Penguatku, Kasyapi 2

1524 Kata
"Balas, aku mencium istriku bukan patung!" pintanya. Fayra tetap terdiam, sampai Ragnala menarik diri dan memberi tatapan menguasai, benci tertolak. "Bila aku bukan patung, mengapa kamu memperlakukanku sesuka hatimu?" Fayra menjawab dengan berani. Ragnala terdiam, suasana kembali tegang namun kembalinya Kasyapi, membuat Fayra segera berbalik dan Ragnala mengendurkan ketegangannya sedikit. Sikap Ragnala sangat berbeda kepada Kasyapi, hampir tidak pernah marah. Kalau pun Kasyapi ada melakukan kenakalan kecil, Fayra yang lebih suka menegurnya. Terkadang Kasyapi mengadu ke Ragnala jika habis dimarahi Fayra. Ragnala akan memberi lirikan protes, seolah Fayra memarahi tanpa alasan. Bahkan saat Kasyapi jatuh, terluka, Ragnala akan minta penjelasan Fayra. Namun, Fayra bisa tegas jika mengenai apa yang boleh dan tidak untuk Kasyapi, dan Ragnala harus mengikutinya demi kebaikan putra mereka. Kasyapi bukan hanya hadir sebagai ikatan, pun membuat Ragnala maupun Fayra tetap bertahan dalam pernikahan mereka. Kasyapi mengubah Ragnala, pun Fayra. Gadis manja yang dulu ada dalam dirinya seolah berhasil hilang, Fayra terus mengusahakan jadi Ibu yang baik untuk Kasyapi. Hal lain yang buat Fayra tahu betapa berartinya Kasyapi untuk Ragnala, saat sampai saat ini foto profil kontak suaminya menggunakan foto bayi Kasyapi. Perasaan iri sempat hadir, karena sejak mereka pacaran sampai menikah, Ragnala tidak pernah memajang foto bersama Fayra. Tetap foto hitam-putih pemandangan. Ragnala juga bersikap lebih hangat selama Fayra hamil. Ragnala sedang fokus mendengarkan Kasyapi mencoba mengeja tulisan dibuku ceritanya. Saat berpikir, duduk bersama begitu, wajah keduanya benar-benar mirip. Mendapati pemandangan seperti ini membuat hati Fayra menghangat, ketika Kasyapi mengatakan ia senang Daddy akan di rumah seharian, itu sungguh yang diharapkan Kasyapi di tengah kesibukannya. “Habis ini boleh telepon Opayan-Oma Fay?” tanya Kasyapi dengan tatapan mendongak, penuh harap. Sejujurnya, bukan hanya Kasyapi, Fayra juga merindukan orang tua dan keluarganya terutama setelah semalam memimpikan Grandad Kai. Kakeknya yang sudah berpulang. Sebentar lagi peringatan kematiannya, dan Fayra sudah selalu absen setiap tahunnya. Ragnala tidak pernah mengizinkannya pulang ke Jakarta tanpa dirinya. Harus bersamanya. Karena itulah hubungan dengan keluarganya semakin terasa jauh. “Habis kamu tidur siang,” Kasyapi juga sangat menurut dengan ayahnya, segera memberi anggukan. Jika mintanya pada Fayra, berbeda. Harus segera, tidak bisa menunda. Kasyapi mendongak, menemukan ibunya yang hanya menatap dari kejauhan. “Mau tidur siangnya di sini, nanti Daddy pindahkan aku seperti Mommy ya?” Ragnala menoleh, menatap Fayra yang tanda harus menjelaskan, “Kasyapi suka ketiduran di sini, habis itu aku yang pindahkan.” “Kamu angkat sendiri?” tanyanya. Fayra mengangguk, Kasyapi semakin berat bertambah usia tapi bagi Fayra putranya akan selalu seperti bayinya. Dia suka memeluk dan menciumi Kasyapi terutama saat tidur, sehingga tidak dapat protes putranya. Beberapa saat kemudian, Ragnala berbaring, Kasyapi kemudian menerima bantalnya tetapi justru pindah ke atas Ragnala. Telungkup nyaman, membawa kenangan pada dulu putranya masih bayi. Tangan Ragnala mengusap pelan belakang kepalanya. “Nanti pindahnya ke kamar Mom-Dad, nanti malam juga jatahku tidur sama kalian.” Dia mengingatkan. Ragnala dan Fayra kompak memberi anggukan. “Daddy tahu temanku, yang namanya Philou?” “Daddy tidak hafal nama teman-teman sekolahmu.” “Oh iya,” gumamnya. Fayra tetap duduk sambil merapikan buku cerita milik putranya. “Kenapa temanmu? Nakal ke kamu?” “Tidak, Philou teman perempuan di kelas, dad. Miss bilang, semua temanku, jadi tidak boleh nakal. Pukul apalagi mendorong, terutama ke teman perempuan.” Ujar Kasyapi. Fayra sampai menahan napas sejenak mendengar putranya bilang begitu. “Mommy juga bilang yang sama, aku harus bersikap baik pada teman-temanku terutama teman perempuan. Anak baik, tidak boleh bersikap kasar, pukul atau dorong temannya terutama ke teman perempuan.” Fayra pilih tetap diam, tapi anaknya melibatkannya. Ragnala berdehem kecil, Kasyapi berujar polos, tapi Ragnala tentu saja seperti tertampar. “Iyakan, Mom?” “Iya,” “Tuhkan... eh aku bukan mau bilang itu!” decak Kasyapi yang ingin menyampaikan hal berbeda. “Philou mau jadi kakak, mommynya lagi hamil. Nanti perutnya besar, seperti di foto Mommy yang aku masih diperut itu.” Fayra sepertinya paham arah yang ingin putranya sampaikan. “Aku bisa jadi Kakak juga?” tanyanya polos. Baik Fayra dan Ragnala terdiam, wajah Kasyapi bersandar nyaman di dadanya, “bisa, tapi Daddy cukup dengan punya kamu saja, Kasyapi." "Kenapa? Aku kan mau punya adik, Dad." Fayra langsung bergegas berdiri, berjalan menuju kamar Kasyapi meletakkan buku ceritanya. Gerakannya tak luput dari sepasang mata Ragnala yang mengikuti punggung istrinya menjauh. Ragnala memang merasa cukup memiliki Kasyapi. *** Kasyapi bangun dan menagih janji untuk menelepon kakek-neneknya di Jakarta. Sekali lagi, Fayra duduk dengan tenang bersama Kasyapi dan bicara dengan kedua orang tuanya. Perbedaan Jakarta lebih cepat enam jam dari Amsterdam, membuat mereka harus mengatur waktu untuk bicara. “Di mana Daddy, Asya?” tanya Mama Fay. Setiap kali video call, Ragnala hanya menyapa. Jarang sekali bisa duduk berlama-lama, dan ikut mengobrol. “Ruang kerja, Daddy sengaja libur hari ini. Tadi yang antar dan jemput sekolah Daddy, Mommy biar istirahat lama-lama.” Kening omanya mengernyit, cemas berpikir arti dari kalimat sang cucu, “kamu sakit, sayang?” “Aku sehat, baik-baik saja. Hanya suamiku yang lagi mau antar Asya. Sudah lama tidak melakukannya.” Ketika mengatakannya, Fayra tahu kembali berbohong pada orang tuanya. Menutupi keadaan yang sebenarnya terjadi. "Oh, tapi mukamu agak pucat begitu." Mama Fay memerhatikan. Konsisten, Fayra tetap menutupi seolah tidak ada hal berat yang ia hadapi seperti selama tujuh tahun yang orang tuanya tahu. Mereka terus bicara, Mama-Papa pun tidak lupa menyampaikan harapannya jika tahun ini Fayra, Ragnala dan Kasyapi bisa pulang untuk memperingatkan hari Grandad Kai yang dibarengi oleh Grandmom Anna. Kakek-neneknya sudah tiada, Grandmom Anna menyusul tepat Fayra sedang hamil. Kondisinya yang lemah, membuatnya tidak bisa pulang ke Jakarta. Hati Fayra saat itu benar-benar hancur berkeping-keping, sampai dilarikan ke rumah sakit. Fayra tidak bisa berjanji, tapi tahun ini ingin sekali pulang ke Jakarta. Hanya saja bagaimana ia bisa dapat izin suaminya? “Mommy kenapa?” tanya Kasyapi dapati ibunya mendekapnya erat. Fayra menenggelamkan hidungnya antara rambut Kasyapi, menghirup aromanya untuk menenangkan diri agar tidak sampai menangis sekarang karena merindukan keluarganya. “Tidak apa-apa, lagi ingin peluk Kasyapinya Mommy yang ganteng ini.” Jawab Fayra, putranya sangat peka terhadap kesedihannya. Fayra tak mau memperlihatkan sedihnya. “Gantengnya mirip Daddy ya?” tanyanya. Fayra tersenyum, “kamu sayang Mommy?” Kepalanya mengangguk, “sayang Mommy dan Daddy!” “Terima kasih,” bisiknya. Kasyapi langsung bangun, berpindah untuk lanjut main. Sedangkan Fayra mencari keberadaan suaminya, bila bisa segera membicarakan keinginannya. Membuka ruang kerjanya, Ragnala sedang fokus di meja kerjanya. “Sudah selesai?” “Sudah, Papa-Mama titip salam buat kamu.” “Aku akan telepon Papa nanti,” ucapnya. Ragnala tetap berkomunikasi dengan ayah mertuanya, walau tidak dengan ipar-iparnya. Hanya menyapa saat bertemu secara langsung saja. “Kasyapi mana?” Fayra mendekat, hingga berdiri di samping kursi yang ditempati Ragnala. “Aku memeriksa fail yang Eros kirimkan, nanti aku menyusul—“ kalimatnya terhenti saat Fayra mendekat dan memutar kursi Ragnala hingga mau menghadap dan menatapnya. “Kenapa? Kamu tahu aku tidak suka diganggu saat kerja?” Fayra tahu ia seharusnya memberi jarak, masih marah dengan perbuatan Ragnala semalam. Namun, demi bisa bertemu keluarganya ia melakukan ini. Dia mengambil tempat di atas pangkuan Ragnala, kemudian menempatkan kedua tangannya di leher Ragnala. “Sepertinya aku tahu apa yang ingin kamu bicarakan,” ujar Ragnala dan kedua tangannya yang ada di pinggang Fayra siap memintanya untuk bangun dari posisinya. “Aku merindukan keluargaku—“ “Keluargamu juga ada di sini, aku dan Kasyapi.” “Maksudku orang tuaku, keluargaku di Jakarta.” “Aku tidak bisa, bulan itu sedang padat sekali pekerjaanku. Aku juga—“ “Kamu bisa tetap kerja, biarkan aku ke Jakarta sama Kasyapi.” Ragnala langsung menatap dingin pada istrinya. “Kali ini saja, walau hanya satu minggu, aku sudah sangat senang. Kami akan segera pulang lagi ke sini.” Jemari Fayra menyentuh wajah Ragnala, jemarinya mengusap pipi Ragnala. Tatapan mereka beradu, Fayra berdebar sekali melakukan ini. Kembali mencoba, walau biasanya berakhir tetap dapat penolakan. “Tidak. Kamu dan Kasyapi tidak akan ke Jakarta, tanpa diriku.” Tangan Fayra langsung turun, menatap dengan berkaca-kaca. Kemudian langsung berdiri, Ragnala begitu saja membenarkan kembali posisinya dan fokus pada layar laptop. Seolah tidak peduli padahal tahu sekali penolakannya menyakiti hati Fayra. Fayra mengepalkan tangannya, menatap suaminya, tak ada yang ia tunggu. Kemudian segera berbalik, meninggalkannya karena sekali Ragnala bilang tidak maka selamanya tetap tidak, meski ia memohon. "Kalau kamu terus memaksa, baiklah. Kamu bisa ke Jakarta tanpa Kasyapi!" ucap Ragnala tepat Fayra berdiri depan pintu. Ragnala menyeringai, tahu kalau Fayra tak akan memilih tanpa Kasyapi. Dia tidak pernah bisa jauh dari putra mereka. "Aku akan meminta Eros untuk siapkan tiketmu." "Aku tidak bisa pergi tanpa Asya." Jawabnya. Sekilas mereka berpandangan lagi, Fayra tahu Ragnala memberi pilihan yang tak mungkin ia ambil. Tanpa sadar, situasi Fayra hanya sedang menumpuk setiap perbuatan Ragnala. Mungkin sampai segalanya tak tertahankan lagi, dan menghancurkan pertahanan Fayra akan setiap penerimaannya. Ragnala baru mendongak saat Fayra berbalik, pergi. Ia bersandar sambil berdecak, kemudian menutup laptopnya. Sial! Dia sungguh terganggu dengan tatapan terluka Fayra lagi kali ini. Ragnala sampai tak jadi melanjutkan pekerjaannya, kemudian keluar mencari Fayra, sudah kembali menemani putranya. Ragnala berharap Fayra menuruti dirinya seperti biasa, tidak terus memaksa untuk kembali ke Jakarta berdua dengan Kasyapi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN