Fayra tersenyum melihat video yang dikirimkan Felora, semua sedang berkumpul di rumah Mama-Papa. Valora dengan stetoskop berwarna merah muda mengalung di lehernya, kemudian Kane dan Kai tampak pasrah berpura-pura jadi pasiennya. Lucu sekali tingkah mereka mengingatkan ia dengan masa kecil.
Ternyata benar kata orang-orang dewasa, kalau dewasa tidak benar-benar menyenangkan seperti kelihatannya. Semua jadi tanggung jawab diri sendiri, tawa dan senyum semakin berkurang seiring banyak hal yang dihadapi setiap harinya. Atau hanya kebetulan saja Fayra yang tidak beruntung. Kehidupannya sebagai seorang putri satu-satunya Alyan-Fay atau cucu kesayangan mendiang Grandad-Grandmom dulu, tidak jarang membuat orang-orang yang mengenalnya iri. Ibarat kata ia sedari kecil disuapi oleh sendok emas, segala yang ia inginkan mudah diwujudkan, namun semua tidak menjamin kebahagiaan abadi. Untuk kehidupannya, ia membayar mahal dengan hidup yang terus diawasi sedari dulu. Ancaman pun tidak main-main, melihatnya sebagai kelemahan atau celah untuk menjatuhkan keluarganya. Fayra pernah hampir terperosok jebakan orang yang ingin memanfaatkannya. Bahkan beberapa pria sebelum Ragnala, mereka mendekatinya untuk keuntungan tertentu.
Dulu ia berpikir harus mendapatkan yang setara, agar tidak dimanfaatkan. Karena itu, saat bertemu lagi dengan Ragnala, ia memiliki hal yang Fayra butuh. Terutama seiring kedekatan mereka, Ragnala tipe Fayra. Mudah sekali membuatnya jatuh hati. Ditambah, saat ia ingat Grandad Kai sendiri yang memperkenalkan mereka, bisa jadi ada restu di hubungan mereka. Fayra yang memulai semuanya, Fayra yang jatuh cinta lebih dulu, dan berpikir bahwa perlahan seiring mereka bersama, Ragnala akan mencintainya juga. Ternyata saat itu, ia hanya bagian dari manusia yang paling keras kepala hanya karena sedang jatuh cinta, bahkan ia tidak dengarkan peringatan sang kakak tentang Ragnala, Fayra menutup mata hanya karena hati sudah memilih.
“Aku sudah depan apartemenmu,”
Ragnala yang masih berbaring coba mengumpulkan nyawanya setelah tidur yang bahkan baru jam setengah tiga pagi, kini dibangunkan dengan ponsel yang terus-menerus berdering.
“Jam berapa ini?”
“Tujuh lewat lima belas—“
“Sepagi ini kamu datang?!”
“Iya, aku mengatakan kalau kita belum pernah breakfast bersama. Bisakah aku diizinkan naik?” tanya Fayra.
Ragnala terpaksa bangun, kemudian meminta Fayra menunggu. Dia segera cuci muka, sikat gigi dan mengambil kausnya. Turun dan menemukan Fayra duduk menunggu, ditemani pengawal pribadinya yang memegangi dua tas belanja.
Fayra tersenyum, menghampirinya. “Kemarin malam, aku pertama kali belanja sayuran, buah-buahan dan protein juga.”
Ragnala mengernyit bingung, Fayra mengapa perlu melaporkan kegiatannya?
“Jen, berikan itu ke Ragnala. Biar dia yang membawanya ya! Kamu pulang saja, biar Ragnala nanti yang antar aku—“
“Pak Sky meminta saya selalu memastikan bersama Nona Fayra.”
“Tapi, aku tidak mau ada orang lain! Ini breakfast kami berdua.”
“Saya harus laporan dan dapat izin dari Pak Sky—“
“Ih, ngapain sih? Malah makin repot nanti! Sudah kamu tunggu di mobil saja!” dia bernada kesal.
Fayra tidak mendengarkan lagi, langsung menarik tangan Ragnala yang terpaksa menerima kantung belanjaannya. Mengajak gadis itu ke apartemennya. Fayra memandangi sekitar, lanjut membongkar tas belanjanya.
Ragnala berdiri sambil bersedekap memerhatikan, “kamu mau masak?”
Fayra memberi anggukan, “dapat banyak resep makanan, dari Aunty Vanya dan Bunda Kikan. Mereka yang paling jago masak! Lainnya payah, sama sepertiku.”
Ragnala menghela napas dalam, kepalanya sudah pening karena tidurnya diganggu sepagi ini, ditambah kedatangan Fayra yang berniat masak dan sarapan bersama. Ragnala tidak yakin Fayra bisa masak, lebih meyakinkan kalau gadis itu akan membakar dapur apartemennya. Dia tak yakin Fayra yang tersemat sebagai Princess Lais cocok berada di dapur.
“Kenapa sih? Menatap aku seperti sudah waspada aku akan bakar dapur kamu?!”
“Memang iya, lebih baik kita pesan saja—“
Fayra melangkah cepat, kemudian menurunkan ponsel Ragnala, “beri aku satu eh satu setengah jam deh. Kalau makanannya tidak layak, kamu boleh pesan!”
Ragnala masih memberi tatapan tidak yakin, Fayra tersenyum. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia persilakan gadis itu mulai merencanakan masaknya. Dia juga bahkan bawa apron masak sendiri yang berwarna merah muda, mengingatkan Ragnala dengan cat mobil gadis itu.
Dia memegang pisau, dari cara memotongnya saja sudah terlihat bingung.
“Butuh bantuan?”
“Ti-tidak, aku bisa!”
Ragnala menunggu, menghitung dalam hati sampai gadis itu bolak-balik melihat resep. Kernyit di dahinya yang serius, pun juga terlihat bingung. Ia membaca ulang kotak bumbunya agar tidak tertukar. Menakarnya serius. Sampai akhirnya Ragnala menghampirinya.
“Kamu bisa tetap duduk—“
“Menunggumu hanya akan membuat breakfast menjadi lunch nanti.” Dia mengambil alih pisau dari tangan Fayra, “mau buat apa?”
“Ini, yang mudah.” Dia menunjukkan contoh gambar yang didapat.
“Terlalu berat untuk breakfast, buat yang lain saja.” katanya dan sigap memilih-milih bahan. Fayra berdiri bersama, membantunya.
"Kamu bisa memasak?"
“Ya. Kenapa kamu lakukan ini?” tanya Ragnala saat menata omlet mereka, pun potongan buah alpukat dan sayuran yang tadi Fayra terlanjur iris walau jadi tidak bagus.
“Uhm, beberapa waktu lalu kamu bilang kalau suka perempuan yang bisa masak, dan setelah menikah cukup di rumah.” Ucap Fayra, sebenarnya jawaban yang sempat Ragnala berikan pada saat itu hanya untuk menjawab asal-asalan saja namun Fayra menganggapnya benar.
Ragnala menatap Fayra, “kamu mau melakukannya untuk semua yang kukatakan?”
Dia mengangguk, tersenyum.
“Sejujurnya aku lebih suka perempuan penurut, sudah cukup.” Katanya mendekat, dan mengecup bibir Fayra. Lalu berbalik membawakan dua piring berisi sarapan mereka.
Sepotong ingatan indah dulu saat mereka awal dekat membuat Fayra merasa terlalu mudah dibuat tak berdaya oleh pria ini. Dia bahkan bersungguh-sungguh belajar berbagai masakan, terutama makanan favorit Ragnala. Meski ada pekerja khusus di rumah untuk menyiapkan makanan mereka setiap harinya, saat Ragnala di rumah, Fayra lebih suka masak sendiri.
“Awww!” Fayra meletakkan pisaunya, kemudian mengangkat tangan. Menemukan jemarinya berdarah, tanpa sengaja teriris.
Fayra berbalik, menuju wastafel dan mencucinya. Bukan rasa perih, sakit dari luka kecil di jemarinya yang buat Fayra akhirnya terisak-isak sedih. Melainkan kerinduan terhadap dirinya, jika waktu bisa diulang, mungkinkah dia akan pilih menjauhi Ragnala, tidak membiarkan pernikahan ini terjadi? Tapi, dia juga bersyukur sekali dengan memiliki Kasyapi. Bila tidak dengan Ragnala, Kasyapi tak akan ia miliki.
Fayra semakin terisak, dia kesal karena kemarin lagi-lagi Ragnala tidak pulang ke rumah. Pagi tadi saat ia bertanya justru Ragnala marah, meminta Fayra berhenti menuduhnya selingkuh apalagi tidak terbukti. Beberapa waktu lalu juga dia tidak sengaja membaca chat dari Cornelia Sanne, nama yang sama pernah menelepon Ragnala pagi itu. Isi pesannya...
[Terima kasih untuk semalam, Ragnala]
Mungkinkah Ragnala tidak pulang karena bersama Cornelia Sanne? Bagaimana bisa Fayra menghentikan pemikiran negatifnya mengenai Ragnala di luar sana saat tidak pulang, jika mengingat bahkan masa lalu suaminya yang memang dekat dengan banyak wanita. Bahkan sampai sekarang, saat dipesta itu salah satunya dari tujuh tahun kebersamaan mereka.
Fayra menghela napasnya, kemudian mengambil kotak obat. Mencari plester kecil untuk jarinya. Baru menutup lukanya saat salah seorang pekerja muncul, memberitahu.
“Pak Ragnala sudah pulang, tidak sendiri.”
Kening Fayra mengernyit, berjalan cepat untuk melihat langsung siapa yang suaminya bawa pulang. Kasyapi lebih dulu ada di sana, sedang dikenalkan pada seorang wanita muda yang cantik dan modis sekali. Berambut pirang, Fayra tidak lupa jika wanita itu juga yang berdansa dengan Ragnala malam itu.
Fayra mengepalkan tangannya, membuat jemarinya turut tertekan. Ragnala menemukan keberadaannya, “kemari, aku datang bersama temanku. Cornelia Sanne. Waktu itu kamu bertanya, siapa dia kan? Sekalian hari ini, aku kenalkan kalian.”
Fayra menelan ludahnya susah payah, jadi dia adalah Cornelia Sanne?
“Fayra...” panggil Ragnala dengan tatapan yang jelas menguasai dan tidak suka Fayra menolaknya.
***
Tidak hanya dikenalkan, teman perempuan suaminya juga ikut makan malam bersama. Fayra menahan diri, coba tersenyum dan fokus pada putranya. Sedangkan obrolan didominasi akrab antara Ragnala dengan Cornelia. Mereka teman lama, sempat sekolah barang satu universitas lalu sekarang bertemu lagi sebagai rekan bisnis.
Semalam mereka kembali bertengkar karena Fayra mendiaminya, Ragnala tidak terima. Pagi ini, Fayra tidak menemui Kasyapi karena wajah pucat dan matanya agak bengkak. Fayra biarkan putranya dibawa Ragnala.
Ia tahu ada CCTV di ruang kerja Ragnala, tidak bisa ia matikan hanya Ragnala yang bisa. Tapi, Fayra nekat pergi ke ruang kerja itu dan langsung menuju tempat brangkas Ragnala miliki.
Fayra menatap brangkas itu, kode-kode yang harus dia masukkan agar pintunya terbuka. Dia tahu jika Ragnala tahu, nanti akan jadi pertengkaran hebat. Tapi, dia tidak peduli lagi, dia ingin pulang ke Jakarta. Mendapatkan berkas-berkas miliknya dan sang putra.
Fayra menebak angka, “mungkin gunakan tanggal kelahiran Mama Ruby!”
Ada delapan angka yang dibutuhkan, Fayra mencoba tetapi pintu tetap tidak terbuka.
“Tidak mungkin tanggal ulang tahunku, atau pernikahan kami.” Gumamnya. Bika bukan menggunakan tanggal Mama Ruby, bisa jadi menggunakan tanggal kelahiran Kasyapi.
Ia menggunakannya lagi, dan gagal.
“Oh sialan, gagal juga!” Decaknya, belum lagi jantung Fayra berdebar sekali untuk membukanya. Dulu sepupunya, Harsa yang paling mengerti teknologi ini pernah datang ke rumahnya. Kemudian mengobrol dengan Ragnala, sepupunya berdecak kagum dengan sistem keamanan di rumah ini. Harsa mengatakan, Ragnala menempatkan sistem yang sangat canggih dari yang terbaru.
Fayra berdecak lagi, coba berpikir ulang, “satu kesempatan lagi."
Jika salah, dia bukan hanya menggagalkannya tetapi pasti Ragnala akan tahu ada yang memaksa membuka sandi brangkasnya. Tidak sulit untuk mencari pelakunya, sudah pasti langsung tertuju kepadanya.
Fayra mencoba dengan menggunakan satu tanggal lain, yaitu tanggal awal ia dan Ragnala tahu dirinya hamil. Entah mengapa, Fayra berpikir ke sana. Dia menekan kombinasinya, hingga angka terakhir dan “Terbuka!”
Fayra terdiam mematung, Ragnala menggunakan tanggal pertama kali kehamilannya diketahui. Dengan tangan bergetar, Fayra membuka pintu brangkasnya. Ada tumpukan uang kertas dollar, di bagian bawahnya berkas. Dia mencari-cari berkasnya dan Kasyapi.
“Ya, ini milikku dan Asya!” Fayra harus melakukannya dengan cepat, pikirnya.
Dia menariknya keluar, tepat sebuah berkas jatuh meluncur ke dekat kakinya.
Fayra berdecak, “segala jatuh!” dia meletakkan berkasnya dulu, lalu berjongkok mengambil berkas itu.
Tetapi, saat akan bangun. Matanya menemukan sebuah USG, kening Fayra mengernyit. Matanya memperhatikan setiap detail foto tersebut, hingga detik berikutnya napas tercekat dan kakinya lemas. Dia terduduk dengan tangan yang terus memegang USG tersebut.
***
“Kita sudah sampai, Pak? Tidak perlu mengabari dulu?”
“Sengaja, biar kejutan.” Ucap seseorang itu, duduk tegap menggunakan kaca mata hitamnya. Memandang rumah besar bergaya Eropa klasik.
“Bapak akan kembali ke hotel, atau mau menginap di sini?”
“Menginap, saya kangen sekali dengan Fayra dan Asya.”
Asistennya memberi anggukan, turun membawakan buket bunga dan beberapa tas berisi kado untuk orang yang akan segera ditemui. Mengikuti langkahnya berjalan menuju pintu. Menekan belnya dan menunggu.
Orang keamanan yang menjaga gerbang tadi pasti sudah melapor, terbukti tidak lama pintunya dibukakan oleh seseorang.
“Fayra dan Kasyapi di rumah?” dia bertanya langsung, orang yang bekerja awalnya terkejut tapi sudah familier dengan wajahnya.
Dia dipersilakan masuk, baru beberapa langkah saat mendengar tangis seseorang.
“Fayra?!” dia menebaknya dengan mudah. Pekerja mematung, dia juga mendengarnya.
“Apa yang terjadi dengan adikku?!” decaknya.
“Suaranya berasal dari ruang kerja, Tuan!” beritahunya. Dia mengambil langkah lebar-lebar, langsung menuju ruang kerja yang dimaksud.
Membuka pintu yang untungnya tidak benar-benar tertutup, tangis yang tadi dia dengar tak lagi ada. Ia mendorong pintu itu dan matanya menemukan tubuh perempuan yang tergeletak di atas lantai dengan beberapa berkas dan satu foto dekatnya.
“FAYRA!” Dengan panggilan nama yang jelas dan terkejut, dia berlari dan meraih tubuh itu, mengangkat kepalanya dan menemukan wajah yang pucat serta sembab oleh air mata.
Seperti sebuah tikaman tajam yang menusuknya, wajah itu begitu menyedihkan dari yang pernah ia lihat.
“DAMN! b******k! DI MANA RAGNALA SIALAAN!” Teriaknya dengan marah.