Eps 10 Saat Nahkodaku telah hilang

1575 Kata
Author P.O.V “Tidak apa – apa. Ceritakan saja kenapa Mbak menangis. Aku siap mendengar kok,” ujar Almira seolah mendesak lawan bicaranya untuk jujur Orang yang Almira panggil mbak ternyata adalah mbak Eli. Baby sitternya Isabella. “Tapi Non....” “Mbak. Percaya deh sama aku,” potong Almira cepat “Saya sungkan sama Non Almira,” “Loh sungkan kenapa?” “Yaa... karena Non Almira kan majikan di rumah ini. Rasanya kurang elok jika saya bercerita tentang masalah saya,” Mendengar hal tersebut, Almira lantas memegang tangan mbak Eli dengan penuh kelembutan. “Mbak Eli tidak perlu sungkan hanya karena aku nyonya di rumah ini. Di mata Tuhan kita semua sama. Tidak ada yang tinggi, tidak ada yang rendah. Yang membedakan hanyalah akhlak dan iman kita. Jadi santai saja dan ceritakanlah. Biar hati Mbak Eli jauh lebih tenang. Oke,” ucap Almira tersenyum Mendapat sambutan hangat dari majikannya, mata mbak Eli lantas berkaca-kaca. “Sebenarnya Ibu saya sakit Non. Dan sekarang sedang diopname di rumah sakit,” “Benarkah?” “Iya, Non. Sudah satu minggu ini,” “Ya Tuhan. Kenapa Mbak Eli gak pernah cerita? Terus kenapa Mbak Eli masih disini, gak minta cuti saja?” “Saya gak enak hati, Non. Karena saya sudah beberapakali minta cuti karena hal yangsama,” “Oyah? Memangnya Ibu Mbak Eli sakit apa?” “Kanker p******a, Non. Sudah stadium 3,” jawab mbak Eli sedih “Astaga. Bukankah itu harus segera dioperasi?” “Itu dia Non masalahnya. Saya tidak punya cukup biaya untuk operasi Ibu. Gaji saya hanya cukup untuk biaya obat dan makan sehari–hari keluarga saya. Mengajukan pinjaman ke bank ditolak terus. Pikiran saya mumet, Non. Rasanya saya menjadi anak yang jahat karena tidak bisa menyanggupi kebutuhan keluarga,” “Mbak Eli kenapa berbicara seperti itu? Tidak baik Mbak,” “Saya stress, Non. Tidak tega rasanya melihat Ibu saya kesakitan. Tiga tahun saya bekerja keras demi mengumpulkan biaya rumah sakit. Tapi ada saja halangannya. Entah dibutuhkan keperluan inilah, keperluan itulah. Seolah gak pernah selesai. Sampai saya bertanya, kapan hidup ini berakhir,” “Heii. Gak boleh berkata seperti itu. Mbak Eli harus kuat demi Ibu Mbak,” “Tapi Non. Hik, hik, hikss,” tangis mbak Eli pecah lantaran tidak kuat lagi Melihat hal itu, Almira langsung memeluk mbak Eli dengan kuat. “Mbak Eli tenang saja. Aku akan tanggung semua biaya operasinya,” Mendengar kalimat tersebut, mbak Eli langsung menguraikan pelukannya. “Tidak Non. Tidak. Tidak perlu,” “Loh kenapa? Katanya butuh biaya,” “Ya tapi tidak mungkin saya menerima bantuan dari Non. Apalagi biayanya tidak murah,” “Berapapun biayanya aku akan tanggung. Meski mahal sekalipun,” “Tidak Non. Jangan,” tolak mbak Eli kekeh “Kenapa sih Mbak? Aku punya uang loh,” “Ya Non, saya percaya. Akan tetapi...” “Tetapi apa?” Mbak Eli nampak ragu untuk melanjutkan. “Maaf, Non. Saya pernah mendengar dari Mbak–Mbak yang lain, kalau Non Almira berasal dari keluarga tidak mampu, sama seperti kita. Dan alasan Non menikah dengan Tuan, karena Non membutuhkan biaya untuk pengobatan Ibunya Non. Jadi sebagai sesama tulang punggung keluarga, tidak mungkin saya menerima bantuan dari Non Almira. Disaat Non sendiri juga membutuhkan uang untuk bertahan hidup,” Mendengar penjelasan dari mbak Eli, seketika perasaan haru menyelimuti Almira. “Makasih ya. Ditengah ketidakberdayaanmu, kamu masih memikirkan hidup oranglain. Tapi perlu kamu tahu, biaya Ibuku dan biaya hidup keluargaku, sudah ditanggung oleh keluarga ini. Jadi penghasilanku tiap bulan masih utuh tanpa berkurang seperserpun,” “Benarkah itu, Non?” “Iya. Baikkan keluarga ini?” Mbak Eli mengangguk tanda setuju “Jadi mau ya dibantu aku?” Tak ada jawaban dari mbak Eli. Dirinya masih ragu. “Mbak Eli mau tahu cerita yang lebih memprihatinkan gak? selain dari cerita hidupku yang miskin,” “Apa itu Non?” tanya mbak Eli penasaran Sesaat Almira mengambil nafas panjang sambil melihat pepohonan yang rindang “Dulu aku memiliki keluarga yang lengkap. Ada Bapak, Ibu, Kakak dan juga adik. Meskipun hidup kami serba kekurangan, tapi kami bahagia. Tidak pernah satukalipun aku menangis meratapi hidup. Benar–benar bahagia. Seperti keluarga cemara,” “Iyakah Non?” “Iya Mbak. Sebab cinta mereka penuh untukku. Bagiku dunia akan terasa baik-baik saja jika kita mendapatkan cinta yang tulus dari orang yang kita sayang. Khususnya kedua orangtua,” ujar Almira tersenyum manis Sedetik kemudian senyuman Almira hilang dan berubah sedih. “Sampai pada akhirnya kebahagian itu lenyap, ketika aku kehilangan 2 orang terkasih sekaligus. Yaitu Bapak dan juga Kakakku,” lanjut Almira ketir “Mereka....” mbak Eli tidak berani melanjutkan “Iya Mbak. Mereka meninggal,” ucap Almira mengangguk seolah tahu apa yang dipikirkan mbak Eli “Maaf Non,” “Gak perlu minta maaf. Sudah berlalu ini. Mbak mau tahu gak cerita dibalik meninggalnya mereka?” Tidak ada jawaban. Mbak Eli hanya mengangguk cepat. “Kakakku dikejar oleh oknum polisi yang mengira bahwa dia terlibat tawuran. Padahal saat itu kakakku hanya sepintas lewat setelah pulang dari bantu Bapak di pasar. Melihat kakak yang dikejar tanpa alasan, dia panik sampai tidak fokus dan akhirnya ketabrak mobil. Waktu itu Kakakku masih bernafas tapi keadaannya sudah lemah. Pihak rumah sakit tidak mau mengcover BPJS lantaran polisi bilang Kakakku terlibat tawuran. Padahal itu semua tidak benar. Bapak dan Ibuku mencari jalan dengan cara meminjam uang kepada tetangga. Namun tak ada satupun yang bersedia membantu. Bapak tidak punya jalan lain selain menggadaikan rumah kami satu-satunya kepada rentenir. Setelah uang didapat, Bapak buru–buru pergi ke rumah sakit. Dan....” Almira menghentikan omongannya “Dan apa Non?” tanya mbak Eli penasaran “Uang itu dibegal oleh orang tak dikenal saat dijalan. Tak hanya mengambil uang. Mereka juga mengambil nyawa Bapak dengan sadis. Bapak meninggal ditempat kejadian, karena terlalu banyak luka dan darah yang mengalir. Selang beberapa jam, Kakakku juga ikut menghembuskan nafas terakhirnya,” tutur Almira mengakhiri ceritanya Mbak Eli yang mendengar sangat terkejut hingga menutup mulutnya. “Non,” mbak Eli mulai meneteskan airmata “Nangisnya ditahan dulu Mbak. Karena ceritanya masih berlanjut,” ucap Almira dengan tatapan nanar Sepertinya Almira sudah kebal dengan hantaman badai. Dia lantas menghirup udara dalam-dalam dan menghembuskannya dengan pelan. “Semenjak saat itu, keluargaku hancur. Seperti kapal yang tak menentu arah. Nahkodaku telah meninggalkan tempat. Dan darisitu aku yang menggantikan nahkoda tersebut. Bertahun–tahun aku hidup dalam kesengsaraan. Awan hitam selalu menyelimuti. Aku bertekad menjadi kuat untuk Ibuku yang mulai sakit-sakitan, serta Adikku yang masa depannya samar-samar. Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala. Aku tak punya masa muda yang indah. Hidupku hanya untuk bekerja dan bekerja. Tak pernah ada tanggal merah. Tak pernah ada kata lelah. Bukan karena tak ada, tapi aku menolak untuk ada. Sebab jika aku istirahat sebentar, Ibu dan Adikku akan mati kelaparan,” tutur Almira mulai menangis “Non....” Mbak Eli mengusap punggung Almira dan ikut menangis. “Bahkan aku pernah berlutut di depan kepala sekolah agar mereka mau meringankan biaya sekolah Adikku yang berbulan–bulan menunggak. Padahal saat itu aku masih SMP. Aku juga pernah berlutut di depan para penagih hutang agar rumahku tidak diambil. Aku sering tidak makan karena uang kami pas-pasan. Selalu aku tekadkan dalam hati, yang penting Ibu dan Adikku tidak kelaparan. Kalimat lucu yang selalu aku katakan pada mereka, bahwa aku sudah makan. Aku....” Almira menghentikan perkataannya. Dia tidak sanggup untuk melanjutkan. “Non Almiraaa,” ucap mbak Eli dan memeluk majikannya “Maaf Non. Saya menggali luka lama. Maafkan saya Non. Saya tidak menyangka bahwa kehidupan Non Almira begitu tragis,” lanjut mbak Eli tidak kuasa “Tidak apa-apa, Mbak. Tidak apa-apa. Semua sudah berlalu. Kini hidupku mulai membaik. Kesehatan Ibuku juga mulai membaik. Apa yang aku ceritakan, semata-mata agar Mbak Eli bisa mengambil hikmah dari cerita hidupku ini. Uang bisa dicari Mbak, namun nyawa tidak bisa dikembalikan lagi. Maka dari itu, selagi masih bisa diselamatkan, selamatkanlah. Dan jangan pernah menolak niat tulus orang yang mau membantu,” tutur Almira memberi nasehat “Tapi Non....” “Anggap ini sebagai pinjaman. Dengan syarat, kembalikan jika suatu saat kamu sudah sukses. Jadikan ini sebagai motivasimu. Aku dengar–dengar, masa kontrakmu 5 tahun kan?” Mbak Eli mengangguk dengan cepat “Bagus. Berarti tinggal 2 tahun lagi. Setelah itu lanjutkan studimu yang sempat tertunda. Dan cari pekerjaan yang sesuai dengan bidangmu. Datanglah kepadaku dengan versi terbarumu nanti,” ucap Almira penuh penekanan Mbak Eli sungguh terharu mendengar perkataan majikannya. Dia tidak menyangka majikannya memiliki hati sekuat baja dan seluas samudra. “Baiklah, Non. Saya terima. Sekalilagi terimakasih banyak ya Non. Bisa bertemu dan memiliki majikan baik seperti Non Almira, suatu berkah dan keberuntungan buat saya,” tutur mbak Eli merasa bersyukur “Sama–sama. Sekarang Mbak istirahat agar pikirannya kembali tenang. Untuk urusan yang lain-lain, kita bicarakan besok lagi,” “Baik, Non. Sekalilagi terimakasih banyak,” ucap mbak Eli dan pamit undur diri Almira melihat kepergian mbak Eli yang keluar dari pintu samping sambil tersenyum. Tanpa Almira sadari, sejak tadi percakapannya didengar oleh Alvin. Dan kini dia terpaku setelah mendengar semuanya. Deg, Rasa yang tak biasa tiba-tiba terlintas di hati Alvin. Jika kemarin-kemarinnya dia hanya tertarik dengan wajah dan keberanian Almira, kini perasaan itu seakan lebih dari apa yang dia rasakan. Dadanya terasa sesak saat Almira menceritakan kisah hidupnya. Hatinya tak menentu saat melihat Almira menangis. Kini dia sadar bahwa apa yang dilakukannya tadi pagi itu adalah salah. Mungkinkah dia sudah jatuh cinta? TBC.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN