Kalimat Paling Mahal

1719 Kata
“Aunty dokter, aku sudah berani lho periksa gigiku! Biar monster-monster giginya kabur, iya kan Mommy!" ujarnya dengan lantang. Fayra duduk memangku Kasyapi, tengah tersambung dengan panggilan video bersama ipar sekaligus sepupu paling dekat dengannya karena mereka seumuran. “Benaran?" "Iya dong! Ka Valora, Aa Rigel, Aa Kai dan Kane aja berani. Masa aku tidak?!" Felora tersenyum semakin lebar, "coba unjuk giginya?!” Kasyapi menyengir, menunjukkan giginya yang rapi, putih dan bersih. “Rapi banget, uhm, kok Nty tidak lihat ada jejak cokelat ya?” Kepala Kasyapi menggeleng, “bukan jadwalku makan cokelat, Nty Felo. Tidak boleh banyak-banyak, dan kalau habis makan atau minum manis, harus sikat gigi biar tidak jadi kerang gigi. Apalagi kalau malam-malam makannya.” “Oh, kalau begitu Ka Valora bisa simpan stok cookies cokelatnya nanti. Jatah kamu kalau pas di Jakarta biar buat Ka Valora, oh atau Aa Rigel, Aa Kai dan Kane. Oke, deal?” Kasyapi cemberut, tangannya bersedekap, “kalau itu beda lagi nanti! Aku jarang ke Jakarta, jadi jatah cookies cokelat buatan Nty Felo harus yang paling besar dan penuh!" Sontak Fayra dan Felora tertawa, "Kasyapi ini wajah Daddy, tapi sikap Mommy ya! Mana mau rugi, duh pintarnya. Mengingatkan aku ke Rigel juga pas seusianya ya, Fayra!" Fayra mengiyakan, sikap sang putra memang mirip dirinya. Tapi, itu dulu. Bukan Fayra yang ada sekarang. “Anak-anak sulit menolak dua hal, Felo.” “Yaps, es krim dan apa pun yang ada cokelatnya.” “Monster Cokelat kita sekarang sudah diambil alih sama anak-anak kita.” “Yaps, bukan lagi si K-duo H si Ayah!” Yang dia maksud adiknya, yang tak lain sepupu Fayra, dari Kenan, Hikami dan Harsa. Mereka sudah tumbuh jadi pria dewasa yang sangat menawan dan hebat. Dari keluarga sang ibu, ia mendapat banyak saudara. Berbeda dari keluarga Papa Alyan, ia mengenal sedikit saudara Papa Alyan, dan itu pun bukan kandung. Sekarang, seperti Kasyapi juga, dari keluarga Lais memiliki banyak sepupu, sedangkan dari ayahnya, ada tetapi hanya beberapa yang dekat. Kasyapi menguap kecil, Fayra membiarkannya bersandar dan memeluknya. Dagu Fayra bersandar dipuncak kepala sang putra, “Ragnala belum pulang?” tanya Felora setelah mereka sejak tadi bicara, cukup lama tidak ada Ragnala. Sementara tadi Fayra sempat menyapa Valora dan Sagara, pun orang tua Fayra. Fayra menggeleng pelan, Ragnala tidak di rumah, “pagi tadi dia berangkat ke UK. Ada urusan bisnisnya.” “Andai aku masih di sana, kamu dan Asya harus ikut. Kita bertemu.” Felora dan Sagara sudah kembali ke Jakarta, sedari lama setelah sempat tinggal di London. Mereka kembali ke Jakarta tepat setahun Fayra dan Ragnala pindah ke Amsterdam. Kini Valora, anak mereka semata wayang pun sudah besar, jarak dengan Kasyapi cukup jauh sekitar tiga tahun. Di antara anaknya dengan anak-anak sang kakak, baik Sky maupun dari Sagara, yang paling besar Rigel sudah memasuki masa remaja awal, Kai, lalu Kane yang berbeda setahun dari Kasyapi. Terbayang saat semua berkumpul, pasti akan sangat ramai. Sayangnya, itu jarang terjadi. Selama tujuh tahun, belum tentu setahun sekali mereka ke Jakarta. Bahkan sudah dua tahun lebih, terbilang lebih sering keluarga datang mengunjungi mereka. Tatapan murung Fayra yang sekilas, tertangkap oleh Felora, “Fay, besok harimu, terus suamimu tidak bersamamu?” “Ragnala sibuk, Felo. Bukan sengaja tidak bersamaku.” “Uhm, aku tidak menuduh dia sengaja.” Felora langsung membela diri, bukan tidak merasa, ia sangat melihat perubahan Fayra setelah menikah. “Terkadang aku merindukan masa-masa kita dulu, Fayra. Sebelum aku menikah dengan kakakmu, kita berdua dulu sangat bisa terbuka satu sama lain. Kamu juga seperti seseorang yang berbeda.” “Kita berdua sudah menikah, lalu punya anak. Jelas berbeda, waktu berjalan dan perubahan sudah pasti terjadi pada manusia.” Fayra tersenyum, menenangkan Felora agar tidak berpikir macam-macam. Felora menghela napas dalam-dalam, sepertinya maksudnya tidak tertangkap baik oleh Fayra. Mereka lanjut mengobrol sampai Felora mengucapkan doa-doa baik lebih dulu walau ulang tahun Fayra masih esoknya. Fayra tidak langsung tidur malam itu, berbaring bersama putranya yang justru sudah pulas. Hingga menunggu tepat jam dua belas malam waktu setempat, walau sudah pergi Dinner sebelumnya, ia berharap Ragnala menelepon atau mengirim pesan, kembali mengucapkan. Namun, notifikasi beruntun yang masuk semua dari keluarganya. Ia masih menunggu, tapi Ragnala terakhir mengirim pesan mengabari jika sudah sampai UK siang tadi. Dia menyimpan ponsel, kembali memeluk putranya dan memejamkan mata. Namun, saat hening semakin terasa menyelimuti, ia menangis tanpa rintihan, tanpa suara agar tidak mengusik putranya. Beberapa saat, masih dengan air mata yang jatuh, “Mommy janji akan tetap kuat, buat kamu... Mom tidak bisa jauh dari kamu. Please tetap sama Mommy ya, kamu hadiah terbaik dalam hidup Mommy. Terima kasih sudah hadir dalam hidup ini, Kasyapi Raynar Mirza-nya Mommy. I Love you...” *** “Selamat ulang tahun, Mommy kesayangan Asya yang paling cantik, tidak ada dua!” Kesedihannya semalam hilang saat mendengar ucapan ulang tahun dari mulut kecil putra kesayangannya. Ditambah kedua tangan kecilnya bersusah payah membawa buket bunga yang cantik. “Bunga dari mana?” “Kemarin sebelum Daddy pergi, aku minta Uncle Eros pesankan. Sama prepare breakfast masakan Indonesia, kesukaan Mommy!” Ucapnya dengan manis. “Kamu yang minta?” Dia mengangguk, lihatlah betapa Tuhan Maha Baik. Walau memberi suami yang sikapnya sering menguji hatinya, dingin dan dominan, Kasyapi—putranya adalah anak yang sangat manis dan pintar. Dia tahu cara menyenangkan hati Fayra, membuatnya begitu bersyukur memilikinya. “I Love you, Mom!” “Love you more, my baby boy!” “Aku bukan lagi Baby boy, Mom! Aku sudah lebih besar dari Baby!” protesnya yang membuat Fayra terkekeh dan mengecup keningnya. “Ah, Mommy sedih deh kalau diingatkan Asya bukan baby boy Mom lagi.” Kasyapi menatap lekat dengan warna netra serupa milik ayahnya, hazel. “Mommy sedih? Mommy tidak boleh sedih! Kalau begitu, aku baby boy Mommy selamanya!” Ia mendekat, memeluk Fayra. Pelukan yang ia butuhkan dari apa pun seolah cukup membuat ia mencharger energi positif, masih ada keyakinan jika segalanya akan baik-baik saja seperti tujuh tahun ia bertahan untuk sang putra. Setelah sarapan dengan menu Indonesia, seperti yang Kasyapi bilang, ada nasi goreng dan bakwan jagung serta perkedel-kornet, Kasyapi pergi ke sekolah seperti biasa. Selang dua jam dari Kasyapi tidak di rumah, seseorang mengantarkan beberapa hadiah dan buket bunga. Seketika atas meja ruang keluarga dipenuhi bunga-bunga segar, Fayra tersenyum saat ada mawar putih berpadu dengan lili putih—kiriman Papa dan Mama. Meski jauh, setiap tahun, ia dapatkan hadiahnya. Ada beberapa kue tart cantik juga. Dia membagikannya, menyisakan satu yang akan dia makan bersama Kasyapi setelah kembali. Makan berdua, sambil tertawa lepas terutama saat sisa krim tertinggal di atas bibir putranya. Fayra juga mengambil foto berdua. Di tempat lain, Ragnala menatap semua itu dari layar ponselnya. Pemantau langsung yang ia tempatkan, selain keadaan yang terlihat jelas, suara tawa Fayra dan Kasyapi cukup jelas terdengar. Tidak lama voice note masuk dari nomor Fayra. “Daddy, Mom sangat senang sama bunga dan spesial Breakfast berdua denganku. Terima kasih sudah membantuku. Love you, Daddy!” Tidak lama pesan dari Fayra yang masuk, [terima kasih sayang, sudah menuruti permintaan Kasyapi kita untuk memberiku kejutan pagi ini. Aku berharap tahun berikutnya, kamu di rumah bersama kami] Ragnala meletakkan ponselnya, menghela napas dalam-dalam. Tidak membalas pesan istrinya. Dia pun terkejut putranya meminta sesuatu untuk pertama kali, dari inisiatif sendiri karena Fayra berulang tahun. Kasyapi semakin besar. Ia berakhir hanya menghela napas panjang, membaca berulang pesannya sambil mempertimbangkan, balasan apa yang akan ia berikan pada pesan dari sang istri? Eros juga tahu alasan Ragnala sesekali mengecek ponselnya, “Kasyapi memang mirip dirimu, gennya kuat. Tapi, sikapnya jelas berbeda. Dia lebih bisa mengungkapkan kasih sayang untuk orang terdekatnya.” Ragnala mendongak, “aku sudah mengajaknya dinner.” “Hanya itu?” “Dia meminta sesuatu, aku tidak bisa memberinya.” Eros menatap temannya, “selama ini kalian bersama, meski Fayra yang berusaha untuk bertahan, dampaknya paling besar sebenarnya jatuh padamu juga. Kamu hanya tidak menganggap penting.” “Apa maksudmu?” Ragnala melempar tatapan tidak senang. Eros mengedikkan bahunya, kemudian berbalik pergi. Ragnala terdiam, sebenarnya yang Eros maksud menyasar pada ‘terbiasa’ untuk Ragnala. Sesuatu yang akan sulit ia hadapi, bila ia kehilangan ‘terbiasa’ tersebut yang sudah sangat nyaman. Eros mengenal Ragnala, apa memang hanya karena Fayra yang bertahan, atau Ragnala yang terlalu menikmati kehidupan pernikahannya melebihi yang ia sadari? Ragnala meraih ponselnya, kemudian meski masih ada perasaan menganggap tidak penting, ia menelepon Fayra. Sebentar, sebelum diangkat tiba-tiba dia membatalkan dan bergumam, “dinner malam itu sudah cukup.” Drrttth! Drrttth! Ponselnya bergetar, Fayra menelepon balik. Ragnala menatapinya sampai segera menjawab. “Hm,” “Kamu barusan telepon?” tanya Fayra. Ragnala menggaruk lehernya sendiri, dan menjawab, “tidak, maksudku salah tekan saja.” “Oh, ya sudah... kupikir kamu mau bicara dengan Asya—“ “Selamat ulang tahun, Fayra.” Meski kaku dengan suara datar, pelan akhirnya Ragnala menyampaikannya. Fayra terdiam, sampai sempat menjauhkan ponselnya dan menatap nama kontaknya sudah benar milik suaminya. Tapi, apa dia tidak salah dengar? Ragnala baru saja mengucapkannya? “Fayra.. Haloo... Kamu masih di sana?” Panggil Ragnala dapati istrinya hanya terdiam. “Ya, aku dengar. Terima kasih, Daddy Asya.” Balasnya. “Sudah, aku harus meeting lagi. Eros sudah menunggu,” Ragnala langsung mencari alasan cepat. "Kalau sudah selesai, telepon ya... Asya menunggumu." "Hanya Asya?" tanyanya. "Maksudmu--" "Lupakan, nanti aku telepon setelah kembali ke hotel." Ia yakin ada perasaan aneh karena tidak biasa melakukannya. Baginya, cukup membiarkan Fayra memilih hadiah atau dinner sudah cukup merayakan untuk istrinya. Sementara ucapannya yang baru saja, terasa lebih mahal dari apa pun untuk Fayra. Ternyata justru, ucapan sederhana begitu sangat Fayra harapkan melebihi apa pun, apalagi bila Ragnala bisa menyediakan waktu tepat dihari ini, Fayra akan merasa penting baginya. Setelah telepon berakhir, Ragnala menatap layar ponselnya. Fayra mengirimkan foto berdua dengan Kasyapi yang bibirnya penuh krim. Sudut bibir Ragnala tertarik, membentuk senyum. Senyum yang mungkin tak lagi ada bila ia dan Fayra tidak tetap bersama selama tujuh tahun ini. "Ya Tuhan, kamu masih di sini?! Kita sudah ditunggu, Ragnala!" Tegur Eros yang terpaksa kembali. Lalu mematung melihat ekspresi Ragnala, dia yakin melihat Ragnala tersenyum barusan. "Kurasa, kamu harus periksa dirimu." Kening Ragnala mengeryit, "aku sehat, tidak sakit!" "Belakangan kamu mudah sekali berubah, sebentar seperti kesal, lalu senyum-senyum sendiri." "Aku tersenyum melihat foto putraku yang Fayra kirimkan." Eros merangkul Ragnala, kemudian berbisik, "Asya foto sendiri?" "Sama Fayra." "Cukup jelas!" Angguk Eros.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN