meluncur lagi. Tapi lima menit kemudian, mobil berbelok ke jalan yang salah, tidak ke kampus Lumina. "Ini bukan rute ke kampus," protes Lumina. Jadynn tidak menjawab. Mobil berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit. “Ini perusahaanku. Aku butuh bantuanmu hari ini. Asistenku tak masuk, jadi aku butuh asisten pengganti untuk sementara.” “Tapi aku harus—“ “Aku akan membayarmu lebih,” potong Jadynn. “Mengapa orang kaya selalu menggunakan uang mereka untuk memaksakan kehendaknya?” sindir Lumina dengan berani. “Karena uang adalah segalanya. Kau pasti tak akan menolak juga kan?” Lumina hanya diam saja dan pasrah. * * Pagi itu, Lumina berdiri di depan meja kerja Jadynn dengan setumpuk dokumen di tangan. Asisten pribadinya, Jerry, tiba-tiba ada urusan keluarga karena ayahnya sakit. Jadynn memintanya—tanpa banyak pilihan—untuk menggantikan posisi itu hari ini. ‘Ini hanya satu hari. Aku bisa melewatinya,’ batinnya, membuka pintu. "Kau bisa memulainya dan tanyakan padaku apa yang tak kau mengerti," suara Jadynn terdengar serius. Lumina mengangguk dan melihat pria itu sedang fokus menatap layar laptop, jemarinya menari cepat di atas keyboard. Tanpa mengangkat pandangan, dia menyodorkan secangkir kopi kosong ke arahnya. "Tolong buat aku kopi baru. Hitam, tanpa gula." Lumina menghela napas, mengambil cangkir itu. “Bukankah ini tugas OB?” “Aku tak suka OB masuk ke dalam ruanganku.” “Baiklah,” jawab Lumina dan berbalik pergi. * * Jadynn adalah bos yang perfeksionis, tapi bukan tanpa alasan. Setiap kritiknya tajam namun membangun. Saat Lumina salah mengatur jadwal meeting hari itu, alih-alih marah, dia hanya menghela napas dan membetulkannya sendiri sambil menjelaskan sistem prioritasnya. "Meeting dengan investor Jepang lebih penting dari lunch meeting dengan direktur bank," ujarnya, jari menunjuk kalender digital. "Mereka terbang khusus dari Tokyo hanya untuk hari ini." Lumina mengangguk, menyiapkan mentalnya. Di sela-sela itu, dia memperhatikan bagaimana Jadynn selalu mengingat nama semua staf dan menolak tiga kali panggilan penting hanya untuk memastikan kontrak perusahaan sudah beres. Ini bukan sosok pria cuek dan egois yang sering digambarkan oleh Lumina selama ini. * * Saat jam makan siang, Lumina kembali ke meja kerjanya dengan kotak makan salad—dan terkejut menemukan satu kotak yang sama sudah menunggu di sana. "Dari Tuan Jadynn," ujar office boy sambil tersenyum. "Katanya nona tidak sarapan tadi." Lumina membuka kotaknya—salad quinoa dengan ayam panggang, persis kesukaannya. ‘Bagaimana dia tahu aku tak sarapan tadi? Mungkin bibi yang mengatakannya,’ pikirnya. Ketika dia menengok ke arah kantor kaca Jadynn, pria itu sedang sibuk berdebat melalui telepon, sama sekali tidak melihat ke arahnya. Pria itu begitu tampan dan sangat berkharisma. Tanpa sadar, Lumina melihat ke arah bibirnya. Darahnya berdesir ketika ingat bagaimana Jadynn memagutnya malam itu. Lumina segera menggelengkan kepalanya dan mengenyahkan kenangan itu jauh-jauh. * * Menjelang sore, Jadynn muncul di meja kerja Lumina dengan kunci mobil di tangan. "Aku ikut menjemput Nigel," ujarnya singkat dan Lumina mengangguk dengan sopan. Kini, Jadynn dan Lumina berada di lift yang menuju ke lantai lobi. Lumina mencoba mengabaikan betapa dekatnya mereka dalam ruang sempit ini. Wangu parfum Jadynn—kayu oud dengan sentuhan vanilla—tiba-tiba sangat terasa di indra penciumannya. "Pekerjaanmu sangat memuaskan hari ini," ujar Jadynn tiba-tiba. “Terima kasih. Ini sebuah pengalaman yang sangat berharga bagiku,” jawab Lumina dengan tulus. * Setelah menjemput Nigel, suasana lebih cair dari pagi tadi. Jadynn bahkan memutar lagu Disney favorit Nigel—yang jelas bukan seleranya. "Tadi meeting dengan investor Jepang berhasil?" tanya Lumina mencoba memulai obrolan. Jadynn mengangguk tanpa ekspresi yang berarti. "Mereka tanda tangan kontrak 5 tahun." "Selamat." "Terima kasih untuk bantuannya hari ini." Kalimat itu keluar seolah-olah sulit diucapkan. "Kau ... lebih kompeten dari yang kukira." Lumina menggigit bibirnya, sedikit salah tingkah karena pujian itu, lalu dia memandang keluar jendela. * * Angin malam berdesir pelan melalui tirai jendela koridor ketika dia baru saja menutup pintu kamar Nigel dengan lembut. Nigel akhirnya tertidur setelah dibacakan tiga cerita pengantar tidur. "Akhirnya bisa istirahat," bisiknya sambil mengusap lelah di pelipisnya. Namun, ketika dia menuju kamarnya, sosok tinggi berdiri di dekat pintu kamar—bayangan itu membuat jantungnya nyaris berhenti. "J-Jadynn?" suaranya tercekat. Pria itu menoleh, wajahnya disinari cahaya lampu temaram di koridor. "Maaf mengagetkanmu." Lumina menahan napas. “Apa yang kau lakukan di sini? Kita ... sebaiknya tidak berada di sini berdua," bisiknya, mencoba menahan gemetar di suaranya. Jadynn mengangkat sebuah buku tebal. "Aku hanya ingin memberimu ini." Lumina mengenali sampul buku itu—The Art of Corporate Strategy, edisi langka yang selama ini dia cari untuk referensi tugas kuliahnya. "Kau punya buku ini?” Jadynn mengangguk kecil. Dia melangkah mendekat, menyerahkan buku itu. Tapi ketika jari mereka tak sengaja bersentuhan, ada kehangatan yang membuat Lumina menarik napas pendek. "Perpustakaanku punya koleksi lengkap tentang ini," ujar Jadynn, suaranya lebih rendah dari biasanya. "Jika kau mau ... aku bisa menunjukkannya." Lumina seharusnya menolak. Tapi rasa ingin tahunya mengalahkan logika. "Baiklah," jawabnya akhirnya. * * Perpustakaan pribadi Jadynn ternyata jauh lebih megah dari yang dibayangkan Lumina—rak-rak kayu hitam setinggi langit-langit berisi buku-buku langka, sofa kulit empuk, dan meja baca antik dengan lampu Tiffany. Dan … perpustakaan itu selalu terkunci karena Jadynn tak mau ada yang mengacaukan penataan bukunya. * "Koleksi keluarga selama tiga generasi," jelas Jadynn sambil menuangkan dua gelas wine merah yang ada di meja besar di dekat jendela. Mereka mulai berbicara—awalnya tentang bisnis, lalu beralih ke filsafat, seni, bahkan politik global. Lumina tak terkejut ketika tahu bahwa Jadynn adalah pendengar yang baik dan pemikir yang tajam. Karena Jadynn memang terlihat sangat pintar dan serius. "Kau seperti yang kuduga," akunya tanpa sadar. Jadynn hanya memandangnya, matanya berbinar dalam cahaya lampu. * * Satu jam berlalu tanpa terasa. Ketika Lumina berdiri untuk pergi, tangan Jadynn tiba-tiba menangkap pergelangannya dengan lembut. "Jangan pergi," gumamnya, suaranya serak. Mata mereka terkunci—Lumina melihat lautan kesepian di dalamnya, sementara Jadynn menemukan cahaya yang selama ini dia cari. “Jadynn, kita tak boleh terlalu dekat,” kata Lumina dengan ragu. “Aku … membutuhkanmu. Jangan pergi.” Mereka masih saling memandang, berusaha membaca pikiran masing-masing. Jadynn kemudian berdiri dan dengan lembut mengusap pipi Lumina. “Jangan …” Lumina menahan tangan Jadynn. Jadynn mengambil tangan Lumina dan mengecupnya lembut. Lumina seakan meleleh dengan kecupan ringan itu. “Jadynn … tolong … jangan libatkan aku dalam—“ Lalu Jadynn memotong ucapan Lumina dengan sebuah ciuman lembut. Sangat lembut, hingga membuat Lumina tak ingin mendorong Jadynn seperti sebelumnya. Ciuman itu terjadi begitu alami. Awalnya lembut, seketika berubah menjadi dahsyat saat Jadynn menarik Lumina lebih dekat. Lumina tidak melawan—dia bahkan merespons dengan intensitas yang sama, jari-jarinya terjalin di rambut hitam Jadynn yang tebal. Ada rasa sakit, kerinduan, dan kebutuhan yang terpendam selama ini dalam ciuman Jadynn dan Lumina bisa merasakannya. Lumina tahu seharusnya ciuman itu tak terjadi, tapi Lumina tak bisa menolak lagi apa yang hatinya inginkan sepenuhnya. Lumina ingin mencium Jadynn, memeluk rindunya, merengkuh kepedihannya, dan menghilangkan kesakitannya yang selama ini Jadynn rasakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN