Eps 4 Dia seperti Harimau

2064 Kata
Author P.O.V “Jadi gimana? Apa semua sudah selesai?” tanya Alvin saat berada diruang kerja rumahnya “Iya Pak sudah. Baik itu tentang proyek Duta, maupun kerjasama dengan PT. Premis,” jawab Jefri dengan lantang “Aku tidak bertanya tentang perusahaan,” “Lantas tentang apa, Pak?” tanya Jefri tak mengerti Alvin tak menjawab. Dia hanya memberikan kode ke arah luar. “Nyonya?” Alvin mengangguk singkat “Oh kalau urusan Nyonya sudah beres, Pak. Semua berkas sudah Nyonya tandatangani,” “Dia tidak bertanya apapun?” “Ada, Pak. Hanya beberapa. Seperti tempat pendaftaran pernikahan dan identitasnya kepada khalayak. Dan semua sudah saya jelaskan dengan baik,” Alvin manggut–manggut mengerti “Terus tentang uang dan kompensasi?” “Ohya tentang itu juga, Pak,” “Pasti dia bilang kurang,” tebak Alvin cepat “Tidak Pak. Justru Nyonya keberatan,” “Kok bisa?” “Entahlah. Katanya itu terlalu banyak buat Nyonya. Dia hanya butuh jaminan kesehatan untuk Ibunya, serta pendidikan yang layak untuk adiknya. Sama satu lagi pelunasan hutang piutang almarhum Ayahnya,” jelas Jefri panjang lebar “Kamu yakin dia bilang seperti itu?” “Yakinlah Pak. Kan Nyonya sendiri yang bilang. Bahkan saat Nyonya menerima transferan bulanannya kemarin, wajahnya nampak tertekan. Lucu deh Pak. Nyonya seperti kebingungan karena tiba–tiba mendapat uang yang banyak,” Mendengar keterangan dari Jefri, wajah Alvin langsung berubah bingung. “Aneh. Kenapa dia tidak bahagia saat menerima uang? Padahal dia sendiri menikah karena uang,” batin Alvin seakan tak percaya “Terus untuk Bella gimana? Apa bisa dioperasi secepatnya?” lanjut Alvin lagi “Nah itu dia Pak masalahnya. Berdasarkan hasil cek up terakhir kemarin, Non Bella belum bisa dioperasi tahun ini. Dikarenakan detak jantungnya yang belum stabil. Jadi Non Bella masih harus tetap konsumsi obat sampai semuanya normal,” jawab Jefri dengan lugas Alvin kembali menganggukkan kepala dengan raut wajah yang sedikit kesal. “Bagaimana hubungan Bella dengan dia? Apakah baik?” “Sangat baik, Pak. Non Bella terlihat senang sekali saat bertemu dengan Nyonya Almira. Bahkan selama 1 bulan ini sudah beberapa kali Non Bella minta ditemani tidur kepada Nyonya,” “Oyah? Bukankah Bella sangat sulit menerima orang baru?” “Itu dia yang saya tidak mengerti, Pak. Padahal sama baby sitternya saja dulu Non Bella butuh 1 tahun untuk bisa akrab. Namun sama Nyonya hanya butuh 1 hari saja, Pak. Bahkan semenjak ada Nyonya, rumah ini jadi terlihat hidup. Benar–benar definisi pembawa kebahagiaan. Nyonya tidak hanya cantik, tapi juga....” Kalimat Jefri tertahan lantaran Alvin sudah menatapnya dengan tajam. “Maaf Pak,” lirih Jefri menunduk takut “Kamu terlalu banyak bicara. Keluar,” titah Alvin tegas “Baik Pak,” ucap Jefri cepat Hanya beberapa langkah, Jefri kembali memutar badannya. “Maaf, Pak. Sekedar mengingatkan. Nanti sore Bapak ada rapat penting dengan klien di kantor,” Alvin tak menjawab. Dia hanya menunjukkan jarinya ke arah pintu, seakan menyuruh Jefri untuk cepat keluar. “Baik Pak. Permisi,” jawab Jefri dan berlalu pergi Hembusan nafas Alvin terdengar kasar. Dia menyandarkan kepalanya sambil menatap langit–langit ruang kerjanya. Seakan mengingat kembali kalimat Jefri tentang baiknya Almira selama berada di rumah tersebut. “Apa benar dia orang yang baik dan tulus? Seperti kata Jefri, dan seperti kata Papa,” lirih Alvin seorang diri Tak ada jawaban dari pertanyaan itu. Alvin hanya menghela napas panjang dan memilih menutup mata. Hanya sebentar, sebelum akhirnya dia kembali bergegas untuk kembali ke kantor. . Universitas Menhag, “Kamu gila ya. Ngapain kamu cerita kalau punya temen yang anaknya suka kuromi? Kapan aku nikahnya, kok tiba-tiba punya anak?” tutur Yuna meninggikan suara “Lah itu anak Ibu kosmu. Kamu pernah bilangkan kalau sering main sama dia, dan sudah kamu anggap seperti anak sendiri,” “Astaga Almira. Meski begitu, tapi konteksnya berbeda. Tetap saja itu anak oranglain. Bukan anakku. Gimana sih,” “Iya aku tahu. Tapi mau bagaimana lagi? Sudah terlanjur. Saat itu aku hanya basa–basi aja karena gak ada bahan. Eh tahunya itu anak malah antusias. Dia bilang pengen ketemu, aku iyain aja biar gampang. Ku kira bakal lupa, gak tahunya malah masih inget. Dan kemarin dibahas lagi sama dia. Kan aku jadi gak enak hati. Berasa ditagih janji,” tutur Almira menjelaskan “Ya berarti itu urusanmu. Bukan urusanku. Kenapa aku malah jadi ikut pusing,” “Ayolah, Yun. Pleaselah. Kali ini aja bantuin aku,” “Bantuin gimana, Mira? Aku sendiri gak tahu harus gimana?” “Kamu cukup anterin aku aja bertemu sama Ibu kosmu. Biar nanti aku sendiri yang jelasin. Kalau perlu sama anak Ibu kosmu sekalian,” “Masalahnya aku gak yakin anaknya mau,” “Pasti mau. Sama kamu aja cepat luluh, apalagi sama seumurannya. Terlebih sama–sama suka kuromi lagi. Nanti kalau perlu aku bawain boneka kuromi deh buat dia,” “Haduh gimana ya?” Yuna nampak khawatir. “Ayolah, Yun. Please. Demi sahabatmu ini. Kalau sampai aku gak jadi, bisa–bisa hubunganku jadi renggang sama Isabella. Hancur sudah usahaku 1 bulan ini buat akrab sama dia,” Yuna melihat wajah Almira yang nampak memelas “Haduh iya deh iya. Biar aku ijin dulu nanti sama Ibu kos. Soalnya kalau asal main kesana takut dianya sibuk,” “Siap Bestie. Makasih banyak ya, Yun. Kamu memang sahabatku yang paaaling baik,” tutur Almira memuji “Heiss. Terus tadi kenapa kamu murung aja?” tanya Yuna mengganti topik “Kapan?” “Tadi di kelas. Saat jam pertama,” Almira nampak mengingat kejadian tadi. “Oh itu. Gak apa-apa. Aku hanya sedikit bete aja karena hari ini Alvin pulang,” “Lah terus kenapa kalau dia pulang?” “Ya aku takut ketemu dia lah. Gimana sih,” “Aihh. Heran aku tuh. Hanya kamu satu–satunya istri yang tidak senang mendengar suaminya pulang,” tutur Yuna menggelengkan kepala “Ya aku istri yang bagaimana dulu? Kan kamu tahu sendiri statusku hanya menikah kontrak,” “Ya terus kenapa kalau hanya sebatas kontrak? Tidak bisakah kamu jalin komunikasi yang baik saja dengannya?” “Susah, Yun. Gak mungkin aku nyapa dia duluan. Secara aku belum pernah bertemu dengannya satukalipun,” “Justru itu. Jadikan kesempatan itu untuk say hai duluan. Basa–basi atau apa kek,” “Enggak, aku takut. Aku denger–denger dari pekerja di rumahnya, dia orangnya kejam. Sampai mbak–mbak disana takut yang mau ngomong. Apalagi aku yang orang baru disitu. Lebih baik sebisa mungkin untuk menghindarlah. Dan semoga saja tidak berpapasan dengannya,” “Ngacok. Satu rumah sudah pasti ketemulah. Gak mungkin enggak. Seperti makan malam nanti, hayoo gimana?” “Ohya ya. Tapi katanya kalau malam dia jarang makan di rumah karena banyak lembur. Seenggaknya nanti malam masih amanlah ya,” “Terus besok pagi?” “Ya doain saja semoga malam ini dia tidak pulang. Hehe,” tutur Almira cengengesan “Cekcekcek. Almira, Almira. Bisa–bisanya takut bertemu suami sendiri. Hadeh. Up to youlah. Pusing aku sama jalan pikiranmu. Awas aja entar malah ketemu dan berpapasan ya,” “Kok kamu ngomongnya gitu sih, Yun?” “Biarin. Biar makin stress kamu,” “Heiss jahat,” ucap Almira mempoutkan bibirnya . Malam harinya, Sudah satu bulan ini, Almira menghabiskan waktu dengan identitas barunya sebagai Nyonya rumah. Meski begitu, para asisten tetap memanggilnya dengan sebutan Nona. Hal itu terkait Isabella yang belum tahu tentang status pernikahannya. Ketidaktahuan Isabella membuat Almira lega. Karena nyatanya dia juga tidak nyaman jika ada orang yang memanggilnya Nyonya. Malam ini Almira sedang sibuk mengerjakan tugasnya. Setelah kemarin malam tidak sempat gara–gara Isabella minta ditemani tidur. Akhirnya hari ini dia punya waktu untuk sendiri. Hampir 4 jam lamanya dia menatap ke arah laptop dan bukunya secara bergantian. Dan pada saat perutnya berbunyi, dia melihat ke arah jam dinding yang terpampang di kamarnya. “Sudah jam 11 malam. Pantas saja aku lapar. Tenagaku terkuras habis perkara ini tugas,” lirih Almira memegangi perutnya yang terasa lapar Tiba–tiba Almira teringat akan kue coklat yang kemarin dia beli di toko kue. “Mending aku isi tenaga dulu. Baru setelah itu lanjut lagi,” tutur Almira dan berjalan ke luar kamar Saat menuruni anak tangga yang nampak gelap itu, dia tidak sengaja melihat sesosok pria sedang duduk diruang makan. Nampak pria itu sedang sibuk melihat laptopnya, sambil sesekali menyeruput minuman. “Mampus. Itu Alvin,” batin Almira kaget Almira langsung berdiri mematung “Apa yang harus aku lakukan?” lirih Almira bingung “Ini semua gara–gara si Yuna. Aku jadi beneran ketemu sama dia sekarang,” racau Almira pelan Almira sedikit melihat ke bawah untuk memastikan kegiatan Alvin. “Haduh dia ngapain sih duduk disitu? Bukannya balik ke kamarnya,” batin Almira kesal Ditengah kebingungannya antara mau balik atau tetap turun, perutnya kembali berbunyi. “Haduh. Gak bisa ini kalau balik lagi ke atas. Perutku sudah laper banget,” ringis Almira memegangi perutnya Dengan hati–hati, akhirnya Almira memilih untuk tetap turun dan berjalan sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara. Untungnya kalau malam lampu utama diruang tengah dimatikan. Begitu pula juga di dapur. Jadi hati Almira lumayan sedikit tenang. Sesampainya, Almira langsung menuju kulkas. Dan secara perlahan, dia membukanya sambil berjongkok. Binar terang di mata indah Almira saat melihat kue coklat itu. Dan pada saat dia mulai memakan kue tersebut, tiba–tiba lampu utama dapur menyala. Almira yang kaget buru–buru meletakkan kembali kuenya, dan langsung berdiri menoleh ke belakang. Benar saja, disitu sudah ada Alvin berdiri sambil bersedekap d**a. “Ngapain kamu ngendap-ngendap?” tanya Alvin dengan suara khas baritonnya Almira yang masih syok melihat Alvin pertamakali, masih diam terpaku. Sudut bibirnya kotor karena mentega. Glegg.... Almira menelan salivanya tatkala melihat Alvin mulai mendekatinya. “Kamu dengarkan aku bertanya apa?” tutur Alvin penuh penekanan Almira mengangguk pelan. Dan dengan raut wajah takut, jarinya menunjuk pada sepotong kue kecil di dalam kulkas. “A-Aku ha-hanya ingin me-mengambil ku-kue saja kok,” jawab Almira gagap Tak ada jawaban dari Alvin. Dia menatap Almira dengan tajam. Melihat hal itu Almira kembali menelan salivanya. “I-itu kue punyaku. Kemarin aku membelinya di, di toko kue,” lanjut Almira lagi Tetap tak ada jawaban dari Alvin. Dia hanya menatap Almira sambil melirik ke arah kue yang masih berada di dalam kulkas. “Ambil. Jangan makan disitu. Dan kalau mau apa–apa itu hidupkan dulu lampunya,” tutur Alvin dengan tegas Almira mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun. . Jam 11.30 Wib, Almira sungguh tak menyangka jika pertemuan awalnya dengan Alvin malah seperti ini. Meskipun kue yang diambil adalah miliknya, namun caranya tadi malah terlihat seperti maling. Bahkan disaat inipun dirinya dibuat kikuk lantaran Alvin memilih untuk tetap stay diruang makan sambil mengerjakan pekerjaannya. “Gimana caranya aku ke atas ya? Tidak mungkinkan aku bawa ini kue ke kamar, sementara dia ada di depanku. Nanti kesannya aku gak menghargai dia lagi. Hemm terus gimana caranya aku nawarin dia?” batin Almira kebingungan Ditengah kebingungannya, ada Alvin yang sedikit melirik ke arah Almira. “Kenapa tidak di makan?” tanya Alvin membuka suara “Hah?” Almira gelagapan. “Dimakan saja. Gak perlu takut,” tutur Alvin seakan paham dengan perasaan takut Almira Almira mengangguk dan mulai makan kue tersebut. Perasaan yang tidak nyaman membuat Almira buru–buru agar secepatnya kembali ke kamar. “Habis makan, buatkan aku kopi,” Uhukk.... Almira tersedak mendengar ucapan Alvin. “Kenapa? Tidak mau?” tanya Alvin tatkala melihat Almira tak kunjung menjawab “I-iya. Aku mau,” jawab Almira gugup Selesai makan, Almira kembali ke dapur dan tak lupa membuatkan kopi untuk Alvin. Dan dengan perasaan yang cemas, Almira mengantarkan kopi tersebut kehadapan Alvin. Glegg.... Tak ada respon dari Alvin saat dia menyeruput kopi buatan Almira untuk pertamakalinya. Dia hanya sedikit mengangkat alis hingga membuat Almira kembali menelan salivanya. “Karena aku sudah ada disini, mulai besok kamu harus menyiapkan teh chamomile pagi untukku. Jika tidak tahu tanya sama pekerja disini,” titah Alvin tegas Almira masih diam menyimak omongan Alvin “Kenapa diam saja? Ngerti tidak?” Suara Alvin terdengar lebih tinggi “I-iya. Ngerti,” singkat Almira cepat “Yasudah sana pergi!” ucap Alvin memerintah Mendengar hal itu Almira langsung secepatnya pergi dan kembali ke kamarnya. Sesampainya di dalam kamar, barulah Almira bisa bernafas lega. “Ya Tuhan. Macam Harimau saja itu orang,” lirih Almira mengelus d**a TBC.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN