Nathasya memasuki sebuah restoran mewah tempat di mana Bramuda memintanya untuk datang. Sangat jarang sekali bosnya itu menghubunginya di luar jam kantor. Apalagi pada malam hari seperti ini. Nathasya penasaran hal mendesak apa yang membuat bosnya memintanya datang ke sini?
Nathasya melihat Bramuda tengah duduk di salah satu meja yang berada di ujung ruangan. Restoran ini tak begitu ramai. Mungkin karena saat ini sudah pukul sepuluh malam.
“Pak?” panggil Nathasya mendekat ke arah Bramuda yang tengah meminum segelas wine.
“Kamu udah datang, Nath. Duduk,” kata Bramuda yang membuat Nathasya duduk di kursi yang berhadapan dengan pria itu.
Nathasya mengamati meja yang tampak penuh dengan sisa makanan, piring dan gelas. Sepertinya ini adalah restoran di mana Bramuda, Thalita dan kedua mama mereka bertemu. Namun, saat ini hanya ada Bramuda di sini. Ketiga orang yang bersama Bramuda sudah tidak ada di sini.
“Jadi, ada hal mendesak apa, Pak?” tanya Nathasya sedikit was-was. Malam ini bosnya tampak beda dari biasanya. Pria itu terlihat lebih berantakan. Seolah kontrol akan dirinya hilang entah ke mana.
“Tadi saya udah ketemu sama Thalita,” kata bosnya dengan ekspresi menerawang. Seolah sedang mengingat kembali pertemuannya dengan gadis itu. “Semua berjalan sesuai dengan rencana.” Bramuda tersenyum tipis. Lalu ia kembali menyesap minumannya.
“Hubungan kalian tidak akan berlanjut lagi?” tanya Nathasya.
Bramuda mengangguk. Bosnya itu tampak sangat lelah dan, entah kerena alasan apa, juga tampak agak risau. Seperti tengah ada masalah.
“Jadi, ini hal yang baik kan, Pak?” tanya Nathasya lagi yang membuat Bramuda mengangguk. “Kalau hal baik kenapa Bapak terlihat sedih? Atau jangan-jangan Bapak yang ditolak Thalita? Bapak sedang patah hati?”
Bramuda terkekeh pelan. “Thalita memang yang nolak saya, tapi itu nggak bikin saya patah hati, Nath,” jawab Bramuda. “Memang saya agak kaget ketika dia bilang nggak mau apabila nantinya sampai dijodohkan dengan saya. Maksud saya, apa yang kurang dari saya sih, Nath? Saya sudah mapan, saya pun cukup tampan kan? Tapi dia langsung menolak saya.” Bramuda kembali mengisi gelasnya dengan wine yang ada di meja.
“Kalau boleh tahu, alasan Thalita nolak Bapak itu apa, Pak?” tanya Nathasya mengamati Bramuda yang sudah menyesap winenya.
“Dia udah punya pacar. Drummer. Temen mantannya dulu.”
Nathasya membelalakkan mata. “Apa jangan-jangan Thalitanya yang selingkuh sama drummer itu?!”
“Sepertinya begitu.”
“Wah, nggak nyangka saya,” kata Nathasya geleng-geleng kepala. “Lalu, Bapak nyuruh saya ke sini buat hubungin Thalita lagi?”
Bramuda menaikkan sebelah alisnya. “Ngapain hubungin dia lagi?”
Nathasya mengangkat kedua bahunya. “Karena Bapak merasa harga diri Bapak jatuh gara-gara ditolak Thalita dan mau minta bantuan saya biar bisa berhubungan lagi sama dia. Gitu kan, Pak?”
“Saya nggak peduli sama Thalita, Nath. Dan saya nggak keberatan ditolak sama dia.”
Nathasya menatap Bramuda bingung. “Lalu, ada hal mendesak apa yang bikin Bapak nyuruh saya ke sini malam-malam?”
Bramuda meletakkan gelas ke meja. Kemudian dia menatap Nathasya dengan raut wajah serius. “Saya mau ngajuin perjanjian kerjasama sama kamu.”
“Perjanjian kerjasama?”
Bramuda mengangguk. “Saya dengar kamu sedang butuh uang banyak.”
Nathasya menatap Bramuda dengan bingung. Lalu, kebingungannya berubah jadi kewaspadaan. “Bapak tahu dari mana saya sedang butuh uang banyak?” tanya Nathasya hati-hati.
“Kamu cerita sendiri ke saya pas kamu mabuk kemarin,” jawab Bramuda enteng.
Nathasya menghela napas dalam. Bagaimana bisa ia mengungkapkan rahasia itu kepada Bramuda? Apa yang dipikirkan bosnya itu sekarang? Dia pasti menganggap Nathasya menyedihkan.
“Saya akan bayar kamu sebanyak uang yang kamu butuhkan, Nath. Kamu hanya perlu melakukan satu hal.”
“Melakukan apa?”
“Nikah sama saya,” jawab Bramuda.
“Bapak sedang bercanda?” Nathasya menatap bosnya dengan ekspresi kaget bercampur kesal.
Bramuda menggeleng. “Saya nggak sedang bercanda. Saya serius, Nath. Kamu hanya perlu nikah sama saya, nanti saya akan bayar kamu. Kita—”
“Pak!” tegur Nathasya kehilangan kesabaran. “Ya, memang saya sedang butuh uang yang sangat banyak. Tapi bukan berarti saya rela jual diri hanya untuk mendapatkan uang. Saya nggak serendah itu, Pak!” Nathasya menatap Bramuda dengan tatapan terluka. “Jika tidak ada keperluan lain, saya permisi.”
Nathasya bangkit dan berjalan meninggalkan Bramuda. Ia tak tahu jika dirinya semenyedihkan itu hingga Bramuda mengira dirinya rela dibayar hanya untuk menikah dengan bosnya itu. Bramuda keterlaluan.
***
Di kantor, sebisa mungkin Nathasya menghindari Bramuda. Ia tak tahu harus bereaksi apa jika melihat bosnya itu setelah kejadian semalam. Rasanya, semalam lebih memalukan daripada waktu Nathasya mabuk sampai tak sadarkan diri di rumah bosnya. Bagaimana bisa Bramuda berpikir jika Nathasya mau menikahinya dengan iming-iming uang? Memangnya Nathasya tidak punya harga diri apa?
“Pak Bramuda di dalam?” tanya Darma menghampiri Nathasya dengan membawa setumpuk map.
“Iya, masuk aja,” jawab Nathasya.
Damar meletakkan tumpukan map ke meja Nathasya. “Tolong, ya,” ucap Darma tersenyum lebar kepada Nathasya. Sebelum Nathasya sempat protes, Darma sudah dulu ngacir dari hadapannya.
Mungkin tadi seharusnya Nathasya tidak berangkat ke kantor jika memang berniat untuk tidak bertemuu Bramuda. Karena sebagai sekretarisnya, rasanya sangat tidak mungkin menghindari Bramuda.
Nathasya mendesah pelan menatap tumpukan map di mejanya. Apa yang harus Nathasya ucapkan jika nanti bertemu Bramuda?
Dengan enggan Nathasya bangkit, membawa serta tumpukan map itu dan berjalan menuju ruangan Bramuda. Nathasya mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar respons dari Bramuda, Nathasya langsung masuk ke dalam ruangan.
Nathasya hanya perlu meletakkan map ini ke meja Bramuda kemudian ia bisa langsung cabut. Tak perlu basa-basi dengan bosnya.
“Kebetulan sekali,” kata Bramuda yang membuat Nathasya menoleh ke arahnya. “Nath, tolong kirim karangan bunga dan ucapan selamat buat Yudi atas pembukaan kafe barunya.”
“Yudi?” tanya Nathasya bingung.
Bramuda mengangguk. Ia tampak fokus dengan lembaran kertas di depannya. “Nanti saya kirim alamat kafenya.”
“Baik, Pak,” balas Nathasya.
Bramuda menaikkan pandangan ke arah tumpukan map di tangan Nathasya. “Itu apa?”
“Ini dari Darma, Pak.”
Bramuda mengangguk. Lalu menyuruh Nathasya untuk meletakkan map itu ke mejanya.
Diam-diam Nathasya mengamati Bramuda. Tampaknya bosnya itu tak ingat tentang ucapannya semalam. Bisa jadi karena semalam Bramuda mabuk. Hal ini membuat Nathasya dapat bernapas lega. Jika Bramuda tak mengingatnya, tak ada alasan Nathasya untuk enggan bertemu dengan bosnya itu. Nathasya hanya tinggal pura-pura tak pernah mendengar perkataan bosnya itu.
“Nath,” panggil Bramuda sebelum Nathasya berjalan menuju arah pintu untuk keluar dari ruangan ini.
“Iya, Pak?” tanya Nathasya.
“Tentang tawaran saya semalam, tolong dipertimbangkan,” kata Bramuda seraya membalik kertas yang baru saja ia baca. Bosnya itu seakan menghindari kontak mata dengan Nathasya.
“Tawaran?” tanya Nathasya bingung.
Bramuda mengangkat pandangan ke arah Nathasya. Menatap wanita itu sungguh-sungguh. Bramuda mengangguk, lalu menjawab, “Tawaran menikah dengan saya.”
Ternyata anggapan Nathasya tentang Bramuda yang lupa soal ucapannya semalam itu salah. Bramuda ingat. Pria itu tampaknya tak begitu mabuk hingga melupakan ucapannya.
“Pak! Apa saya—”
“Jangan asal tolak sebelum kamu dengar keseluruhan tawaran saya, Nath,” potong Bramuda tenang.
Ketika Nathasya hendak menjawab, tiba-tiba pintu ruangan ini terbuka. Seorang pria seumuran dengan Bramuda memasuki ruangan dengan kedua tangan terlentang.
“Bro, gue balik,” kata pria itu terdengar senang.
Bramuda menghela napas dalam menatap pria tersebut. “Kamu boleh balik ke mejamu, Nath,” kata Bramuda kepada Nathasya. “Nanti kita bicara lagi.”
Setelah mendengar ucapan Bramuda itu, Nathasya langsung berbalik dan berjalan keluar dari ruangan ini. Jika saja tamu tadi tidak datang, mungkin Bramuda sudah Nathasya tonjok karena kurang ajar memintanya untuk menikah dengan embel-embel uang.