Susun Rencana

2220 Kata
Ragnala ingat pertama kali berkenalan dengan Fayra, pun bertemu lagi setelah dapat kabar jika Kaivan Lais, Kakek dari Fayra meninggal dunia. Saat itu, waktu begitu tepat untuknya yang baru saja tiba di Jakarta. Hampir seluruh media berita beberapa hari itu meliput kabar kematian Kaivan Lais. Selama hidupnya, Kaivan memang terkenal sebagai salah satu pengusaha sukses, masuk sepuluh teratas keluarga kaya di Asia juga, jadi wajar jika beritanya ada di mana-mana. Hari itu, Ruby, mamanya menelepon langsung dan memintanya datang. “Pergilah ke rumah keluarga Lais, sampaikan duka mendalam untuk Grandmom Anna. Kamu harus mewakili kami!” Suara Mama Ruby begitu sedih. Mereka memang mengenal baik terkhusus Kaivan Lais dan Anna. Sudah seperti orang tua sendiri bagi papanya. Ia membatalkan segala acara siang itu, menuju rumah keluarga Lais. Kabarnya pemakaman sudah dilakukan. Sesampainya di sana, suasana duka masih begitu pekat. Bahkan para pekerja, memberi senyum tipis. Diantar hingga memasuki rumah, keluarga mereka sedang berkumpul. Aric—salah satu anak dari Kaivan yang menyambut, kemudian kedua orang tua Fayra juga. Ragnala bertemu tatap dengan Fayra setelah sekian lama, gadis yang pertama kali ditemuinya waktu itu begitu anggun, cantik dengan pakaian dress desainer ternama namun sopan. Bergelayut manja pada lengan Grandad Kaivan, selalu di sampingnya, hari itu Fayra begitu pucat tanpa make up. Matanya sangat sembab kehilangan cahayanya. Selama Ragnala bersama Anna, Fayra juga ada di sana. “Terima kasih sudah datang, Ragnala...” “Mama tidak bisa datang, tetapi doanya selalu untuk Grandad setelah mendengar kabar duka ini. Semoga Grandad damai disisi Sang Pencipta. Keluarga kalian juga tabah, sabar menerima keadaan ini" ucap turut berdukanya. Sentuhan lembut ditangannya terasa, Anna yang begitu rapuh, terlihat hidup padahal setengah nyawanya pun ikut pergi bersama kematian suami tercintanya. Ragnala diminta tetap menunggu hingga menemani Anna tidur, mata Ragnala menoleh pada Fayra. Sama-sama berdiri, kemudian meninggalkan kamar tersebut, namun saat pintu ditutup, Fayra baru melangkah, kakinya lemas dan kepalanya terasa berputar. Ragnala sigap meraih tubuhnya, Fayra memegang bahu Ragnala sambil menunduk. “Aku akan panggil keluargamu...” Fayra menahan lengannya, “aku ingin duduk di sana dulu, kakiku lemas sekali. Aku butuh bantuan, berpegangan—“ Ragnala langsung mengangkat tubuhnya, mengendong ala bridal. Fayra mendongak, menatap wajahnya yang beraura dingin. Ragnala menatap depan, tidak membalas tatapannya. Terus berjalan membawa Fayra yang memeluk lehernya, dan baru diturunkan di sofa yang ia maksud. “Terima kasih, Ragnala...” ucapnya dengan senyum tipis. Ragnala mengangguk, "ya." "Sudah lama dari terakhir kita bertemu, Grandad yang perkenalkan kita berdua. Kamu masih ingat?" "Aku ingat, tunggu di sini!" kemudian pergi untuk memanggil orang tua Fayra. Selanjutnya, kala itu Ragnala yang memang cukup lama berada di Jakarta, mendapat undangan makan malam dari Anna melalui Fayra sendiri yang menghubunginya. Seiring waktu komunikasi mereka berjalan, Ragnala tidak berpikir untuk tertarik bahkan menikahi Fayra. Gadis manja sepertinya, bukan yang Ragnala sukai meski wajah Fayra sangat cantik dan menarik. Dari sisi lain, ia tahu akan ada keuntungan untuk bisnis-bisnisnya bila kedekatannya dengan Fayra berjalan. Ragnala cukup bisa membaca bila tak butuh waktu lama untuk membuat seorang Fayra jatuh cinta padanya. Ketika mereka dekat, Fayra sering lebih dulu mendatanginya dan mengajak bergabung dengan beberapa acara keluarga. Kebetulan Ragnala juga sedang kosong, dan bosan dengan ritme hidupnya. Dia hanya coba menjalani dengan gadis itu, ditambah tidak semua langsung menyambut hubungan mereka dulu, kecuali Grandmom Anna yang mendukung mereka. Hubungan yang ia jalani dengan tidak terlalu berminat, justru bertahan hingga sejauh ini. Ragnala mengjela napas dalam, setelah lima hari dengan urusannya di UK, Ragnala sudah kembali ke Amsterdam. "Aku ada urusan lain, kamu pulang dengan taksi saja." Pintanya pada Eros. Bukannya pulang ke rumah. Ia hanya meminta Eros pulang dengan taksi, sementara ia dengan mobilnya pergi ke tempat lain. Dalam satu ruangan, seorang perempuan sudah menunggunya. Melempar senyum senang akan kedatangannya, "kamu sungguh datang, Ragnala?!" "Ya, aku mampir." Niatnya hanya sebentar. "Harus menginap, sudah lama kamu tidak ke sini." *** Harusnya Ragnala sampai rumah kemarin malam, tapi sampai pagi ini suaminya tidak mengabari alasannya tak kembali sesuai agenda. Kasyapi juga mendadak demam, membuatnya jadi lebih manja. Tangan Fayra mulai terasa kebas, memeluknya cukup lama. Tidak ada yang berhasil bujuk Kasyapi, pekerja rumah pun tak bisa. Biasanya ia dan Ragnala gantian menjaganya saat sakit. Tubuh putranya tidak seringan sebelumnya, jadi benar-benar butuh tenaga ekstra saat Kasyapi tidak mau jauh darinya. Pesan pada Ragnala juga tidak dibalas-balas, Fayra memberitahu kondisi Kasyapi dan bila suhu tubuhnya tidak turun-turun, Fayra akan membawa Kasyapi ke dokternya yang sudah cocok dan biasa menangani putranya. “Daddy pulangnya masih lama ya, Mom?” gumamnya. Suara Kasyapi serak sekali. Sesekali terbatuk. Masker untuk anak seusianya, berwarna biru dengan motif animasi ikan paus disudutnya sudah terpasang sejak tadi. “Asya kangen Daddy?” Ia mengangguk, “iya, mau sama Daddy” pipinya menempel dengan bahu Fayra. Fayra akhirnya memutuskan menelepon Eros, satu-satunya yang harusnya tahu alasan Ragnala tidak sampai ke rumah padahal terakhir mengabari kemarin mereka sudah meninggalkan UK kemarin. Melirik Kasyapi yang tiduran di sofa, Fayra menjauh sambil terus mengawasi. Sebuah kompres khusus menempel di keningnya. “Eros, di mana Daddy-nya Asya?” Eros terdiam sejenak, “aku tidak bersamanya. Kemarin di bandara kami berpisah, dia menyetir sendiri. Aku pulang dengan taksi.” Fayra menahan napas sejenak, “ke-kemarin, jam berapa?” Pikirannya langsung saja tak tenang, bila sejak kemarin, mengapa suaminya belum juga kembali ke rumah mereka sampai pagi ini? Eros lagi-lagi mendapat nada khawatir, menebak. Alih-alih menjawab, balik bertanya, “dia belum pulang ke rumah?” “Jangan berbohong, Eros. Katakan saja, kamu sebenarnya tahu Ragnala di mana, bukan?!” Jantung Fayra berdebar menunggu jawaban. Mungkin saja Eros memang tahu, tapi harus merahasiakan darinya. “Aku mengatakan yang sebenarnya, Fayra. Aku akan coba meneleponnya—“ “Tidak perlu, ada yang lebih penting dari memastikan keberadaannya!” Fayra memutuskan untuk menutup telepon, kemudian menggenggamnya erat. Tidak menunggu Ragnala, Fayra putuskan membawa Kasyapi. Bahkan menolak diantar sopir. “Tuan Ragnala bisa marah nanti, Nyonya—“ “Aku tidak peduli, keadaan putraku lebih penting!” Fayra menekankan itu, tetap berusaha tenang tanpa perlu melampiaskan kesal pada bukan orang yang tepat, mereka hanya bertugas. Dibukakan pintunya, Fayra meletakkan Kasyapi, tidak lupa memasang seatbelt kemudian ia masuk ke balik kemudi. Setelah menikah, jarang sekali ia menyetir sendiri. Situasi yang tidak berubah banyak mengenai penjagaannya. Fayra mengulurkan tangan, mengusap kepala putranya. Ia mengesampingkan kekalutan yang ditimbulkan ayah dari putranya, demi putranya. Fayra menyetir dengan konsentrasi penuh, menuju rumah sakit sembari menahan pedih dihatinya. Dia bisa lakukan semua sendiri, dia tidak mau bergantung pada suaminya, yang membuatya begitu sesak ialah tahu Ragnala sudah sampai kota ini sedari kemarin tetapi tidak mengabarinya dan entah berada di mana? Fayra menatap fokus ke depan, sesekali memerhatikan putranya. Jelas bukan kehidupan pernikahan seperti ini yang ia harapkan miliki saat menikah dengan Ragnala walau saat itu tengah bertaruh, ia sadar dirinya yang tetap ingin hubungan ini dilanjutkan. *** Ragnala mendapatkan banyak notifikasi, pesan dan fokusnya langsung pada panggilan tidak terjawab. Dia bangun kesiangan, bergegas meninggalkan tempat ia bermalam, tepat di jalan dapati telepon dari Basil, seorang pekerja yang ditempatkan untuk menyetir mobil, mengantar Fayra dan Ragnala ke mana-mana. “Tuan muda demam—“ “Dibawa ke dokter mana?” tanyanya. Memeriksa pesan yang memang ada kabar dari Fayra mengenai kondisi sang putra. “Maaf, Tuan... Sungguh, aku tidak tahu.” Ragnala berdecak, terkejut tentu. Lebih kesal mendengar jawabannya, “bagaimana kamu bisa tidak tahu, minta istriku bicara denganku—“ “Nyonya menyetir sendiri, Tuan. Dia memaksa untuk pergi, aku sudah coba mencegahnya.” Ucapnya langsung menjelaskan. Tidak menunggu lebih lama, Ragnala menutup telepon dan terus coba menelepon Fayra. Istrinya mengabaikannya. Garis wajahnya menegang, kehilangan jejak istrinya yang membawa Kasyapi. Ia melacak keberadaan istrinya dari ponsel maupun mobil yang digunakannya sambil Ragnala mencoba mengingat hingga akhirnya menemukan satu-satunya dokter yang biasa menangani Kasyapi setiap sakit. Tepat dengan titik Fayra berada. Ragnala menuju salah satu rumah sakit besar di sana, benar saja Fayra baru selesai memeriksa. Kasyapi digendongnya terlihat lemas, Ragnala berjalan dengan tegas. “Daddy!” Kasyapi memanggilnya, kemudian mengulurkan tangan. Ragnala mengambil alih Kasyapi. Sedangkan Fayra tidak terkejut Ragnala dengan mudah menemukannya. “Sudah selesai?” tanyanya dengan nada dingin. Seolah yang beberapa hari lalu bicara ditelepon, dan mengucapkan selamat ulang tahun padanya bukan suaminya, orang berbeda. Ragnala kembali ke dirinya yang biasa. Bahkan tidak repot-repot untuk meminta maaf padanya, atau menjelaskan dari mana saja dirinya sejak semalam. Seolah perasaan Fayra, menantinya bukan hal penting. Ragnala hanya mau ia tetap diam, menerimanya. Fayra terbiasa seperti ini, tapi sekarang ada rasa muak dengan segala yang berjalan hanya sesuai keinginan suaminya. “Sudah, tidak ada yang perlu dicemaskan. Hanya demam dan batuk. Dia tidak akan pergi ke sekolah dulu.” Beritahu Fayra. Ragnala menatap istrinya, “aku meneleponmu.” Fayra hanya diam, cukup jelas ia sengaja tidak menjawab teleponnya. Kebiasaan bila kesal pada Ragnala. Ragnala pilih berbalik, membawa putranya. Fayra menghela napas dalam-dalam kemudian berjalan mengikuti suaminya. “Bagaimana dengan mobilku?” “Tinggalkan, aku sudah meminta Basil untuk mengambilnya.” Katanya yang membukakan pintu belakang, Fayra masuk lebih dulu dan menerima Kasyapi. Ragnala langsung menutup pintu, ia sendiri masuk ke pintu lain dan duduk di belakang kemudi. Kasyapi bersandar, hangat tubuhnya sampai terasa di sentuhannya. “Dari kapan, Asya sakit?” “Semalam sudah jadi pendiam, bangun tidur tadi langsung demam cukup tinggi.” Beritahu Fayra. Ia harap Ragnala tidak menyudutkannya seolah Fayra bertanggung jawab, tak bisa menjaga putranya sampai sakit. Bagusnya Ragnala hanya meliriknya sekilas. Fayra menahan diri ada Kasyapi, sangat ingin menanyakan keberadaan suaminya sejak kemarin dan baru muncul sekarang. Fayra memalingkan wajah, menatap keluar jendela. Beberapa saat kemudian mereka tiba di rumah, Kasyapi setelah makan dan minum obat, minta tidur bersama ayahnya. Berangsur demamnya menurun. Hingga Fayra dan Ragnala menjauh sebentar dari Kasyapi, makan malam berdua dalam hening hanya denting alat makan mereka dengan piring yang sesekali terdengar. Fayra menatap Ragnala, menunggu tetapi Ragnala tidak mengatakan apa-apa sampai makan malam mereka selesai. Sejujurnya jika anaknya sedang sakit, entah mengapa energi Fayra juga terasa terkurasnya, terpikirkan terus menerus. Membuka perdebatan lain dengan suaminya, hanya akan semakin membuat Fayra lelah. Jadi, ia hanya diam. Dalam hening yang tersisa, ponsel Ragnala berdering. Ia tidak beranjak meski beberapa detik menatap layar ponselnya, kemudian menjawabnya. Fayra tetap lanjut makan, menatap suaminya sesekali. Selain urusan rumah dan putranya, Fayra memang tidak banyak tahu mengenai bisnis suaminya. Ragnala juga tidak pernah melibatkannya sama sekali. Seputar agenda rutinitas suaminya, ia tahu dari Eros. Fayra selesai duluan, saat melewati Ragnala, justru menahan lengannya dan saat itu ia cukup jelas mendengar suara seorang perempuanlah yang sedang bicara dengan suaminya. Ia menarik tangannya, pilih meneruskan jalannya dan kembali ke kamar Kasyapi. Dia duduk, memandangi wajah putranya. Menunduk dan menciumi wajahnya berulang-ulang. Selanjutnya, Fayra menegakkan duduknya tepat Ragnala masuk menyusul. “Aku mau bicara,” ucapnya. Ragnala menatap istrinya, “di ruang kerjaku.” Ragnala pergi lebih dulu, menunggu hingga Fayra berjalan menyusulnya. Fayra berjalan dengan kedua tangan saling bertaut depan perutnya, pun menatap lurus tepat ke hadapan Ragnala. Fayra berhenti tepat depan suaminya, ia menarik napas dalam-dalam untuk memberanikan diri mengatakannya, “kamu masih mau membicarakan keinginan pulang ke Jakarta berdua dengan Kasyapi?” Fayra mengangguk, “ya.” Ragnala terkekeh pelan, “sayang, kamu tidak paham yang aku katakan?!” “Aku akan bicara dengan Papa, agar meyakinkanmu untuk mengizinkanku dan Asya ke Jakarta.” Fayra bersikeras kali ini. Senyum Ragnala benar-benar lenyap, istrinya mengambil keputusan sendiri. “Kenapa libatkan Papa?!” “Mungkin dengan begini, kamu bisa menyetujui keinginanku.” Ragnala melangkah maju, kemudian jemarinya hendak menyentuh wajah Fayra, tetapi Fayra mundur. Menghindarinya, membuat tangan Ragnala mengantung di udara. “Kamu bersikeras sekali ke Jakarta,” Fayra menatap suaminya, tenang berusaha untuk tidak terlihat ada rencana lain yang Fayra susun, dan Ragnala tidak boleh tahu sampai ia sudah di Jakarta dan bersama keluarganya, Kasyapi pun bersamanya. “Apa rencanamu, Fayra?” tebaknya begitu tepat. Fayra tetap diposisinya, kemudian mengernyitkan kening, “rencana? Aku hanya ingin hadiri acara keluargaku, bersama keluargaku.” Ragnala mendekat, “aku yang akan bicara dengan Papa.” Fayra menghela napas lega, mendengar Ragnala tampaknya akan setuju dengar jawabannya, "sungguh?! Papa pasti tidak keberatan kalau aku dan Kasyapi yang pulang." Ragnala mendengar nada antusias istrinya, namun sayangnya ia harus mematahkan segera. “Tujuanku hubungi Papa untuk meminta maaf, memberitahu kalau aku tidak bisa jauh darimu dan Kasyapi. Jadi aku berat membiarkan kalian pulang ke Jakarta tanpaku. Kuyakin Papa-Mama bahkan akan lebih mengerti dibanding istri cantikku ini.” Katanya dan menarik pinggang Fayra merapat. Fayra langsung menahan napas sejenak, emosinya naik. Ragnala benar-benar mengujinya, "kamu!" "Harus dengan cara apa, agar kamu mengerti penegasanku terhadap satu ini, hm?" Fayra merapatkan bibirnya, berusaha pun sama saja, sangat tidak mudah untuk menghadapi ego Ragnala. Ragnala mendekat, menyasar bibir istrinya. Tetapi, Fayra langsung berpaling. Membuat Ragnala terkekeh, "selain bibirmu, aku juga suka lehermu yang indah..." Fayra mengepalkan tangannya saat Ragnala melekatkan bibir di kulit lehernya, bukan hanya mencium tapi menyesap yang akan meninggalkan tanda kemerahan. Fayra mendorong Ragnala, membuatnya mundur. Tatapan mata mereka bertemu, Fayra berbalik siap melangkah. Tetapi, berhenti saat mendengar kalimat sang suami. "Rapikan kancing bajumu dulu, sayang. Baru keluar dari sini." Fayra menunduk, lalu berdecak. Ragnala terlalu lihai bersikap menyebalkan! Bukan hanya kancing baju, pun kait branya terasa melonggar. Senyum Ragnala hilang saat dapati Fayra sudah tidak di sana segera memanggil Basil dan memberi perintah, "perketat rumah, jangan ada keadaan seperti kemarin membiarkan istriku dan putraku pergi tanpa penjagaan!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN