Terbiasa dengan kesibukan orang tuanya, Mama yang selalu temani Papa dalam bagian bisnis keluarga membuat Fayra lebih banyak tinggal bersama Kakek-neneknya. Langsung di bawah pengawasannya, bahkan bisa dikatakan Grandad Kaivan Lais lebih protektif dan posesif dari Papa Alyan. Fayra tidak pernah bisa pergi sendiri dengan bebas, selalu ada beberapa orang yang ditempatkan menjaganya, bahkan Fayra punya pengawal perempuan pribadi. Melalui Kakek-neneknya pun pertama kali ia dikenalkan Ragnala.
Tepat dua tahun sebelum kepergian Grandad Kai untuk selamanya. Semakin dewasa, Fayra semakin menawan mewarisi kecantikan Nenek dan ibunya. Ranum seperti bunga yang baru mekar. Ketika Grandad memintanya ikut ke suatu acara, Fayra tidak bisa menolak.
Dengan dress yang elegan dan sopan, Fayra menggandeng salah satu lengan Grandad Kai, sementara lengan lain Grandad pun diisi pelukan tangan Grandmom. Dalam keluarganya, semua pasangan saling mencintai. Memperlakukan satu sama lain dengan penuh sayang, cinta yang tulus. Kemesraan Grandad dan Grandmom Anna salah satu yang paling buat Fayra berharap bisa memiliki takdir seperti mereka perihal asmara dalam hidup. Setia, saling mencintai hingga masa senja. Bahagia sekali.
“Jangan jauh dari Grandad!” Ucap Kaivan.
“Hm, walau yang Grandad bicarakan bikin bosan. Cuman aku yang tahan temani Grandad-Grandmom dibanding Ka Sky dan Ka Sagara. Harusnya porsi warisanku bisalah lebihkan sedikit dari mereka!” Katanya sambil menggoda sang KakeK, gadis seusianya harus dengar obrolan bisnis, politik sungguh membosankan, Fayra lebih suka menyimak sejarah dari karya Leonardo da Vinci yang disimpan di Museum Louvre di Paris, atau lukisan karya Vincent Van Gogh. Oh atau menawar harga dari barang-barang antik berharga tinggi, seperti Guci kuno, Gramophone, piringan hitam. Bisnisnya membeli dan menjual barang-barang seperti ini.
Kai dan Anna tertawa mendengar kalimat cucunya, “Cucu perempuan kami cuman kamu dan Anya. Sky, Sagara bahkan Khevva tidak akan mewarisi jewelry serta tas luxury koleksi Grandmom. Jadi, sudah pasti kamu dapat lebih." Jawab Kai
Fayra menempelkan pipinya, manja ke bahu Kaivan.
"Dan biar tidak bosan, nanti Grandad kenalkan kamu dengan seseorang.” Ucapnya lagi.
“Siapa? Pasti salah satu dari kenalan Grandad, dan sudah pasti perempuan lagi. Grandad mana bisa biarkan aku dekat teman laki-laki!” Fayra sudah hafal kebiasaan Kai.
“Kali ini berbeda,” kata Anna yang tersenyum lembut.
“Oh ya? Apa aku akan mengikuti jejak kalian yang bertemu pertama kali, dan dikenalkan diacara seperti ini?” tanyanya lagi, Fayra sudah mendengar sedari lama bagaimana awal Kaivan-Anna bertemu dulu.
Anna tersenyum, tetapi Kaivan mendahului, “hanya kenalan, usiamu masih muda. Nikmati masamu dulu walau memang Grandad sangat mengenal keluarga Mirza ini.”
Nama yang tidak asing ditelinga Fayra, sampai kemudian Grandad bertemu dengan pasangan yang dimaksud, yang memang datang juga bersama putranya. Mereka kebetulan sedang di Jakarta.
“Rasanya terakhir bertemu, Ragnala masih setinggi pinggangku. Sekarang lihat dia, tingginya sudah melebihiku!” Decak Grandad yang setelah mendapat sapaan hormatnya, langsung memeluk Ragnala, tangannya menepuk-nepuk bahunya pelan.
Fayra yang setia di samping Kai, memerhatikan itu hingga tatapannya bertaut lekat untuk pertama kalinya. Grandad sendiri yang kemudian memperkenalkan Fayra dengan Ragnala.
“Bagaimana Ragnala menurut, Grandad?"
"Aku mengenal baik kakeknya, pun ayahnya yang hampir jadi menantuku. Seharusnya, penilaiaku tidak keliru kali ini. Eh, bukan berarti kalian bisa dekat. Hanya berteman dulu. Aku harus memastikannya, layak untukmu jika memang tidak ada pria lain yang lebih baik mendapatkanmu suatu hari nanti." Tangan Grandad bahkan mencubit gemas pipi cucu kesayangannya, kemudian mencium pelipis Fayra, "jangan sampai kamu bersama pasangan yang salah, sungguh sekali pun aku tidak lagi di sini, aku tidak bisa menerimanya melihatmu disakiti. Jadi, akan kupastikan kamu dapat pasangan yang sangat mencintai, memperlakukanmu dengan lembut dan sayang."
Mata Fayra seketika terbuka, terdiam menyesuaikan netra matanya dengan sekitar. Ia masih berbaring di atas ranjang, hanya selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Fayra bergerak pelan, mendesah merasakan tubuhnya terasa remuk. Keadaan kamar yang masih temaram, serta gorden yang belum dibuka tanda Ragnala tidak mengizinkan siapa pun memasuki kamarnya. Termasuk Kasyapi.
Terbangun dengan perasaan rindu pada sang Kakek, membuat Fayra ingin meraung menangis. Grandad Kai mengenalkannya dengan Ragnala, tapi Tuhan sudah lebih dulu memanggilnya sebelum memastikan Ragnala sebaik ayahnya atau kakeknya yang lebih dulu dikenal Grandad.
Fayra bergerak duduk, memeluk ujung selimut agar tidak merosot. Dia memeriksa jam, sudah cukup siang, jam sepuluh pagi. Fayra bergegas bangun meski dengan kaki yang masih lemas. Langkahnya menuju kamar mandi, berendam air hangat bisa meredakan rasa tak nyaman ditubuhnya. Namun, sebelum memasuki bathtub, ia lebih dulu berdiri depan cermin. Menatap tanda kemerahan-keunguan yang Ragnala tinggalkan. Kemudian ia menatap wajahnya sendiri, mengasihi dirinya sendiri. Mata bengkak karena terus menangis semalam, rambut yang berantakan.
Fayra menarik napas dalam, berpaling dan berhenti memandangi karena setiap hal yang Ragnala lakukan dalam kemarahan menyisakan rasa sakit dihatinya. Dia berjalan, memastikan mendapat aroma dan kehangatan yang pas untuk berendam, berlama-lama.
Tatapan kosong menatap dinding kamar mandi, Fayra perlahan menurunkan tubuhnya hingga air itu mencapai dagunya terus bergerak menenggelamkan diri. Ia memejamkan mata sambil menahan napasnya.
Sedetik, dua detik, hingga berdetik-detik...
“Mommy!” Seruan suara yang begitu terdengar jelas membuat Fayra segera menaikkan kepalanya dan membuka mata, meraup napasnya dalam-dalam.
Matanya mencari, “Asya!” namun tidak ada siapa pun. Seolah itu hanya alam sadarnya yang menariknya. Fayra mengusap wajahnya kemudian bersandar, sesuatu yang membuat hatinya perlahan menguat. Ia sudah melewati semua ini, selama tujuh tahun, bukan untuk berakhir menghabisi dirinya sendiri.
Ia tetap berendam sampai airnya dingin, membuat jemarinya bahkan mulai memutih dan mengerut. Fayra segera keluar kamar mandi, berpakaian dan berdandan untuk menutupi kesedihannya.
***
Ragnala biasanya tetap tenang menjalani rutinitas dan pekerjaannya sekali pun sesudah malam pertengkaran dengan Fayra. Tetapi, semalam berbeda. Ia nyaris tidak bisa tidur karena teringat rintih dan tangis Fayra. Kemudian, terbangun pun ia tetap berada di sana dan memandangi tubuh istrinya yang meringkuk.
Selain itu, yang mengganggu pikirannya saat Fayra memanggil nama seseorang.
“Gr-grandad Kai... Grand-mom...” Sambil terisak dalam tidurnya.
Ragnala menghela napas dalam, kekalutan yang bisa dirasakan Eros terutama saat Ragnala begitu saja berdiri.
“Rag, ada apa? Kamu tampak gelisah begitu?“
“Hari ini batalkan agenda yang lain, aku akan jemput Kasyapi lalu pulang.” Katanya membuat keputusan sendiri. Eros tidak bisa protes sekali pun dibuat repot mengurusi perubahan dadakan.
Ragnala menyetir sendiri, menuju sekolah anaknya. Kasyapi tadi bisa dicegah menemui Fayra. Senyumnya begitu lebar saat dapati Ragnala membangunkannya, kemudian temani ia mandi dan bersiap ke sekolah. Lalu Ragnala juga yang duduk dan sarapan bersamanya, sampai anak itu mulai menanyakan.
”Di mana, Mommy? Apa sakit, Dad?” tanyanya.
Ragnala sempat terdiam, kemudian berusaha tenang saat mengatakan, “Mom masih tidur, Asya tidak senang kalau hari ini Daddy yang temani?”
“Termasuk ke sekolah?” tanyanya dengan nada antusias, Ragnala sangat sibuk. Sebulan sekali belum tentu bisa mengantar Kasyapi. Mengurusnya, mengantar sekolah dan lainnya di rumah bagian tugas Fayra selama ini.
Kepalanya mengangguk, “ya, Dad yang antar.”
Bahkan saat mau pergi, lagi-lagi Kasyapi siap ke kamar mereka, Ragnala menghentikan dan mengatakan sudah menyampaikan ke Fayra.
Kini Kasyapi kembali terkejut mendapati Ragnala yang kembali menjemputnya.
“Dad lagi libur ya, kok ada terus?” tanyanya heran, selain kehadirannya pun tidak bersama seseorang. “Tidak ada Uncle Eros juga.” Artinya memang Ragnala sungguh tidak bekerja.
“Hari ini Dad lagi ingin sama Kasyapi,”
“Mommy juga, bertiga.” Dia meluruskan seolah tidak lengkap tanpa ibunya.
Ragnala hanya memberi anggukan kaku, kemudian menggandeng Kasyapi, membukakan pintu mobil dan bantu mendudukkan dengan benar, memakaikan seatbelt-nya. Ragnala duduk di belakang kemudi, membiarkan Kasyapi mengoceh mengenai sekolahnya. Selain sekolah biasa, putranya juga ikut sekolah sepak bola miliknya setiap dua kali seminggu.
“Aku nanti mau telepon Opayan-Oma Fay ya Daddy! Kangen sekali!" tiba-tiba meminta.
Kasyapi memang mirip dirinya dari segi wajah, tetapi sikapnya mungkin menuruni Fayra sebelum bersamanya. Ceria sekali, cerewet.
Mobil mereka sampai depan halaman rumah yang selama tujuh tahun ditempati bersama Fayra. Ragnala menekan Ibu jarinya, pemindaian berhasil dan pintu terbuka. Aroma kue seketika terhirup, Kasyapi melepas tas dan memberikan padanya sebelum berlari ke dapur, “Mommy pasti buat kue kesukaan aku!”
Ragnala mengikuti putranya, benar saja. Fayra sudah berdiri dengan menggunakan apron masak. Tangannya menggunakan sarung khusus untuk mengangkat loyang dari oven. Selain kue, di meja makan ada masakan lain untuk makan siang. Tatapan mata mereka bertaut hanya sebentar sebelum Fayra mendekat, memeluk Kasyapi yang juga memberi kecupan manis di pipi ibunya.
“Mommy sudah cukup istirahatnya? Hari ini Dad yang mengurus dan temani aku, sengaja ambil libur karena ingin seharian sama aku dan Mommy!” serunya.
Fayra tetap tersenyum, padahal ia tahu Ragnala ada untuk Kasyapi. “Are you happy?”
Kepala putranya mengangguk, “Happy yipppy! Juga lapar sekali! Aku mau kuenya dua eh tiga, Mom!”
“Kamu akan dapat potongan cake super besar! Pertama, ganti baju dulu ya...” angguk Fayra. Seolah tidak pernah ada sakit yang ia lalui semalam, untuk berpura-pura keluarga ini begitu lengkap dan sempurna bagi Kasyapi.
Kasyapi memberi anggukan, langsung kembali ke Ragnala mengambil tasnya dan pergi ke kamar. Ragnala menatap Fayra yang segera berbalik, coba berpaling.
Ragnala mendekat, berdiri di belakangnya kemudian kedua tangannya menyentuh erat pinggang sang istri. Fayra menurunkan tangannya dan mengepal saat Ragnala bersikap semaunya tanpa meminta maaf, “kamu marah?”
Fayra terdiam sesaat, sebelum menjawab... “apa marahku berarti untukmu? Bisa memengaruhimu?” sembari berbalik dan menatap Ragnala dengan tatapan terluka.
"Jangan memulai lagi, atau kita akan merusak kebahagian Asya karena aku di rumah seharian ini!" ucapnya, Fayra baru akan berbalik, Ragnala justru merangkum wajahnya.
Fayra memejamkan mata, hanya diam saat Ragnala mencium bibir dan mengulumnya.
Tidak mendapat balasan, Ragnala menarik Fayra merapat dan berbisik, "balas, aku mencium istriku bukan patung!"