Kasyapi sudah sehat kembali setelah sakit tiga harian walau belum selincah biasanya. Masih manja sekali, terutama pada Ragnala. Makan pun harus dirayu-rayu, bahkan minta disuapi Daddynya. Sampai-sampai terus menempel seperti saat ini, putranya sedang bersama Ragnala dan Eros diruang kerjanya. Fayra sudah mencegah takut kehadiran Kasyapi mengganggu, Kasyapi tadi malah menangis, tetap inginkan Daddynya. Ragnala bilang tak terganggu sekali pun ada putranya. Ya, untuk Kasyapi, Ragnala tak pernah menolak. Bicara pun tegas, walau tak pernah pakai nada emosi dan tinggi.
Ragnala suami yang tak memenuhi harapan Fayra, tapi dia sangat baik untuk jadi Daddy Kasyapi.
Setelah itu tidak ada banyak hal yang bisa Fayra lakukan selain lihat-lihat situs jual-beli barang antik, lamanya yang sudah tidak aktif. Dia jadi rindu pergi melihat barang, kemudian saat ia suka dan bisa menebak harga jualnya, dia lakukan tawar-menawar sampai akhirnya bisa ia bawa pulang. Rutinitasnya dulu, sangat menyenangkan sebagai kolektor dan penjual.
Fayra sadar setelah menikah dan pindah, ia hanya lebih banyak di rumah, kalau pun ada kenalan, Fayra bertemu diacara yang ia datangi bersama Ragnala. Dulu sangat iri pada kakak-kakaknya yang diperbolehkan kuliah ke luar negeri, sekarang saat Fayra sudah tinggal di Amsterdam justru rindu kehidupan normalnya seperti dulu di Jakarta.
“Biarkan aku saja,” Fayra mengambil alih nampan berisi jus dan makanan ringan, siap diantar ke ruang kerja dari tangan pekerja rumah.
Dia berjalan ke ruang kerja, mengetuk pintu dan membukanya. Matanya menatap dua pria dewasa dan sang putra yang tengah duduk di kursi ayahnya, fokus pada pensil yang dipegang dan kertas di atas meja. Mencoret-coret. Sementara Ragnala bersama Eros duduk.
Eros sigap berdiri, mengambil alih nampan itu.
“Terima kasih, Eros.” Ucapnya sambil tersenyum.
Eros memberi anggukan, “kamu terlihat agak berbeda, kamu sakit?” tanyanya dengan perhatian.
Sebenarnya Eros begitu sudah biasa, sebagai orang terdekat dan terpercaya Ragnala, Fayra lebih sering bertemu, atau bahkan merepotkannya menyangkut Ragnala. Keadaan rumah tangannya, tak perlu menutupinya. Fayra pun tahu Ragnala mungkin cukup terbuka mengenai segalanya, bahkan melebihi padanya.
Sepasang mata Ragnala memerhatikan kedekatan istri dan Eros.
“Ah, mungkin pilihan lipstikku hari ini yang buat wajahku terlihat pucat.”
“Kamu yakin—“
“Kamu di sini untuk membahas pekerjaan denganku, Eros. Bukan mencemaskan istriku!” tegasnya dengan nada dingin.
Eros menatap temannya, menegurnya agak berbeda. Tidak ingin membuat Ragnala lebih kesal, Eros kembali dengan meletakkan nampan di meja. Dia menatap temannya, santai.
Setelah Fayra pergi meninggalkan ruang kerja, Ragnala menatap temannya, “jaga tatapanmu terhadap istriku, Eros!”
Eros malah tertawa, “tatapanku biasa saja, ayolah kita sudah berteman lama! Aku mencemaskannya, dia memang terlihat pucat. Pasti ulahmu, yang menekannya?”
Ragnala menoleh pada putranya, kemudian memanggil Kasyapi.
“Sudah ya, Daddy masih ada pekerjaan. Kamu main di luar.”
Kasyapi memberi anggukan, kemudian berlari keluar ruang kerja.
Eros duduk bersandar, menatap temannya. Ragnala kembali duduk dan menghela napas dalam-dalam. “Belakangan sikapnya berbeda, sejak malam acara ia kembali ke mobil duluan.”
“Sudah kubilang, kesabaran ada batasnya.”
“Mungkin karena aku tidak memberinya izin ke Jakarta bersama Kasyapi.” Ragnala hanya bersikap menolak kemungkinan yang lain dari sikap istrinya belakangan.
“Perlu kamu ingat, dia istrimu. Kapan pun dia merasa sudah cukup bertahan denganmu, dia bisa memilih pergi.”
Ragnala terkekeh kecil, “dia tidak mungkin memilih pergi, dia tahu pilihannya.”
“Kasyapi?” Eros tahu alasan Fayra pasti masih bertahan sampai sekarang sekali pun menghadapi kelakuan Ragnala yang dingin dan sesuka hati.
Anggukannya sangat percaya diri sekali, “tertulis jelas di prenup yang kami miliki. Jika terjadi perpisahan di antara kami, terutama Fayra yang menggugat cerai, maka Kasyapi akan tetap bersamaku. Fayra akan kehilangan hak asuh putra kami.”
Eros sampai tidak habis pikir hingga detik ini, Fayra dulu setuju dalam perjanjian seperti itu bersama Ragnala.
Obrolan itu didengar jelas oleh Fayra yang kembali untuk memberitahu jika makan siang mereka sudah siap. Fayra berbalik pergi, memang inilah alasan utama ia bertahan selama ini dengan Ragnala. Sekali pun keluarganya bisa membantu, perpisahan untuk bagian memperebutkan hak asuh Kasyapi sudah jelas lebih condong akan dipegang oleh Ragnala. Hal lain yang Fayra takuti, setelahnya Ragnala akan membuat ia kesulitan bertemu Kasyapi.
Fayra memejamkan matanya, salah satu ceroboh dan kebodohannya ialah begitu saja setuju dengan isi-isi Prenup yang Ragnala ajukan. Ia tidak bisa meninggalkan putranya. Namun, Fayra yakin masih ada cara untuk melepaskan diri dari semua ini. Ia sudah mulai muak, ia merindukan dirinya yang dulu tapi tidak mau kehilangan Kasyapi.
"Mommy!" Seru Kasyapi. Fayra segera mendekat dan mendekap tubuh kecil putranya. Dia hanya akan pergi dari Ragnala bersama Kasyapi. Seorang bisa melewati sakitnya saat harus hadapi kehancuran pernikahannya, tapi seorang Ibu tidak bisa menahan rasa sakitnya bila harus dipisahkan dari anaknya dengan paksaan.
Kasyapi adalah hidup dan matinya, bila ia tak bisa bersama Kasyapi, ia berpikir lebih baik tiada sekalian.
***
Selain Fayra yang menunjukkan sikap marah yang berbeda, siang ini Ragnala dapat laporan jika istrinya pergi. Kasyapi main di playground dijaga pengasuhnya, sementara Fayra melakukan perawatan seperti biasa yang ia lakukan dalam sebulan.
Ternyata Fayra merapikan rambutnya, dengan potongan baru meski tetap panjang. Bahkan potongan rambut pun harus sesuai pilihan suaminya, termasuk Fayra tidak boleh mengubah warna rambutnya. Ragnala sangat posesif terhadap tubuh istrinya.
Setelah di rumah, Kasyapi menunjukkan mainan dan baju piama baru pilihannya. Bergambar ikan paus, favoritnya. Bahkan anak itu, mau langsung bajunya dipakai, tidak mendengarkan Fayra yang mengharuskan bajunya dicuci dulu.
"Nanti gatal, Whale Boy!" Putranya suka semua binatang, tapi paling suka Paus. Dia bisa terkagum-kagum bila dibawa ke akuarium besar, melihat biota laut.
"Bajunya beli ditoko, bukan ambil dijalan. Mana mungkin gatal!" Dia pintar menjawab.
"Daddy, beritahu putramu!" Ucap Fayra yang menyerah.
Ragnala mengusap kepala mini dirinya, "Mommy kamu benar, ganti ya. Pakai piama yang lain dulu."
Ajaibnya, dengan Ragnala langsung menurut.
Tiba malamnya setelah makan malam, mereka melihat film bersama, menemani Kasyapi. Ragnala tiba-tiba bersikap berbeda yang membuat Fayra sampai menoleh. Sejak tadi suaminya mengusap-usap rambutnya, lembut. Fayra merasa ditatap lekat lebih banyak dibanding film dilayar televisi lebar mereka.
Kasyapi bersandar di ibunya, kemudian menguap dan merebahkan diri dengan pangkuan Fayra yang jadi bantalannya. Tangan Fayra mengusap kening putranya.
“Tidur ya?”
“Filmnya belum berakhir, hoaam!” dia menguap, Fayra gemas mencium ujung hidung putranya.
“Besok bisa dilanjut lagi."
“Nonton dari awal lagi, lama.” Sautnya.
Kasyapi bergerak pelan untuk pertama-tama menatap mata Fayra, kemudian bergerak lagi menempatkan posisi wajah menghadap perut sang Ibu. Posisi nyaman yang membuat kelopak matanya memberat.
“Kecilkan suara TV-nya.” Pinta Fayra yang membuat Ragnala segera melakukannya, namun kembali ke posisi, menyingkirkan rambut Fayra kesisi. Merapat dan mulai menciumi lehernya berulang-ulang.
Fayra berusaha tetap fokus ke layar televisi, “kamu pakai parfum yang baru?”
Ragnala entah bagaimana selalu hafal aroma yang melekat ditubuhnya. Bahkan saat aroma baru yang sebelumnya ia tidak pernah pakai.
“Iya, hadiah ulang tahun dari Ka Sea. Kamu kurang suka? Aku tidak akan pakai lagi.” Kata Fayra yang menebak.
Ragnala menyentuh pipinya, “suka, wanginya enak. Aku malah suka sekali.”
Fayra bernapas lega, setidaknya kali ini tidak harus hanya memajang parfum puluhan juta karena Ragnala tidak suka wanginya. Sudah ada beberapa botol yang tak tersentuh, karena salah pilih.
“Kasyapi sudah pulas?”
“Tunggu beberapa menit lagi,”
“Biar aku pindahkan.”
“Dia minta tidur sama kita.” Fayra berbohong. Kasyapi tidak meminta, tapi dia memakai alasan ini karena hafal tingkah Ragnala bertanda butuh dirinya malam ini. Sejak malam itu, memang mereka belum melakukannya lagi.
Ragnala langsung menarik kepalanya menjauh, menatap Fayra.
“Kamu tahu sendiri, kalau nanti dia terbangun dan sadar tidak tidur sama kita, dia akan nangis dan marah besoknya.”
“Belakangan dia sudah terlalu sering tidur sama kita.” Protesnya.
“Aku terserah, kalau Kasyapi marah. Kamu tanggung jawab—“
“Ya sudah, aku pindahkan dia ke kamar.” Ragnala berdiri, kemudian mengambil Kasyapi untuk menuruti ucapan Fayra. Diam-diam Fayra bernapas lega dapati Ragnala memercayai kebohongan kecilnya.
Dia menatap punggung Ragnala yang menjauh sambil memeluk Kasyapi, Fayra pilih beranjak ke dapur dan mengambil minum. Saat malam memang hanya ada mereka bertiga, pekerja hanya ada saat pagi hingga sore. Fayra meletakkan gelasnya, kemudian berdiri gelisah sambil sesekali menggigit ujung ibu jarinya.
Menyusun rencana lain agar menghindar dulu dari sentuhan suaminya, namun dia mematung saat Ragnala kembali, berjalan ke arahnya kemudian melepaskan kaus putih polosnya. Mata Fayra menelusuri tubuhnya yang terbentuk, otot perutnya yang biasa Fayra sentuh saat mereka berhubungan intim. Tubuhnya tidak bersih, ada tato walau tidak mencolok dan kecil. Salah satunya di atas d**a kanannya, ada nama lengkap Kasyapi pun tanggal lahirnya. Fayra tidak pernah menemukan itu untuk dirinya, bersangkutan dengan dia.
Ragnala mendekat, meraih gelas bekas Fayra dan ikut meminumnya.
“Kasyapi tidak terusik dipindahkan?”
“Tidak, dia hanya bergumam kecil.”
“Aku akan temani, mungkin dia terbangun dan mencariku.” Kata Fayra yang melewati Ragnala tetapi tangannya dicekal. Membuat langkah Fayra tidak ke mana-mana.
“Kamu menghindariku.”
“Aku mau ke Kasyapi, aku juga mengantuk.”
Ragnala menarik Fayra hingga begitu dekat dan berhadapan, tangannya melepaskan cekalan namun berpindah ke pinggang ramping Fayra. Meski mengatakan dengan jelas, Ragnala tak langsung melepaskan. Dia tidak peduli penolakan apa pun saat sudah menginginkan sesuatu. Fayra sudah hafal keinginannya saat tadi mulai terus menempelinya, bahkan saat ada putra mereka, tangan Ragnala sudah lebih aktif.
Fayra memejamkan mata saat Ragnala menciumi leher hingga bahunya.
“Tidak masalah putraku tidur diranjang kita malam ini, ada banyak tempat di rumah ini.” kemudian matanya menjelajah, dia tersenyum sambil merangkum wajah Fayra, “meja makan itu menantikan kita, sudah lama kita tidak menggunakannya.”
“Aku—mppth!”
Ragnala mencium bibirnya, kemudian mengangkat Fayra dengan mudah. Kaki Fayra seketika melingkar di pinggangnya. Masih terus menciuminya, hingga Fayra tak bisa menolak karena Ragnala pasti akan marah. Ketika Ragnala merasakan bibir yang semula coba terkunci rapat dan hanya diam mulai membalas, Ragnala merasa masih jadi dominan dalam hidup Fayra.
Dia menurunkan Fayra di atas meja makan, sama-sama melepas pakaian atas, Fayra berbaring dan menatap suaminya. Ragnala menaikkan kaki Fayra, kemudian menarik lepas kain terakhir ditubuhnya.
“Pengaman, please...” Fayra mengingatkan karena memang ini tanggal dia tidak yakin aman. Jadwal ke dokternya harusnya beberapa hari lalu tetapi bertepatan dengan Kasyapi sakit dan sulit ditinggalkan sebentar.
“Aku tidak pernah stok lagi, kamu tahu itu!” decaknya mulai kesal. Sejak Fayra memutuskan untuk pencegahan, Ragnala memang tidak pernah stok pengamannya. “Aku bisa mengatasinya.”
Fayra menatap suaminya tidak yakin, berharap Ragnala tidak lupa diri nanti. Mereka memang sepakat untuk tidak memiliki anak lagi, cukup Kasyapi. Awalnya Fayra sedih, tapi dengan keadaan yang ada, bila memiliki Kasyapi saja sudah membuatnya tidak bisa bertindak pergi, apalagi memiliki seorang bayi lagi.
"Kamu juga harus mengingatkanku."
***
Fayra hanya ingat setelah pindah ke sofa, sejenak mengembalikan tenaga dalam pelukan Ragnala. Sudah memakai kaus suaminya, dan kini terbangun masih diposisi yang sama, tidur membelakangi Ragnala yang membiarkan satu tangan jadi bantalannya, tangan lain berada di atas dadanya dengan tangan bisa sangat pas seperti menangkup salah satu miliknya.
Ia menarik napas dalam-dalam, saat sedang marah, Ragnala bisa membuat Fayra terlihat menyedihkan, tapi semalam berbeda. Ragnala menyentuhnya dengan cara paling lembut yang dirinya lakukan.
Fayra bergerak perlahan, berbalik dan menatap suaminya yang tertidur. Wajahnya menawan tetapi dengan sikap dinginnya, bagaimana bisa Fayra begitu jatuh cinta padanya?
Ragnala bergumam kecil, “kalau sudah bangun, biarkan tanganku bebas. Sudah kebas sejak malam menjadi bantalan kepalamu!”
Fayra mengerjap mendengarnya, segera bangun dan menoleh pada Ragnala yang membuka mata dan menggerakkan tangannya.
“Kenapa tidak minta aku pindah dari semalam?” Fayra semalam benar-benar dibuat letih, energinya terkuras. Ragnala baru berhenti setelah mereka pindah dan ambruk bersama di sofa.
“Aku juga langsung tidur, tidak lama darimu.”
“Kita meninggalkan Kasyapi tidur dikamar.” Fayra langsung teringat putranya.
“Tidak masalah, dia tidak bangun. Artinya nyenyak.” Jawabnya yang memerhatikan sang istri. “Temui doktermu segera, aku tidak ingin terus waspada seperti semalam. Apalagi menggunakan pengaman.”
Fayra segera bergeser, menurunkan kakinya.
“Dokternya masih cuti, aku tidak suka harus mencari dokter berbeda.”
“Hm,”
Ponsel Ragnala kemudian berdering, Fayra mengambilkannya dan terdiam menemukan nama kontak tersebut.
“Cornelia Sanne, menelepon.” Ucapnya.
Ragnala sontak bangun, mengambil ponselnya.
Fayra menatap suaminya, tidak bisa menahan diri untuk bertanya sebab cukup mengenal nama perempuan yang menghubungi suaminya sepagi ini, “kamu dekat ya sama perempuan ini, dari kapan?"