Luka yang tersimpan

1662 Kata
Ragnala menatap lapangan hijau di depannya, anggota kelas sepak bola sekolahnya sedang berlatih. Ia datang untuk meeting dengan pengurusnya, kemudian menyempatkan untuk menyapa dan memerhatikan dari tribun sehingga bisa melihat seluruhnya. Lalu matanya fokus pada satu titik, putranya antara anak-anak lain, sangat semangat. “Fayra tidak ikut?” tanya Eros yang baru menemui Ragnala, ia pikir temannya bersama sang istri. “Tidak, dia di rumah.” Eros mengambil tempat disisi Ragnala, “sebelum kamu melewatinya seperti tahun lalu, aku mau mengingatkan kalau—“ “Dua hari lagi ulang tahunnya.” Angguk Ragnala kecil. Eros sampai mematung kemudian mengerjap, hampir tujuh tahun Ragnala harus ia ingatkan. Terparahnya tahun lalu, Ragnala ganti ponsel sehingga penanda tanggal penting dikalender ponselnya hilang, dia melupakan hari penting istrinya. Eros bahkan jauh lebih ingat dibanding Ragnala sendiri. Kini, Ragnala mengingatnya dengan baik selain hanya tanggal kelahiran Kasyapi. “Jangan menatapku seperti itu, seolah ingatanku keajaiban dunia.” Eros terkekeh, “karena memang ajaib saat kamu bisa mengingatnya.” “Kenapa bagi perempuan tanggal-tanggal seperti ini penting dirayakan?” “Bukan tentang dirayakannya, tapi diingat. Cukup kamu mengucapkan tepat waktu, aku yakin Fayra sudah sangat merasa penting dalam hidupmu.” Ragnala terdiam, kemudian menghela napas dalam-dalam, teringat belakangan Fayra berbeda, Fayra jadi lebih menunjukkan sisi emosi. Bahkan karena Ragnala tidak mengizinkannya ke Jakarta berdua saja dengan Kasyapi, sudah sepekan, istrinya murung dan bicara secukupnya walau tetap melayaninya. “Dia ingin pulang ke Jakarta, tepat peringatan kematian Grandad. Aku tidak bisa, bertepatan dengan banyak pekerjaan.” Eros tentu tahu agenda mereka ke depan, dan menyambung yang Ragnala maksud. Memang padat sekali, kehadiran Ragnala juga dibutuhkan. Dia tidak berbohong mengatakan alasannya lagi-lagi tidak bisa ke Jakarta. Setelah sempat ada wabah penyakit besar, lalu lock down berbagai negar dan pembatasan dilakukan, baru tahun ini mereka bisa benar-benar bangkit. Bahkan harus bersiap menghadapi ancaman resesi juga. "Fayra berpikir aku selalu menghindar. Tahun lalu izin keluar negeri masih sulit, aku juga tidak ingin ambil risiko membahayakan kesehatan kami. Masih bagus perusahaan bisa terselamatkan." Banyak sekali perusahaan yang terkena dampaknya. Eros tahu betapa Ragnala mati-matian mempertahankan perusahaan mereka tetap berjalan, bahkan tidak melakukan pemberhentian karyawan besar-besaran seperti banyak yang terjadi. Ragnala mungkin terlihat dingin, tidak berprasaan tetapi untuk karyawannya, dia seorang pemimpin yang sangat bertanggung jawab. “Kalau begitu, kamu tetap bisa bekerja dan biarkan Fayra pergi dengan Asya ke Jakarta." "Aku tidak yakin dengan pilihan itu." "Kenapa kamu tidak pernah mengizinkan Fayra hanya berdua pulang dengan Asya?” Ragnala terdiam. “Apa sebenarnya kamu takut, dia tidak kembali lagi padamu?” Eros menanyakannya dengan hati-hati, Ragnala menoleh dan beradu tatap dengannya. “Dia bisa memilih pergi dari lama, tapi tanpa Asya. Putraku.” Setelah mengatakannya, dia berbalik lalu menuju pintu lain dan turun menuju putranya berada. Ragnala selalu tahu kelemahan Fayra ada pada cinta dan Asya, tapi ia tidak pernah bisa mengenali kelemahannya sendiri. Pikir Eros, cukup sampai di sana dan tidak pernah melewati batas privasi kehidupan bos sekaligus temannya. *** Belakangan Ragnala sedang senang menemani Kasyapi, seperti hari ini lagi-lagi Fayra tetap di rumah sementara Kasyapi masuk kelas sepak bolanya diantar Ragnala. Fayra bosan, hanya menatap keluar jendela, menunggu putranya pulang. Setelah mencoba dapat persetujuan dari Ragnala, yang berakhir kecewa, Fayra bersikap lebih banyak diam. Bicara secukupnya, dan tidak memancing kemarahan Ragnala atau ia akan kembali mendapatkan perlakuan seperti malam itu. Fayra bisa tetap pergi ke Jakarta, nekat, tetapi semua surat-surat yang ia butuh kan termasuk milik Kasyapi ada pada Ragnala, ada satu brankas penting di ruang kerja Ragnala, yang Fayra sendiri tidak tahu kodenya. Ia yakin berkas milik mereka ada di sana. Ragnala tidak pernah memberitahunya, seolah ada rahasia yang tersimpan dan tak ingin Fayra ketahui. Fayra menatap sekitar, memerhatikan dan menemukan di ruangannya sedang berada ada CCTV yang bisa ia dan Ragnala akses. Kalau pun ia pergi keluar, ia harus bilang dulu pada Ragnala dan tentu saja tidak pernah dibiarkan sendiri. Akan diantar dan dikawal, seketat saat Grandad Kai menjaganya. Suasana hening serta dingin begitu menusuk hatinya, Fayra memeluk dirinya sendiri kemudian bersandar sambil kembali menunggu. Menatap ujung jemari yang tercat cantik. Menunggu sampai akhirnya sore tiba, ia mulai mengatur untuk makan malam. Selera makan Ragnala dan Kasyapi sangat sama, beruntungnya tidak pilih-pilih termasuk mau makan sayuran. “Mommy!” Seruan Kasyapi membuat Fayra meletakkan pisaunya, kemudian melepas apron masaknya. Kasyapi masih seperti balita sekali jika ada dalam gendongan ayahnya seperti sekarang, memakai topi yang sama dengan Ragnala, posisi topi di balik. Untuk kebutuhan termasuk pakaian Kasyapi dan Ragnala, semua Fayra yang pilihkan. Satu yang membuat Fayra bisa merasa dihargai, bahkan selama tujuh tahun ini, Ragnala tidak pernah melepas cincin pernikahan apalagi sampai hilang. Rasa kesepian tadi seketika lenyap mendapati keceriaan putranya. Tertawa saat tangan ayahnya mengayun, dia berpegangan, "lagi! Lagi Dad! Lebih tinggi!" "Sudah sampai, Mom pasti merindukanmu. Berikan pelukan." Pinta Ragnala mendekat, tetap memegangi saat Kasyapi memeluk dan mencium pipi ibunya hingga terdengar suara. "Muachhh! Muachhh!" "Terima kasih kiss manisnya!" Kasyapi kembali memeluk ayahnya dan berkata, "Mommy sih tidak ikut, seru tahu! Daddy ikut turun kelapangan!" ceritanya. Fayra tersenyum, Ragnala memberi kode lirikan pada putranya seolah disiapkan untuk beritahu sesuatu. “Oh iya, hampir lupa aku! Kita bersiap untuk dinner yuk, Mom!” Beritahunya dengan semangat. Dia selalu senang sekali setiap Ragnala yang temani aktivitasnya seharian. Fayra tahu, bahwa bukan hanya ia yang tak bisa jauh dari Kasyapi, bahkan Kasyapi pun tidak bisa jauh dari mereka, atau Ragnala tak mungkin berpisah lama dari putranya. Ragnala sungguh menyayangi Kasyapi. Kedekatan Ragnala bahkan tak pernah Fayra bisa duga, ia pikir Ragnala akan jadi Ayah yang hanya memiliki status tanpa peran yang diusahakan. Fayra melirik suaminya, “mom belum selesai masak—“ “Kita dinner di luar,” ucap Ragnala. “Oh, kamu sudah minta Eros reservasi?” Jika bukan Fayra yang dimintai mengatur, Ragnala akan mengandalkan Eros. “Sudah, aku akan mandi dan bersiap. Kamu juga.” “Mom lebih lama bersiapnya!” Protes Kasyapi dengan cemberut. Fayra tersenyum, mengusap pipi putranya, “sudah pintar protes ya!” Tangannya kemudian turun, menggelitik perutnya yang membuat Kasyapi tertawa dan coba menghindarinya. “Bagaimana latihan bolanya?” “Kan tadi aku bilang, seru sekali. Nanti pas Daddy libur, temani lagi ya?!" "Wah sepertinya Asya lebih suka ditemani Daddy dari Mom, ya?" "Aku suka keduanya, nanti Mom juga harus ikut!" Katanya kemudian kian mengeratkan pelukan di leher Ragnala. Kasyapi semakin berat, jika Fayra tidak bisa berlama-lama mengendongnya, maka Ragnala tampak biasa dan bisa mengatasinya. Setelah Ragnala memandikan Kasyapi, Fayra bersiap sambil mendengar gelak tawa dan ocehan Kasyapi. Beberapa saat keluar, Kasyapi dengan handuk melilit tubuhnya diikuti Ragnala. Dia duduk di sofa, memainkan mobil-mobilannya sambil Fayra memakaikan bajunya. Fayra menyisir rambut Kasyapi yang tidak sehitam rambutnya maupun Ragnala. “Ngeeeengg! Bummmm!” Dia menirukan suara mobil, menjalankan mobilnya. Fayra memakaikan minyak wangi, kemudian menciumi puncak kepala putranya sampai Kasyapi mendongak dan menatap Fayra. "Sudah siap anak gantengnya Mommy!" Fayra memberi pujian sambil mengusap pipinya, penuh sayang. Ragnala sudah berpakaian juga. Kemudian memeriksa ponsel, Asya gantian duduk bersama ayahnya. Bersandar nyaman. Fayra menyelesaikan make up, jika saat di rumah, Ragnala sangat menginginkan dirinya rapi dan cantik, apalagi saat tampil keluar mendampinginya. Mereka pergi ke resto yang sudah Ragnala pilih, makan dengan tenang. Kasyapi duduk bersama Fayra yang sesekali memastikan anaknya makan dengan rapi, tenang dan mengisi mulutnya lagi saat sudah kosong. “Mau pip, Mom.” Beritahunya saat mereka menunggu dessert. Ragnala meletakkan gelasnya, kemudian berdiri. Tanpa diminta, jika sedang di luar memang Ragnala yang akan mengantar putra mereka ke kamar mandi. Fayra menoleh, “sama Dad ya.” Kasyapi diturunkan, kemudian berlari kecil dan memberikan tangannya digandeng sang ayah. Fayra menghela napas dalam-dalam, matanya terus mengikuti pemandangan suami dan putranya. Duduk menunggu, menikmati malam Amsterdam dari ketinggian, hingga mereka kembali. Menikmati dessert. Hingga Ragnala menatap Fayra lekat, memerhatikannya yang mengelap mulut kecil Kasyapi, lalu bantu ia minum air putih yang banyak. “Aku lusa pergi,” beritahunya. Fayra menoleh, menatapnya lekat. “Akan lima hari di UK. Dinner di hari ulang tahunmu, kita ganti malam ini.” Akhirnya Fayra tahu mengapa Ragnala tiba-tiba mengajak mereka dinner di tempat ini, untuk makan malam ulang tahunnya lebih cepat. Fayra memberi anggukan, sempat terkejut dapati Ragnala tahun ini lebih bisa mengingat dibanding tahun-tahun sebelumnya, bahkan tahun lalu setelah beberapa hari baru memberikannya hadiah, pun Fayra tahu Eros pasti mengingatkannya walau terlambat. Satu-satunya yang selalu membuat Ragnala bisa tepat mengingat ialah tanggal kelahiran Kasyapi. “Kamu mau hadiah apa? Pilih sendiri, atau bisa beritahu padaku. Akan kubelikan, sekalian nanti aku cari di UK, bila tidak ada di sini." Kasyapi anteng menikmati dessert manisnya, dia suka makanan manis. “Fayra—“ “Aku bisa minta apa pun?” Ragnala tidak langsung mengiyakan, hanya menatap istrinya sambil tahu apa yang akan istrinya minta, “tidak yang satu itu!” tegasnya. “Kalau begitu, aku tidak ingin apa pun.” Ucapnya dan berpaling, menghindari tatapan Ragnala. “Kali ini aku sudah bertanya padamu mengenai hadiah ulang tahunmu, kamu yang bilang tak menginginkan apa pun.” Katanya mengedikkan bahu sambil mengambil gelas, menikmati minumnya sambil menatap sang istri. Sementara Fayra tidak mau bicara apa pun lagi, sampai akhirnya mereka pulang. Dia merasa lega saat Kasyapi meminta tidur bersamanya dan Ragnala. Posisi tengah-tengah, Fayra memeluknya. Cukup membuatnya merasa nyaman, melupakan sejenak rasa kesalnya dan terlelap. Sedangkan Ragnala terjaga, memandangi Fayra dan putra mereka yang sudah tidur dari tak lama mereka tiba di rumah. Dia masih belum ingin tidur, pergi ke ruang kerja dan membuka brangkasnya, memeriksa dokumen-dokumen penting milik istri dan putranya. Ketika ia menarik itu, sesuatu buku terjatuh tepat dekat kakinya. Ragnala menunduk, meraihnya kemudian terdiam kaku menemukan buku khusus yang menyimpan hasil pemeriksaan. Ada foto USG, matanya terpaku pada dua embrio dalam kantung berbeda di sana. Sebelum ia menarik napas dalam-dalam, mengeratkan pegangannya. Ia berjalan hingga sampai di kursi, mendudukkan diri dan meletakkan semua itu di meja. Bersandar, memandangi dengan perasaan yang begitu sesak. Bahkan saat ia memejamkan mata, ia terbayang wajah bayi itu yang sangat cantik, namun pucat. Lebih lagi menyiksa, saat harus mengingat waktu yang dihadapi setelahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN