Eps 11 Termangu

1718 Kata
Author P.O.V “Ehemm,” Suara bariton dari belakang membuat Almira terperanjat kaget. “Kamu. Ngapain kamu disini?” tanya Almira mengerutkan dahi “Kenapa? Gak boleh?” tanya balik Alvin Almira menggelengkan kepalanya dengan cepat “Bukan gitu. Aku hanya kaget karena tiba–tiba kamu ada di belakangku,” tutur Almira menjelaskan Alvin tak menjawab. Dia hanya berjalan menuju tempat dimana Almira duduk, dan ikut duduk disampingnya. “Tadi aku mencarimu kemana-mana,” ucap Alvin dengan nada lembut “Hah. Mencariku?” “Iya,” singkat Alvin cepat “Tumben-tumbenan ini orang mencariku,” batin Almira seakan tak percaya Suasana menjadi hening seketika. “Katanya mencariku. Tapi kok malah diem aja. Dasar orang aneh,” batin Almira lagi Cukup lama Alvin terdiam “Aku minta maaf,” ujar Alvin seketika “Minta maaf? Minta maaf untuk apa?” “Untuk masalah tadi pagi,” Belum sempat Almira menjawab, Alvin kembali melanjutkan “Aku tahu perkataanku sudah keterlaluan. Hal itu semata-mata karena dari dulu aku tidak pernah bergaul dengan siapapun. Didikan dari keluarga dan lingkungan, menjadikan karakterku terbentuk sedemikan rupa,” terang Alvin menjelaskan Tak ada jawaban dari Almira. Dia hanya menatap Alvin dengan seksama. “Kenapa? Merasa aneh?” tanya Alvin menatap balik Almira “Tidak. Aku tidak merasa aneh hanya karena kamu menceritakan didikan keluargamu. Sebab aku sudah melihat hal itu dari dalam diri Isabella. Aku hanya merasa aneh karena orang seperti kamu tiba-tiba minta maaf dengan gentlenya,” “Orang seperti aku?” ulang Alvin mengerutkan dahinya “Yaaa, cenderung dingin dan tak berperasaan,” lanjut Almira lagi Tak ada tanggapan dari Alvin. Dia sepertinya paham akan maksud Almira “Tadi kamu kok bilang sudah melihat hal itu dari dalam diri Isabella. Apa maksudnya?” tanya Alvin penasaran “Ya seperti katamu tadi, terbentuk dari didikan keluargamu. Dan aku melihat hal yangsama dari diri Isabella. Tiap hari dengan segudang kegiatan. Habis les satu, pindah ke les yang lainnya. Selesai kegiatan itu, lanjut kegiatan yang lainnya. Begitu terus setiap hari,” “Bagus dong banyak kegiatan. Tandanya produktif. Akupun dulu juga seperti itu. Banyak pengalaman, banyak pula ilmu yang didapat,” “Terus perasaanmu gimana?” “Maksudnya?” tanya Alvin tak mengerti “Ya setelah banyaknya kegiatan setiap hari. Dari pagi sampai malam. Mulai dari kecil hingga dewasa terus seperti itu. Perasaanmu gimana? Bahagiakah?” Alvin semakin tak mengerti dengan apa yang Almira maksud “I don’t know what you say. Bagiku itu semua kewajaran dan hal lumrah. Tidak ada sangkut pautnya dengan bahagia atau tidak. Kami melakukannya sebab tahu itu kewajiban,” “Itu bukan kewajiban Alvin. Itu pemaksaan. Bagi anak seusia Isabella yang masih 6 tahun itu adalah beban. Dia mungkin tidak berbicara, tapi sorot matanya menjelaskan semuanya. Aku tidak tahu seperti apa budaya orang kaya menerapkan pendidikan untuk anak-anaknya. Meski itu adalah yang terbaik menurut versinya. Tapi kamu harus ingat, anak seusia dia masih memiliki hak untuk bermain dan bercanda dengan teman–teman. Tega banget sih kalian mengambil hak itu. Dia tiap hari loh melakukan hal serupa. Dari pagi sampai malam. Bahkan saat aku tanya lelah atau tidak, dia hanya menjawab sudah terbiasa. What? Come on. Mentalnya dia sudah seperti baja. Padahal dia memiliki segalanya. Kalau mau dia bisa saja sesekali santai tanpa memikirkan apapun. Layaknya anak-anak seusianya,” terang Almira panjang lebar “Aku pernah saat tidur bersama dia, tanpa sengaja menemukan catatan harian Bella. Kamu mau tahu enggak baris terakhir di halaman paling belakang isinya apa?” lanjut Almira lagi “Apa?” tanya Alvin menautkan alisnya “Aku benci tiap kali membuka mata. Karena saat pagi tiba aku harus mengulang hal yangsama. Aku ingin tidur selamanya. Karena hanya dengan tidur aku bisa istirahat dengan nyaman,” Alvin tertegun mendengar kalimat yang baru saja Almira sampaikan. “Itulah sebabnya kenapa aku minta ijin padamu untuk mengajak Bella keluar. Karena dengan bertemu orang baru, siapa tahu dia bisa lebih ceria serta menjadi obat dari rasa sakitnya. Ingat, yang diam bukan berarti ikut setuju. Bisa jadi dia hanya berkompromi. Dan orang-orang seperti itu biasanya akan terbentuk sosok yang pendiam dan menutup diri. Pada akhirnya dia akan tumbuh menjadi pribadi seperti kamu. Keras dan dingin,” Lagi–lagi Alvin terdiam mendengar perkataan Almira. “Punya banyak uang seharusnya menjadikan kita bahagia, karena apapun bisa kita nikmati. Bukan malah menjadi pengikat dalam tempurung yang menyesakkan. Namun saat melihat kalian kini aku sadar, bahwa punya banyak uang tidak menjamin kebahagiaan. Jadi kalau bukan bahagia, lantas apa yang kamu cari selama ini?” Seperti pukulan telak. Alvin merenung sedalam–dalamnya. Dia menatap nun jauh ke depan. Entah apa yang dia pikirkan. “Aku pikir apa yang telah kulakukan sejauh ini sudah benar. Ternyata salah,” “Tidak salah kok. Hanya porsinya saja dikurangi. Sesuaikan dengan umurnya. Pelan–pelan saja tapi pasti. Biarkan dia mencari jati dirinya. Proses pengenalan itu perlu, tapi tidak semua harus dilakukan. Sampai ke manner juga harus dilatih. Kenapa sampai seperti itu? Tidak bisakah contoh itu diberikan dari kita saja? Biarkan dia menikmati masa kecilnya. Terlebih dengan keadaan dia yang memiliki penyakit. Itu tidak mudah loh. Dia hanya diam dengan keterbatasannya,” ucap Almira penuh makna Alvin mengangguk tanda setuju “Aku setuju dengan apa yang kamu bicarakan. Trimakasih sudah ikut memperhatikan Isabella. Kegiatan hariannya biar nanti aku evaluasi ulang. Dan untuk acara weekend ini, aku ijinkan,” “Beneran?” tanya Almira nampak kaget “Iya. Asal harus dengan sopir dan pengawal,” “Pengawalmu banyak. Aku tidak nyaman jika dilihat orang-orang,” “Jika tidak mau berarti tidak usah kesana,” “Mau, mau. Tapi satu saja ya pengawalnya? Please,” “Hemm. Baiklah,” singkat Alvin setuju “Yee asikk. Makasih banyak yaa,” ucap Almira sumringah “Kamu bahagia hanya karena hal itu?” “Iya. Kenapa?” “Gak apa-apa,” Alvin bingung kenapa wanita seperti Almira gampang sekali bahagia hanya karena hal sederhana. Terakhir kali Alvin melihat senyum Almira saat dia berhasil membuatkan teh chamomile untuknya. “Sudah mau jam sebelas. Kamu gak mau masuk?” tanya Alvin seraya berdiri “Sebentar lagi. Masih pengen disini,” “Tapi disini dingin,” “Ya terus kenapa? Kan aku baik-baik saja,” “Tetap tidak boleh. Papa berpesan untuk aku menjagamu agar tidak sampai sakit. Kita tidak pernah tahu kapan Isabella bisa dioperasi,” Mendengar hal itu Almira menyunggingkan senyumnya. “Kamu tenang saja. Aku sudah terbiasa kena angin malam kok. Dan....” Hacih! “Hemm kan. Baru diomongin. Ayo masuk,” tegas Alvin meninggi “Hmm ya deh iya,” ucap Almira akhirnya menurut Almira lantas berjalan membututi Alvin dari belakang. Suasana hening hanya langkah kaki mereka yang terdengar. “Ohya hampir lupa....” “Arghh,” Sett.... Alvin yang tanpa aba-aba berbalik, membuat Almira kaget dan hampir terjatuh dari tangga. Tapi beruntung Alvin dengan sigap menahan tubuhnya. Gleg, Seketika suasana nampak canggung karena tiba-tiba mereka bertatapan begitu dekat. “A-ada a-apa?” tanya Almira gugup Tak ada jawaban. Alvin masih diam menatap Almira. “Vin,” panggil Almira lagi Suara Almira membuat Alvin tersadar dari lamunannya, namun masih dengan posisi yang sama. “Emm... Aku hanya mau bilang kalau besok pagi jam 4, berangat ke London untuk urusan bisnis. Jadi kamu gak perlu bikinin aku teh chamomile,” tutur Alvin memberitahu “Oh. O-oke,” jawab Almira masih gugup “Dan kalau bisa bangunin aku besok sebelum jam 4,” “O-oke,” singkat Almira lagi “Bagus,” ucap Alvin lalu mencubit pelan pipi Almira yang memerah Saking gemasnya sudut bibir Alvin sedikit terangkat, sebelum akhirnya dia menetralkan posisinya dan melepaskan tangannya dari badan Almira. Almira melongo melihat Alvin yang sudah pergi ke kamarnya. “Ya Tuhan. Dia barusan memegang pipiku loh,” lirih Almira sambil memegangi pipinya sendiri Dia bahkan tidak sadar bahwa pipinya kini sudah merah merona seperti tomat “Tunggu. Dia barusan bilang apa? Aku disuruh bangunin dia sebelum jam 4?” tanya Almira pada dirinya sendiri Sepertinya Almira sudah sadar dari lamunannya “Aduhhh bodohnya aku. Kenapa aku bilang oke tadi. Gimana cara banguninnya ya? Haduh ampun deh Almira, Almira. Mampus aku,” dumel Almira sambil terus berjalan ke kamarnya. . Waktu menunjukkan jam 3.30 pagi. Sedari tadi Almira sudah ada di depan kamar Alvin, namun tak berani mengetuk pintu. “Ketuk gak ya, ketuk gak ya?” lirih Almira resah Dia berbalik badan ingin pergi, namun kakinya tertahan lagi. “Kalau dia sampai telat, bisa–bisa dia murka lagi. Kalau aku ketuk, aku pasti canggung dan tak tahu harus ngomong apa. Haduh gimana dong?” Di tengah kebingungan Almira, akhirnya dia memutuskan untuk mengetuk pintu kamar Alvin. Baru duakali ketukan, pintu kamar langsung terbuka. Dia melihat Alvin sudah dengan pakaian casualnya yang rapi. “Gila. Ganteng banget,” batin Almira melongo Almira yang sadar langsung segera menggelengkan kepalanya “Loh kamu sudah bangun?” tanya Almira mengernyit “Iya sudah dari tadi,” ucap Alvin sambil memakai arloji mahalnya “Oh yasudah kalau gitu aku pamit dulu,” tutur Almira hendak balik badan “Mau kemana?” cegah Alvin cepat “Balik ke kamarku lah,” “Bantuin aku packing dulu. Tadi malam aku tidak sempat. Langsung tidur,” “Hah?” ucap Almira masih bingung “Ayo masuk,” titah Alvin lagi “Eh iya ya,” singkat Almira patuh Betapa kagetnya Almira saat pertamakali masuk. “Ya Tuhan. Luas sekali kamar ini. Lebih luas dari kamarku. Sumpah, bagus banget lagi tatanannya,” batin Almira melongo Kamar Almira seperti tak ada apa–apanya dibandingkan kamar Alvin yang nampak megah. Padahal menurut Almira, kamarnya sudah bagus dan indah. Namun ini ada yang lebih indah lagi. Dengan instruksi dari Alvin, Almira mulai memasukkan pakaian serta beberapa perlengkapan ke dalam koper mini milik Alvin. Telilit telilit telilitttt.... Ponsel Alvin berdering. Dia langsung mengangkatnya dengan cepat. “Oke. Setengah jam lagi aku akan tiba di Bandara. Kamu persiapkan saja dokumennya jangan sampai ada yang tertinggal,” ucap Alvin pada orang yang menelponnya Sedetik kemudian ponselnya kembali dimatikan “Sudah?” tanya Alvin kepada Almira “Sudah kok,” jawab Almira langsung memberikan koper tersebut kepada Alvin Alvin mengambil jaket serta kopernya sekaligus. “Aku pergi dulu ya,” tutur Alvin mencium singkat kening Almira Tak ada jawaban dari Almira. Dia hanya termangu menatap kerpergian Alvin. Entah apa yang dirasakan Almira saat ini. Kejadiannya begitu cepat. TBC.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN